Sudah satu Minggu Inara tidak masuk sekolah dan Galen menjadi lebih pendiam dan lebih senang menyendiri, begitupun dengan Harsa maupun Viger. Mereka bertiga seperti orang asing yang berada di satu kelas.
Harsa pun lebih dingin dari biasanya dan terkadang suka bersikap kasar. Viger yang sekarang tinggal di apartemen sendiri tidak tahu menahu soal kabar Inara membuatnya sering melamun memikirkan keadaan adiknya. Galen? Jangan ditanya, pemuda itu masih saja galau. Hari-harinya di kelas hanya diam dan tidur bahkan tidak lagi bertemu dengan Syakila. Entah bagaimana hubungan mereka sekarang.
Keano mengembuskan napas. Cowok itu tidak tahan melihat teman-temannya yang seperti ini terus-menerus. "Kalian tuh kenapa sih? Kalo ada masalah cerita dong, gue nggak tahan nih gini melulu."
Istirahat kali ini keadaan kelas 11 IPA itu sangat sepi hanya ada Galen dan teman-temannya serta beberapa murid yang memang irit uang.
Keano lagi-lagi dibuat kesal karena tidak ada yang merespon, ia beralih pada Dean yang sedang bermain ponsel. "Dean, ajak mereka ngomong dong."
"Malas."
"Sumpah, ya, suntuk banget gue kalo gini terus." Keano mengeluh sambil menopang kepalanya dan bibir yang cemberut.
Cowok berbadan tegap itu tiba-tiba teringat sesuatu. Keano baru sadar kalau teman-temannya berubah saat Inara mulai tidak sekolah dari Minggu lalu karena katanya ada problem bahkan beberapa murid bilang Inara akan pindah sekolah atau mungkin putus sekolah entah karena apa.
Keano menatap Viger. "Vi, adik lo kenapa nggak sekolah? Kok guru nggak ngasih tau keterangannya?"
"Gue nggak tau."
"Lah, lo bukan Abangnya lagi?" tanya Dean. Dia memang tertarik dengan topik mengenai Inara. Maklum, melupakan seseorang yang kita suka itu tidak mudah.
Viger bersandar pada dinding di samping bangkunya. "Rabu sore waktu itu udah dibawa pulang dari rumah sakit dan setelah itu gue nggak tau lagi karena nggak ada yang kasih kabar ke gue. Gue juga belum pernah balik ke rumah karena Viano belum ngasih izin."
Memang Viger masih marah pada Dean dan Galen tapi tetap saja ia tak bisa terus-terusan berdiam diri karena hanya mereka lah yang dekat dengan Viger.
"Kalo gini kasusnya sama aja kayak broken home, ya, nggak sih?" celetuk Keano membuat Galen mendengus.
"Viger bukan broken home, yang broken home tuh si Dean," ujar Galen dingin membuat Dean mendengus pasrah karena memang seperti itu kenyataannya.
Nasib Galen pun tak jauh beda dengan Viger hanya saja Galen tidak diusir hanya didiamkan, tak dianggap ada dan selalu diberikan sindiran oleh Gavi.
"Permisi, Galen nya ada?"
Semua mata di kelas tersebut tertuju pada gadis berwajah polos sedang berdiri di ambang pintu.
Dena menatap Galen sambil tersenyum menggoda. "Cie ... tuh disamperin. Udah kangen kayaknya kan dah lama nggak ketemu."
Galen melirik Dena sinis lalu berdecak. "Apaan sih!" ujarnya lalu melangkah pergi.
Di depan kelas Galen dan Syakila hanya diam. Galen menatap lapangan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, wajahnya terkesan datar tak seramah biasanya saat Syakila dan Galen bertemu.
"Galen."
"Ya?"
"Udah satu Minggu lebih kita nggak ketemu atau ngobrol bareng."
Galen mengangguk membenarkan ucapan gadis itu. Tidak langsung berbicara, ia menunggu apa lagi yang akan diucapkan oleh Syakila.
Syakila menunduk memainkan jari-jari kecilnya gugup. "Soal Inara waktu itu ... " Syakila menggantung ucapannya sedikit ragu.
Galen yang tadi menatap lurus kini mulai menatap Syakila intens menunggu gadis itu menjelaskan sesuatu.
Galen memang tidak bertanya masalah apa yang membuat Inara menampar Syakila, prinsipnya hanya ingin mendengar penjelasan yang datang kepadanya bukan dirinya yang mencari penjelasan atau kebenaran.
Galen berdecak sebal kala Syakila tidak mengeluarkan suara. Entah kenapa Galen merasa muak dengan Syakila yang selalu terlihat lemah. "Cepetan ngomong!"
Syakila terkejut lantas mendongak. Dengan mata yang memerah gadis itu berkata, "sebenarnya ... sebenarnya aku yang minta Inara buat nampar mukaku, Len. Aku merasa bersalah karena udah ngambil kamu dari Inara."
Dada Galen terasa sesak. Cowok itu kembali merasa bersalah dengan Inara. Berapa kali ia sudah menyakiti gadis itu?
Bukan Inara yang tidak pantas untuk Galen tapi Galen lah yang tidak pantas untuk Inara yang nyaris sempurna bahkan gadis itu sangat tangguh dan mampu bertahan dititik terendah.
Galen memandang Syakila. "Kenapa enggak dari awal lo bilang?"
"Aku takut," jawab Syakila sembari menunduk dalam.
"Apa yang lo takuti, La? Dengan lo yang selalu bungkam malah buat kesalahpahaman! Sejak lo muncul di hidup gue sama Inara, hidup kami berantakan, La!"
Syakila menangis. Apa semua ini salahnya? Bukankah Galen juga salah? Syakila tidak akan mau menjalin hubungan jika Galen tidak memintanya.
Syakila memang menyukai Galen tapi jika cowok itu tidak mengajaknya untuk berpacaran dirinya tidak akan mau menjadi murahan.
Syakila menatap Galen dengan pipi yang basah karena air mata. "Aku nggak mau ribut sama kamu, Len. Memang sedari awal aku harusnya sadar kalau kamu tuh nyari aku karena kamu bosan. Aku cuma bahan gabutan kamu aja."
"Aku sadar betul kalau Inara lebih unggul dari aku dari segala hal. Dia cantik, manis, banyak yang suka, pintar, suka ikut lomba sekolah, atlet pelari, pintar segalanya, dan yang lebih penting dia anak orang kaya." Dada Syakila rasanya sangat sesak saat mengingat fakta bahwa Inara nyaris sempurna dan mempunyai segalanya.
"Beda sama aku, Len. Aku orang nggak punya. Sekolah modal beasiswa bahkan untuk beli baju aja aku harus kerja dulu. Kamu pikir aku nggak minder pacaran sama kamu? AKU MINDER, LEN! Aku selalu berpikir kalau kita ini nggak setara. Bahkan orang tua kamu aja nggak suka sama aku. Aku minder, tapi aku nggak bisa ngelepasin kamu gitu aja. Aku sayang, Len."
"AKU CUMA PENJUAL GORENGAN, LEN!"
Di dalam kelas Keano dan Dean berbisik-bisik tentang Syakila yang sedang berdebat dengan Galen. Mereka berdua tampaknya berharap ini adalah ujung dari hubungan Galen dan Syakila.
"Kamu pikir setiap jika jalan, aku bahagia? Enggak, Len. Setiap jalan aku selalu mikir kalau kamu tuh beneran sayang nggak sama aku?"
Galen masih saja diam, ia mengingat kenangan-kenangannya bersama Syakila.
"Apa pernah kamu bilang cinta ke aku? Apa pernah kamu muji aku barang sekali aja? Enggak, Len! Kamu nggak pernah ngelakuin hal itu, yang kamu lakuin cuma bandingin aku sama Inara, muji semua kemampuan Inara bahkan kamu ceritain masa lalu kamu sama Inara. Kamu pikir hati aku nggak sakit?"
Sekali lagi Galen dibuat sadar bahwa bukan hanya Inara yang ia sakiti tapi ada gadis lain yang selama ini bersamanya. Gadis yang ia jadikan selingkuhan tapi tak pernah menganggapnya ada.
"Terus mau lo apa?"
Syakila tertegun. Sedikit terkejut karena Galen tak lagi menggunakan 'aku-kamu' saat berbicara dengannya. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuk memperbaiki hubungan mereka. Galen hanya berpatok pada Inara dan Syakila tidak bisa menandingi gadis itu.
"Aku mau kita putus."
Galen mengangguk singkat. "Oke."
******************************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...