Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD adalah gangguan mental yang terjadi pada seseorang karena mengalami kejadian traumatis, seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang pertempuran, pelecehan seksual, kekerasan dan sejenisnya.
Harsa sedikit tahu tentang gangguan mental yang satu ini dan diperkirakan bahwa 2 juta orang memiliki gangguan mental tersebut.
"Bu, kalo orang punya trauma bisa sembuh total nggak?"
Fika tersenyum lembut. Wanita itu meletakkan satu gelas susu di atas beka belajar Harsa lalu mengusap kepala Harsa dengan lembut. "Tergantung trauma apa yang dimilikinya. Kalo traumanya berat seperti, dibully, kekerasan keluarga, bahkan pelecehan maka akan sulit untuk sembuh apalagi kalo si penderita trauma ini nggak mau menerima dirinya yang sekarang."
Harsa termangu sejenak.
"Apa penderita PTSD nggak bisa hidup bahagia?"
"Bisa kok, siapa bilang nggak bisa?" Fika sedikit melirik laptop Harsa yang menyala. "Siapa yang lagi trauma? Temanmu?"
Harsa menunduk, sepertinya ia akan menangis lagi kali ini. "Ini ... Inara, Bu."
Napas Fika tercekat saat nama gadis yang membuatnya penasaran disebut.
"Inara PTSD?"
Harsa mengangguk lesu, air matanya kembali tumpah. Dengan rasa sedih yang membanjiri hatinya, Harsa kemudian memeluk sang ibu dengan erat. Sakit di hatinya kembali terkoyak-koyak saat kembali mengingat fakta bahwa Inara mengalami traumatis yang sangat menakutkan.
"Apa yang dialaminya, Nak?"
Harsa semakin erat memeluk Fika. "P-pelecehan-"Harsa tergugu-gugu tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Kini tak hanya Harsa yang menangis, Fika pun ikut menangis. Bagiamana pun Fika adalah perempuan, ia tahu betul rasanya menjadi Inara walau tidak merasakannya. Fika yakin, berat sekali bagi Inara untuk menerima fakta ini.
Inara benar-benar butuh penyemangat dari orang terdekatnya, Inara butuh dorongan dari orang terdekatnya. Fika sangat terpukul.
Walaupun belum pernah melihat secara langsung wajah cantik yang digadang-gadang oleh Harsa tapi rasa sedih pun juga ikut menyelimuti hati Fika saat mendengar masalah yang menimpa gadis itu.
Fika mengusap pipi Harsa yang sudah basah. "Sayangnya Ibu, yakin ya kalau Inara itu gadis yang kuat. Setelah tau ini, Harsa masih suka sama Inara?"
Harsa memejamkan mata, ia masih sesenggukan lalu menggelengkan kepala. "Nggak ada sedikitpun ada niatan di hati Harsa buat nggak suka lagi sama Inara, Bu."
Disela-sela tangisannya, Fika pun tersenyum. "Ibu selalu dukung semua keputusan Harsa. Kalo Harsa benar-benar suka sama Inara, buat dia bahagia, buat dia nerima kamu, Nak. Karena bagaimanapun trauma yang memicu Inara nggak mudah buat dekat sama yang lawan jenisnya."
Harsa mengangguk. "Harsa janji bakalan buat Inara sembuh, Harsa janji nggak akan jadi cowok cemen kayak dulu lagi."
Fika mengacak rambut anaknya. "Itu baru anaknya Ibu sama ayah."
****************
Galen pulang ke rumah dengan langkah yang gontai. Rasa lelah karena pulang sekolah yang sangat lama membuat tubuh Galen terasa akan remuk.
Galen meletakkan sepatunya di depan pintu rumah, biarkan saja para pekerja yang merapikan nanti.
Sambil bersenandung kecil, cowok berwajah kusut itu memasuki rumah megahnya.
"Galen."
Langkah lebarnya terhenti saat Damian memanggilnya di ruang makan.
Galen mengerutkan kening, bingung karena ... tumben sekali keluarganya kumpul di ruang makan saat dirinya pulang sekolah.
Dengan sedikit ragu, Galen pun mendekati keluarganya, yang sedikit mencolok adalah di sini sudah ada Paman, Bibi, bahkan Kakek dan Neneknya. Ada apa ini?
"Kamu buat masalah di sekolah?" tanya Damian seolah menahan emosi.
Galen menggeleng ragu.
"Masih nggak mau ngaku, lo?" Kini giliran Gavi yang berucap.
Galen hanya menatapnya sinis tak berniat menjawab.
"Apa yang kamu lakukan ke Inara kali ini?" tanya Damian.
Oh, jadi gadis itu mengadu pada kedua orang tuanya? Inara ini benar-benar gadis yang licik. Mungkin saja adegan pingsan tadi juga sebagian dari drama yang dibuat oleh Inara.
"Dia ngadu ke Ayah? Sekarang kalo dia ngomong aneh-aneh nggak usah dipercaya. Dia tuh ratu drama, ini apaan lagi? Cuma gara-gara Inara terus Ayah ngumpulin Kakek sama Nenek sekalian bawa Paman sama Bibi gitu?"
Damian mengepalkan tangannya. Emosinya kian memuncak karena ucapan Galen yang seolah-olah tidak melakukan hal yang salah.
"Jaga ucapan kamu, Galen!" bentak sang Kakek.
Kedua alis Galen menukik. "Apa? Aku salah lagi? Sebenernya apa sih yang diomongin Inara ke kalian semua, sampai-sampai satupun dari kalian nggak ada yang mau dekat sama aku?"
"Dipikir aku nggak kangen gitu sama keluarga kita yang kayak dulu?" Galen menatap keluarganya dengan sendu.
"Jangan harap kita kembali kayak dulu, karena saya sendiri benci sama orang tukang selingkuh." Damian berdiri di depan anaknya.
"Galen udah nggak selingkuh lagi."
"Tapi kamu masih berhubungan sama cewek bodoh itu!" bentak Damian membuat sang istri menangis. "Hari ini gara-gara kamu bikin masalah ke Inara, gadis itu harus masuk rumah sakit lagi dan lagi. Kamu pikir Ayah ini nggak malu apa sama keluarga Inara?"
Galen membeku. Inara masuk rumah sakit?
"Ayah, Bunda, Kakek, dan semuanya itu malu sama keluarga Inara gara-gara kelakuan kamu, Galen." Damian menyatukan kedua tangannya memohon pada Galen. "Galen, Ayah mohon sama kamu, jangan dekati Inara lagi, jangan buat dia masuk rumah sakit lagi, jangan muncul di depan Inara lagi. Ayah malu, Galen."
Galen menatap Ayahnya tanpa berkedip. Air matanya mengalir begitu saja saat tahu Inara masuk rumah sakit, tapi kenapa harus ia yang disalahkan?
Galen mudur beberapa langkah lalu menggeleng pelan. "Bukan Galen penyebab Inara masuk rumah sakit, Yah. Tapi Dean."
Mereka yang duduk di ruang makan terdiam.
Damian pun terdiam sesaat lalu menatap Galen dengan sorot mata sedih. "Jangan berteman dengan Dean, dia bawa pengaruh buruk buat kamu."
Tangan Galen mengepal. "Ayah nggak berhak ngatur pertemanan aku. Dean itu teman aku dari kecil, nggak mungkin aku jauhi dia."
"Enggak berhak katamu?" Sang Nenek terlihat marah pada Galen. "Sadar tidak, yang kamu ajak bicara itu orang tuamu sendiri?"
"Sudah buat malu keluarga, tak tahu diri juga kamu, Len?" lanjut sang Bibi merasa dongkol.
"Terserah apa kata kalian, aku nggak akan mau kalo harus mutusin pertemanan sama Dean, nggak akan pernah mau!" ujar Galen lalu melangkah pergi.
Sang Kakek berdecak pelan. "Liat? Keras kepalanya sama seperti Damian."
********************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...