Usai mengerjakan salat subuh, Galen bergegas ke dapur sebelum tempat itu dipenuhi oleh para pekerja dan mama nya.
"Cabai udah, tomat udah, sosis udah, ayam juga udah, terus apa yang kurang?" monolog Galen sambil memperhatikan bahan-bahan yang akan ia masak.
"Ah, iya bawang!" Galen mengambil beberapa bawah merah dan putih lalu mengirisnya kecil.
Ini pertama kalinya Galen memasak, bahkan membuat nasi goreng saja tidak tahu. Tadi malam menjelang tidur Galen sempat membaca sebuah artikel 'cara memasak nasi goreng yang enak' dan bahannya memang sangat sederhana, yang membuat makanan lezat ada pada sosis dan ayamnya.
"Cabainya di halusin atau diiris?" Galen bingung dengan yang satu ini. Lebih enak diiris atau dihaluskan saja?
Merasa kesal akhirnya Galen memilih mengiris semua cabai yang tersedia dan sosis, memasaknya bercampur dengan nasi yang tersedia.
20 menit Galen berusaha membuat nasi goreng, menimbulkan bau yang menyengat . Ini bukan mau harum dari sebuah makanan lezat, melainkan bau makanan yang gosong. Galen tak tahu rasanya seperti apa, sebab tak ada lagi yang ia campurkan selain cabai, bawang, serta ayam dan sosis.
Galen enggan memasukkan micin ataupun garam karena katanya mereka tidaklah sehat, jadi biarlah Inara memakan nasi goreng versinya sendiri.
Tangan kanannya dengan teliti menutup nasi goreng yang sudah ada di kotak bekal, kemudian ia letakkan di atas meja makan. Galen mengembuskan napas lelah lalu tersenyum tipis. "Aku harap kamu mau maafin aku, Ra."
"Widih, apaan tuh?" Gavi bertanya penuh rasa penasaran. "Tumben bawa bekal?"
"Iya, Bang, tumben banget. Apa enak? Secara ini pertama kalinya Abang masak," timpal Galang.
Galen menatap keduanya sinis. "Bukan urusan kalian." Setelahnya ia melangkah pergi.
Galang menatap punggung itu dengan raut sendu. Galen yang dulu dan sekarang sangat berbeda, Galang merindukan keluarganya yang dulu, ia tak pernah menginginkan keluarganya yang seperti orang asing namun hidup satu atap.
"Udah nggak usah dipikirin, nanti kalo dia udah sadar sama kesalahannya pasti bakalan kayak dulu kok." Gavi menepuk bahu sang adik. "Duduk sana, gue buatin salad aja. Nanti biar gue yang antar lo sekolah."
Galang mengangguk lalu duduk di kursi makan.
************************
Pagi ini Galen berangkat sekolah lebih cepat dari biasanya. Cowok berseragam agak berantakan itu bersiul riang sambil berjalan melewati beberapa kelas, tangan kanannya terombang-ambing karena memegang bekal berwarna merah muda yang akan ia berikan pada Inara seorang.
Memang terasa sedikit tidak nyaman kala Galen berangkat pagi apalagi tidak didampingi oleh teman-temannya, biasanya mereka akan berangkat bersama dan sebelum sampai di sekolah teman-teman Galen itu akan berkumpul terlebih dahulu di rumah Keano, karena rumah Keano lah yang paling dekat dari sekolah.
Saat memasuki kelas, Galen dikejutkan dengan Inara yang sudah duduk di bangku depan sambil mendengarkan musik dan membaca buku.
Galen tersenyum tipis, kalau ia jadi Inara sudah pasti tidak fokus karena harus mendengarkan musik diiringi dengan membaca buku. Cowok itu mengembuskan napas lalu kembali melangkah mendekati meja Inara.
"Hai, Ra."
Inara mematikan ponselnya lalu mendongak, tidak ada respon dari mulut Inara. Wajahnya yang cantik masih saja menampilkan raut datar dan terlihat tak suka dengan apa yang ia lihat di depannya.
Galen berdehem, ia sedikit canggung sekarang. Apalagi baru murid piket yang datang. "Ini buat kamu." Galen meletakkan bekal tersebut di meja Inara. "Aku buat sendiri lho."
Masih tidak ada respon dari Inara. Cewek itu hanya memutar bola matanya seakan jengah dengan perilaku Galen.
"Semoga kamu suka, ya? Selain bakso, kamu kan suka nasi goreng. Aku buat sedari subuh." Galen masih enggan pergi dan ingin terus mengajak Inara berbicara.
Huh! Galen ini memang tidak konsisten. Jika marah, ia akan berbicara dengan 'gue-lo' tetapi jika perasaanya sedang gembira maka Galen akan menggunakan 'aku-kamu' saat bicara. Jujur Inara benci dengan Galen versi sekarang.
Galen menggigit bibir bawahnya ragu. Inara sama sekali tidak merespon ucapannya, ini membuat Galen merasa sama sekali tak dihargai. Apa ini yang dulu Inara rasakan?
"Kalo kamu suka nanti aku buatin buat--"
"Syakila." Inara memotong ucapan Galen, membuat cowok di depan Inara mengerutkan kening hingga Inara mengembuskan napas lelah. "Kasih ke cewek lo bukan ke orang lain. Gue bukan siapa-siapa bagi lo."
Inara menolak pemberiannya? Galen bangun subuh hanya untuk membuatkan makanan spesial untuk Inara tapi cewek itu menolak mentah-mentah bahkan mendorong bekal merah muda itu agar menjauh dan menatap Galen penuh rasa benci.
Tidak bisa kah Inara menghargai Galen sedikit saja?
"Ra, bisa nggak jangan bawa-bawa Syakila semenit aja. Aku tuh mau memperbaiki hubungan kita, Syakila sama sekali nggak ada sangkut pautnya."
"Hubungan yang mana?" Inara memiringkan kepala.
Galen terdiam.
"Wajib banget, ya, gue ingetin ke lo kalo hubungan kita udah kelar dari dulu."
Galen menghela napas berat. Pemuda itu sedikit memundurkan langkahnya saat mengingat kejadian-kejadian aneh saat Inara bersentuhan dengan beberapa laki-laki, ia tak ingin komunikasinya saat ini usai kala gadis itu kembali seperti itu.
"Oke, terserah kamu mau bilang selesai atau enggak. Tapi bisa nggak, sih, kamu jangan ngehindarin aku kayak gini? Bisa nggak, sih, kamu kayak dulu lagi? Jangan dekat-dekat sama cowok lain, Ra, aku nggak bisa apalagi pas kamu dekat sama Harsa. Harsa itu teman dekat aku, Ra!"
"Kayak dulu lagi?" Inara menatap Galen tak habis pikir. "Lo kira gue mau jadi Inara yang bego kayak dulu terus pertahanin cowok yang diam-diam selingkuh gitu? Andai lo dulu di posisi gue, terus gue yang selingkuh. Gimana reaksi lo?"
"Aku tau aku salah, Ra, nggak usah diungkit-ungkit terus!" seru Galen merasa kesal.
Inara mengepalkan tangannya, baru pagi sudah ada yang memancing emosi saja. Inara kemudian bangkit. "Lo muak, kan? Muak karena gue ungkit-ungkit kesalahan lo itu. Sama, Len! Gue juga muak karena lo terus-terusan datengin gue kayak gini." bentak Inara.
Inara menatap mata cokelat di depannya. "Lo pikir gue nggak jijik liat muka lo? Lo pikir gue nggak risih sama kelakuan lo yang sekarang?"
Rahang Galen mengeras, ada emosi sekaligus sedih di hatinya. Ucapan Inara benar-benar mampu membuat Galen pening, ingin mual saja rasanya. Satu tangan Galen terangkat memegangi dadanya yang berdenyut nyeri, memang terkesan lebay tapi itulah yang Galen rasakan.
Inara sama sekali tidak pernah menghinanya, tapi kali ini?
"Demi Tuhan, Len, gue benar-benar benci sama lo."
******************************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...