"Nara, ayo makan dulu."
Sudah 5 kali Nanda-ibu Inara itu membujuk putrinya untuk makan siang tapi si gadis tidak merespon.
Nanda begitu sedih saat mendengar cerita Zoya tentang kejadian Inara di kantin karena sebetulnya Nanda belum siap melepaskan Inara untuk pergi ke sekolah atau tempat terbuka lainnya. Nanda masih takut.
"Tante, biar Zoya aja yang bujuk." Zoya ingin mengambil mangkuk bubur di tangan Nanda tapi wanita itu dengan sikap keras kepala menggeleng.
"Nggak papa, Zoya. Kamu makan dulu gih di meja makan. Di sana udah ada ayah sama Viano."
Mendengar nama Viano membuat Zoya tersenyum malu-malu dengan pipi yang bersemu merah. Ya Tuhan, semua orang pun tahu perasaannya dengan Viano si laki-laki dewasa yang singgah di Amsterdam dan baru ini pulang ke Indonesia.
Sebenernya Zoya tidak pernah bertemu langsung dengan Viano, ia mengenal Viano karena Inara selalu menelpon lelaki tersebut saat sedang bersamanya dan dari sana lah cinta Zoya tercipta.
"Yaudah kalo Tante maksa, Zoya bakalan makan di bawah. Kalo gitu Zoya pergi dulu, ya, Tan."
Nanda mengangguk sambil tersenyum. Wanita itu menggeleng pelan seraya menatap Zoya yang kini menuruni anak tangga.
Nanda kembali melihat putrinya yang meringkuk di kasur. Dengan tatapan sendu, Nanda melangkah masuk lalu mengusap bahu Inara dengan pelan.
"Sayang, bangun yuk." Nanda kembali membujuk.
"Nara nggak mau makan."
Nanda mengembuskan napas lelah. Sejak beberapa bulan terakhir ini, Inara sangat sulit untuk makan bahkan pernah Nanda memesan banyak bakso agar gadis itu tergiur tapi sayang, Inara tak berminat. Padahal Nanda tahu kalau Inara sangat menggilai bakso.
"Nara jangan gini dong, Mama sedih kalo liat Nara yang selalu murung. Emangnya Nara mau liat Mama nangis kayak kemarin? Emangnya Nara mau liat Mama sakit kayak kemarin?"
Inara masih tetap diam, samar-samar ia mendengar suara isak tangis yang ada di belakangnya. Kemudian Inara berbalik lalu bangkit dari tidurnya, ia menyingkirkan selimut tebal yang sempat menutupi seluruh tubuhnya lalu menatap Nanda.
Kedua tangan Inara terangkat lalu mengusap pipi Nanda. "Nara nggak suka liat Mama nangis."
Nanda tersenyum lega. Ini pertama kalinya sejak gadis itu memakai gaun merah, Inara tak pernah berbicara panjang mungkin saja Inara akan merespon 'iya, tidak, tidak mau, dan malas' selain itu Inara akan bungkam dan mengurung diri di kamar.
Dengan sisa-sisa semangat, Nanda menyuapi Inara membuat gadis itu sedikit memundurkan wajahnya lalu menerima suapan dari sang mama.
"Mama bersyukur kamu sudah mulai terbuka."
Tak ada jawaban, Inara khidmat meneliti rasa dan campuran bubur hingga tak sengaja mata tajamnya menatap ke arah pintu di mana Viger berdiri dengan tangan terlipat di dada. Cowok itu bersandar di pintu memandangnya dengan tatapan sinis.
"Cih, manja banget. Sakit apa, sih, sampai harus disuapi? Lumpuh, ya, anak terakhir Mama?" kata Viger bercanda.
Senyum Nanda memudar. Wanita itu menatap Viger dengan raut marah yang kemudian bangkit lalu meletakkan mangkuk bubur itu di nakas. "Maksud kamu apa?"
"Ya ... itu si Inara, dia sakit apa sih? Kok manja banget minta disuapi kayak orang lumpuh aja," kata Viger sedikit ragu.
Napas Nanda memburu, tak pernah ia dibuat semarah ini pada anak-anaknya tapi Viger benar-benar keterlaluan. Dulunya Viger adalah anak yang berbakti, tak pernah sedikitpun Viger menjelekkan saudarinya seperti ini. Mendengar ucapan anak keduanya itu benar-benar membuat hati Nanda hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...