Harsa melamun di kursi tunggu. Pemuda itu menggoyangkan kakinya karena cemas, ingatan Harsa masih pada beberapa menit yang lalu saat dokter bernama Kristiana berwajah bule tergopoh-gopoh mendapati Inara yang pingsan di pelukannya.
Harsa ingat jelas bahwa dokter tadi menangis sambil merapikan rambut Inara yang berantakan. Tak hanya itu, Harsa pun ingat sekali ucapan dokter Kristiana tadi.
"Kamu teman dekatnya Inara?" tanya dokter Kristiana saat itu.
Harsa hanya mengangguk samar. Entah ini bohong atau tidak, karena Harsa sendiri merasa tidak begitu dekat dengan Inara tapi hatinya seakan meronta jika memang Harsa adalah yang terdekat.
Tapi pikirannya kembali menolak, Harsa ingat bahwa Inara selayaknya langit dan dirinya lautan yang sampai kapanpun tidak akan pernah dekat apalagi bersatu.
"Kenapa bisa traumanya kambuh? Bahkan ini semakin parah? Siapa yang ganggu Inara di sekolah?"
Harsa terdiam. Trauma? Sejak kapan Inara punya trauma?
Dokter Kristiana menatap Harsa penuh curiga. "Kamu tidak tau kalau Inara punya trauma? Artinya kamu bukan teman dekatnya."
Mengingat kata-kata dokter bule tadi membuat Harsa mengacak rambutnya frustasi. Pikirannya kacau dipenuhi oleh Inara, sedari kapan gadis kesayangannya jadi seperti ini? Apa yang membuat Inara memiliki trauma?
Harsa kembali mengingat puing-puing memori ketika Inara menangis, bergumam tak jelas, berteriak, ketakutan, tubuh yang bergetar, bahkan Inara selalu waspada terhadap lawan jenisnya sendiri.
Ada apa dengan Inara?
"Inara di dalam?"
Harsa mendongak, matanya menatap Viano yang tampak lelah berdiri di hadapannya. Kemudian Harsa mengangguk lesu membuat Viano mengembuskan napas lalu duduk di sebelah Harsa.
"Kamu yang bawa adik saya ke rumah sakit?"
Harsa hanya mengangguk lesu.
"Terima kasih, Harsa. Saya yakin kamu orang baik."
Harsa termenung sejenak lalu menatap Viano yang kini sedang menempuk bahunya pelan.
"Bang Vian nggak masuk buat liat Inara?" tanya Harsa sedikit canggung.
Mau bagaimanapun Harsa sudah lama sekali tidak berkomunikasi dengan Viano. Kakak pertama Inara ini terlalu dingin dari kebanyakan orang bahkan sangking cueknya di usia yang terlampau matang ini Viano pun tak kunjung mencari istri.
Harsa dapat melihat mata yang tajam itu kini berubah menjadi sayu, wajah Viano pun terlihat sedih sambil menatap ruang rawat Inara.
"Sudah lama sekali."
Harsa memasang telinganya, benar-benar mendengarkan ucapan Viano.
"Lama sekali saya pergi, tidak pernah bertemu dengan Inara bertahun-tahun lamanya. Tapi disaat saya kembali, gadis itu pun masih tak bisa dijangkau oleh saya. Kali ini bukan saya yang menjauh, melainkan Inara."
Viano menerawang jauh hingga tak sadar bahwa air matanya mengalir membasahi pipi hingga ujung rahangnya.
"Saat pertama kali saya mendarat di Indonesia, saya berharap agar bisa memeluk Inara, mencium seluruh wajah ayu nya lalu melindungi nya seperti saat saya masih kecil." Viano menunduk sedih. "Kejadian yang mampu menghancurkan hati saya bulan lalu membuat saya ikut merasa takut, takut bahwa Inara akan mengakhiri hidupnya."
Harsa semakin dibuat bingung. Sebenarnya kejadian apa yang membuat keluarga Inara menjadi seperti ini bahkan keluarga Galen pun merasa amat malu dengan keluarga Inara.
"Kejadian menakutkan itu membuat seluruh keluarga laki-laki terpukul bahkan tidak bisa mendekati Inara bahkan untuk menyentuh gadis itu saja rasanya sangat sulit. Bukan hanya para kakek, sepupu, dan saya, bahkan ayah saya tidak bisa memeluk putrinya sendiri untuk memberikan kekuatan."
"Inara sudah terlalu jauh untuk saya dan ayah rengkuh. Harapan hanya ada pada mama, karena cuma mama, tante dan para nenek saja yang bisa menenangkan Inara." Viano terkekeh miris. "Terkadang saya merasa iri pada temannya bernama Nathan, dia bisa berdekatan dengan Inara bahkan membuat gadis itu terhibur. Jika malam itu tidak ada Nathan dan Zoya, entah apa yang akan terjadi pada adik saya."
"Malam itu?" gumam Harsa merasa bingung.
"Ya, malam di mana Dean mengadakan pesta ulang tahun. Inara tidak akan mengalami PTSD jika Dean tidak melakukan hal bodoh, Inara tidak akan merasa trauma jika Galen dan Viger menjemputnya kala itu. Mereka bertiga benar-benar sampah yang tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan."
PTSD? Post traumatic stress disorder?
Harsa terkejut bukan main saat mendengar perkataan Viano. Rasanya jantung Harsa ingin copot karena pompanya sangat cepat dari biasa. Tubuh Harsa lemas dengan otak yang blank, rasa panas dingin menyeruak di tekuk lalu menjalar hingga ke seluruh anggota badannya.
Harsa syok mendengar satu fakta tentang Inara bahwa gadis itu menderita Post traumatic stress disorder pantas saja Inara selalu bertingkah aneh setiap kali gadis itu akan mendapatkan kontak fisik dengan lawan jenis.
Mata Harsa memanas, air matanya lolos begitu saja dan Harsa tak mengusapnya. Biarkan saja air mata itu dengan lancang membasahi kedua pipinya yang tirus.
"I-inara ... Inara bisa sembuh, Bang?"
"Kemungkinan kecil. Pelecehan seksual bukan hal yang mudah diterima untuk Inara, gadis itu bahkan benci sama dirinya sendiri saat ini."
Sakit rasanya saat mengetahui fakta lainnya. Harsa sudah benar-benar lemas, dadanya sesak, tangisnya kian menjadi-jadi kala otaknya terbayang-bayang wajah cantik Inara.
Harsa menutup wajahnya dengan kedua tangan, biarkan saja Viano tahu kalau dirinya menangisi Inara.
Viano menepuk bahu Harsa. "Kalo mau masuk, kita tunggu mama saya datang."
Harsa tidak menjawab, rasanya ia tak sanggup melihat gadis rapuh itu. Rasanya Harsa ingin menghajar orang-orang yang menciptakan trauma Inara.
Viano tersenyum tipis, ia tahu sekarang siapa yang benar-benar tulus mencintai Inara. Hanya saja ada rasa kecewa dalam hati Viano untuk Harsa karena ...
Kenapa tidak sedari dulu Harsa mengejar Inara?
Kenapa baru ini Harsa menunjukkan rasa cintanya?
Sejujurnya dari Keano, Viano tahu kalau Harsa sudah lama menyukai Inara bahkan lebih dulu dari pada Galen.
*********************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...