BENARA GENERATION.
"AYAH!"
"AYAH LEPASIN BLAZA!"
Ben duduk di kursi kayu, kemudian tertawa jahat melihat anaknya yang berusia 9 tahun sedang terikat di pohon mangga dekat kolam renang rumahnya.
"Setelah kamu bisa ngomong R baru Ayah lepasin," jawab Ben lalu menyesap kopi buatannya sendiri.
Braza Meidiawan Mahija adalah putra satu-satunya dari Ben dan Inara. Usianya sudah 9 tahun tapi sampai detik ini sang anak belum juga pandai berbicara fasih.
"Mangkanya, Za, jangan maling terus. Malu Bunda sama pak Bondan," sambung Inara di samping Ben. Wanita itu masih terlihat cantik walaupun harus duduk di kursi roda.
Braza menggoyangkan tubuhnya agar tali yang mengikat kedua tangannya di atas sana terlepas tapi, yang ia lakukan hanya sia-sia dan membuang banyak tenaga.
"Pak Bondan pelnah bilang ke Blaza kalau Blaza boleh ambil alpukat sebanyak yang Blaza mau." Anak itu berkata dengan alis bertaut. "Padahal Bunda sendili yang bilang kalau maskelan pake alpukat bisa bikin muka ganteng kayak om Halsa."
Ben melebarkan mata, ia bangkit dari kursinya lalu menggulung kaos panjang menatap anaknya dengan tajam. "Om Harsa kamu bilang ganteng? Kamu pikir Ayah ini jelek banget, ya?"
Inara terkekeh kecil saat melihat perdebatan antara suami dan anaknya.
"Iya, Ayah jelek banget! Coba aja ayahnya Blaza itu om Halsa bukan Ayah Ben," ujar Braza sedikit lirih namun, sialnya Ben masih dapat mendengar.
"Oh, gitu, ya? Ayah jelek, hm? Kalau Bundamu nikah sama om Harsa, kamu nggak akan ada, Braza!" Ben berkacak pinggang. "Tadinya Ayah mau lepasin kamu tapi nggak jadi karena kamu ngatain Ayah jelek."
Ben menatap istrinya. "Bun, ayo pergi nggak usah dilepas talinya sampai Braza bisa ngomong R."
"AYAH!" Braza merengek namun Ben dan Inara malah pergi meninggalkannya.
Ben membawa istrinya ke depan televisi yang menyala kemudian menuntun Inara agar dapat duduk di sofa panjang.
"Kamu tuh terlalu keras sama Braza," kata Inara yang sudah duduk di sofa.
Ben duduk di sebelahnya lalu mengganti channel TV. Tangan kanannya mengudara lalu mendarat tepat di kepala Inara. Ben menggerakkan tangannya dengan gerakan pelan, mengusap rambut sang istri dengan penuh kasih sayang. "Dia itu cowok dan kita harus tegas biar nggak cemen kayak Harsa."
"Jangan bawa-bawa Harsa. Kamu tuh udah merasa hebat, ya?"
Ben menatap Inara lalu tersenyum konyol. "Hebat dong, bisa dapetin kamu," ujarnya sambil menyisir rambut ke belakang dengan gaya pongah.
Inara hanya mendengus lalu menggeleng pelan. Sejujurnya Inara merasa amat bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan doanya.
Inara sangat bersyukur karena Ben menjadi suaminya. Pun aslinya Inara sempat tak menyangka bahwa cowok dengan kelakuan konyol seperti Ben akan menjadi pasangan hidupnya. Inara selalu berharap bahwa kebahagiaan ini selalu menyertai keluarga barunya.
"Oh, ya, omong-omong kamu katanya mau cari cewek yang namanya Navi. Mau aku bantu nggak?" Ben bersandar pada bahu kecil Inara kemudian tangannya memainkan ujung rambut perempuan itu.
Inara mengusap kepala Ben. "Aku udah dapet orangnya lewat medsos dan udah chat semua yang pernah jadi beban aku juga."
"Kenapa kamu cerita ke dia? Kamu nggak malu?"
"Buat apa malu?" Usapan lembut itu terhenti. Inara menurunkan tangannya. "Miris, ya, gangguan mental di negara kita ini dianggap sebagai aib bahkan buat pergi ke psikolog aja malu karena takut dianggap gila."
Ben mengangguk. "Ya, itu stigma yang awet di negara kita, kan? Masalah gangguan mental dianggap hal yang tabu."
"Gangguan mental bukan hal yang tabu, aib ataupun memalukan. Mental juga butuh istirahat dan bukan cuma fisik aja yang bisa lelah, Ben. Terkadang juga, orang yang menganggap gangguan mental adalah hal tabu biasanya kurangnya pemahaman soal kesehatan mental."
Inara mengembuskan napas. "Ada kalanya aku harus memilih jalan ini agar hati lebih lega dari sebelumnya. Bukan niat untuk mencari sebuah sensasi tapi aku hanya mau semua perempuan mendapatkan keadilan dan aku juga mau kalau gangguan mental nggak selamanya harus menyerah begitu aja, aku mau mereka terus berusaha sampai ada dititik kebahagiaan yang Tuhan berikan. Apa aku salah, Ben?"
Ben menggeleng, ia membenarkan posisi duduknya lalu menarik Inara dalam dekapan. "Enggak sama sekali. Aku tau niatmu baik dan mungkin nggak semua akal manusia bisa sesuai dengan apa yang ada dipikiran kamu, Ra."
Inara mengangguk saja. "Aku cuma mau orang-orang sadar bahwa depresi, skizofrenia dan lain-lain bukanlah suatu yang tabu. Aku cuma mau mereka sadar kalau mereka nggak sendirian dan aku berharap mereka bisa sembuh tanpa harus gengsi buat berobat."
Ben semakin erat memeluk Inara memberikan dekapan yang hangat dan tidak akan meninggalkan wanita itu.
"Aku juga nggak bisa sembuh secara total tapi aku bersyukur Tuhan memberikan kamu dan Braza dalam hidup aku." Inara mendongak menatap Ben penuh kasih sayang.
Ben mengusap kepala Inara lalu mencium kening istrinya singkat. Ben kemudian menatap bola mata Inara dengan lekat lalu senyumnya terbit. "Ini salah satu impian aku maupun kamu, hidup yang bahagia sampai maut memisahkan."
Kedua pasutri itu berpelukan menyalurkan semua kasih sayang dan syukur atas nikmat Tuhan hingga lupa bahwa sang anak masih terikat di pohon mangga.
"AYAH, BUNDA! LEPASIN BLAZA ATAU BLAZA KASIH PELAJALAN NANTI!"
Teriakan menggelegar itu mampu membuat Ben dan Inara terkejut hingga melepaskan pelukannya.
Ben mengusap wajahnya kasar. "Anak angkat Harsa ini emang sialan!" gerutunya lalu bangkit dan berjalan ke arah Braza membiarkan sang istri yang duduk di sofa dengan raut panik.
*********************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...