Inara menendang bebatuan kecil yang ada di depannya. Gadis itu terus saja berjalan tak tentu arah, tidak peduli terik matahari yang menyengat kulit.
Sejujurnya Inara risau pergi keluar rumah sendirian tapi pikirannya kacau hingga terpaksa meninggalkan rumah berjalan mencari udara segar sambil membawa gas air mata di kantong celana panjangnya.
Sambil berjalan tak tentu arah, Inara melamun, ia kembali mengingat perdebatan kedua orang tuanya tadi malam.
Inara mengembuskan napas lelah. Inara lelah dengan kehidupan yang ia jalani, Inara marah, Inara benci pada dirinya sendiri karena terlalu lemah bahkan selalu menyusahkan orang-orang di sekitarnya. Sedari kecil, Inara selalu dimanja itulah yang membuat Inara sulit mandiri. Inara selalu bergantung pada sosok Nanda.
Inara tak pernah tahu jika selama ini kedua orang tuanya tidak akur, yang diperlihatkan Brian dan Nanda saat di depan anak-anaknya dan juga publik pasti terlihat serasi dan kompak.
Benar kata Viger, Inara itu terlalu egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri tidak peduli dengan kondisi orang tuanya.
Inara menatap sekitarnya hingga pandangan gadis itu tertuju pada sosok berjilbab cokelat sedang duduk di teras rumah kosong. Inara mengernyit saat melihat banyak sekali kertas dan buku berserakan di sekitar gadis berjilbab itu.
Merasa penasaran, Inara mendekatinya.
"Hai."
Gadis berjilbab cokelat itu mendongak, bola mata cokelat itu menatap Inara dengan satu alis terangkat. Inara tersenyum kaku lalu memperhatikan sekitar gadis berjilbab itu yang dipenuhi oleh kertas.
Inara menyingkirkan beberapa kertas di sana lalu duduk.
"Siapa, ya?" Gadis itu memiringkan kepala.
Inara lagi-lagi tersenyum lalu menyodorkan tangan kanannya mencoba untuk berjabat tangan. "Gue Inara."
Sedikit lama, gadis di sebelah Inara tidak membalas jabatan tangannya hingga akhirnya Inara menarik kembali sambil tersenyum tipis. Kemungkinan gadis berjilbab cokelat itu sedikit sulit berinteraksi dengan orang baru.
"Lo orang baru? Tinggal di kompleks sini juga?" Tampaknya Inara masih mencoba untuk mengajak gadis itu berbicara.
"Bukan, aku cuma cari tempat yang sunyi supaya vokus sama kerjaan. Aku pikir ini tempat yang cocok dan nggak ada penganggu," sarkas gadis berjilbab cokelat itu sambil melirik Inara sinis.
Inara terdiam sejenak lalu setelah itu ia menggaruk pipi sambil tersenyum canggung. Sungguh, rasanya Inara sudah menjadi gadis bodoh saat berbicara dengan orang di sampingnya ini.
Keduanya sama-sama diam. Gadis di dekat Inara itu kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan kening yang berkerut tanda serius, sesekali ia membaca sebuah tulisan di kertas yang ada di depannya.
"Lo ngetik apa sih? Katanya kerja," kata Inara sedikit kepo.
Sebenarnya ini seperti bukan Inara yang biasanya. Inara tidak pernah ingin tahu tentang urusan orang lain apalagi orang asing, tapi ... entah kenapa saat Inara bertemu dengan gadis berjilbab ini membuat rasa keingintahuan Inara melonjak begitu saja.
Gadis berjilbab itu melirik Inara sebentar lalu mengembuskan napas, ia meletakkan ponselnya di atas buku. "Aku bikin cerita novel, udah ngetik beberapa bab dan kamu datang. Kamu ganggu aku," katanya sambil menatap Inara tak suka.
"Oh, ya? Lo penulis? Nggak nyangka gue ketemu penulis di rumah kosong ini." Inara tidak sakit hati atas perkataan gadis itu, malah Inara sangat bersemangat.
Inara mengusap dagunya seolah sedang berpikir. "Tapi kok gue nggak kenal sama lo. Biasanya, kan, penulis itu terkenal."
"Aku bukan penulis terkenal." Gadis berjilbab itu menatap lurus ke depan dengan nanar, ia tak lagi merasa risih dengan Inara. "Jadi Penulis itu impianku saat kecil tapi sampai sekarang nggak ada perkembangan karena aku malas ngelajutin cerita yang udah bosan aku kerjakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...