Biasanya di pagi hari Inara akan membuka gorden lalu tersenyum Indah saat matahari terbit. Namun kali ini berbeda, ia hanya menangis pilu saat melihat tubuhnya yang sudah penuh luka dan wajahnya yang banyak lebam.Inara ingat, bahwa tengah malam saat cairan obat yang diberikan cowok sialan itu habis, Inara kembali memberontak, berteriak minta dibebaskan. Namun cowok itu malah memukul, menciumnya kasar, lalu menampar wajah Inara.
Dengan selimut yang membungkus tubuhnya, Inara meringis lalu sedikit menggerakkan tangannya yang terikat kuat, sama seperti kakinya yang membiru karena tali itu menjeratnya kuat.
Mata sembab itu melihat sekitarnya yang sudah kosong, hanya alunan musik berjudul Tis maniac's in love with you milik Alice Cooper yang yang mengganggu gendang telinga Inara.
Sepertinya cowok gila itu memang sengaja menyetel lagu tersebut untuk Inara saat sudah bangun.
Inara kembali terisak saat mengingat kejadian semalam. Kini seluruh tubuhnya sakit, bahkan hatinya pun ikut sakit. "Tolong ...," rintih Inara menyedihkan.
Inara terus menggerakkan tangannya agar terlepas dari tali, memang sulit dan membuat pergelangan tangannya menjadi terluka tapi hal tersebut membuatnya bebas, Inara bisa melepaskan tangannya dari tali kotor itu. Gadis itu kembali meringis, ia bangkit lalu melepaskan ikatan yang menjerat kedua kakinya.
Demi apa, Inara sudah seperti sapi perah yang tidak berarti. Miris sekali saat meratapi dirinya saat ini. Kemudian Inara membungkuk, mengambil pakaiannya yang sudah sobek.
Sambil menangis ketakutan, Inara memasang gaunnya kembali masa bodoh dengan gaun mahal itu yang sudah sobek bagian paha dan bahunya. Inara tidak peduli, yang ada dipikirannya hanya kabur. Demi apapun perasaannya hanya dilanda rasa takut saat ini.
Dengan kaki yang terpincang-pincang Inara membuka pintu. Angin sejuk menerpa wajah pucatnya, rambut panjangnya pun sedikit mengenai luka Inara di lengan serta wajah saat angin itu berdatangan.
"Mau ke mana cantik?"
Inara mematung, suara itu ... suara yang membuat Inara ketakutan setengah mati. Inara meneteskan air mata, tubuhnya bergetar kuat serta jantung yang berdetak kencang ketakutan.
"Mau pergi, ya?" Suara itu semakin tak bernada.
Kedua tangan Inara terkepal. Isakan kecil keluar dari mulut Inara yang sedikit sobek, ia menangis di ambang pintu saat mendengar suara langkah kaki kian mendekatinya. Sungguh, Inara benar-benar takut, gemetar tak karuan. Inara tidak berani menoleh ke belakang.
"Kakak pikir, aku udah puas main sama Kakak?" katanya diiringi suara sendok yang bersentuhan dengan mangkuk. Cowok itu menunduk memandangi buburnya yang akan sia-sia. "Aku tinggal masak sebentar buat bikin bubur untuk Kakak dan Kakak malah berniat kabur. Puas-puasin aja dulu, Kak main sama aku nya, baru boleh pulang. Tapi jangan kasih tau orang, ya, enaknya mainan kita gimana."
Telinga Inara panas rasanya. Tidak tahu malu, dasar manusia bejat! Inara kembali merasa miris. Dirinya hanya seonggok sampah sekarang, muak sekali dengan orang di dalam villa tersebut hingga tanpa basa-basi akhirnya Inara berlari pergi menjauhi villa.
Inara pikir orang itu tidak akan mengejarnya. Bisa Inara dengar bahwa mangkuk yang sepertinya berisi bubur itu dilempar ke sembarang tempat lalu cowok itu mengejar Inara.
Inara melewati mobilnya, biarkan saja mobilnya di sini yang penting sekarang adalah dirinya sendiri. Inara terus berlari menahan rasa sakit di semua tubuh tak terkecuali telapak kakinya yang sudah berdarah karena menginjak beberapa ranting kayu yang tajam.
Inara menoleh ke belakang, di sana-cowok tinggi berkulit putih sedang mengejarnya tapi Inara tak dapat melihat wajah itu karena di tutupi topi koboi. Jarak mereka sangat jauh, Inara terus berlari hingga ke jalan yang ramai.
Tubuhnya lemas, matanya tiba-tiba berkunang-kunang. Inara menangis dengan napas yang tersengal-sengal. Gadis bergaun compang-camping itu tak lagi berlari, ia berjalan di pinggir jalan dengan terhuyung sambil memukul kepalanya yang pusing hingga akhirnya ia terjatuh di pinggir jalan tak sadarkan diri.
********************
"Tolong kecapnya dong," minta Keano dengan tangan kiri yang terulur ke arah Dean.
Harsa menepuk tangan itu. "Enggak sopan. Kalo mau minta sesuatu pakai tangan kanan!"
Keano berdecak malas, masa bodoh dengan Harsa yang penting Dean sudah memberikan kecap itu kepadanya. Lagian sedari kapan Harsa menjadi bawel seperti ini? Dulunya saja Harsa menjadi orang yang masa bodoh dengan sekitar.
"Len, Viger nggak bilang apa-apa gitu ke lo?" tanya Dean disela-sela kunyahannya.
Galen hanya menggeleng singkat lalu memberikan minum pada Syakila yang tiba-tiba tersedak.
Dean mendengus. "Aneh banget. Biasanya kalo nggak masuk pasti bilang ke kita-kita."
Ya, memang. Sudah menjadi kebiasaan Viger untuk memberi tahu teman-temannya jika cowok itu enggan masuk sekolah. Tapi sudah 3 hari ini cowok itu tidak masuk sekolah.
Galen tetap diam hingga tatapannya tertuju pada Inara yang sudah memasuki kantin bersama Nathan dan Zoya. Galen tertegun sejenak saat Nathan dengan mudahnya memberikan lelucon hingga membuat gadis yang Galen cintai tertawa lebar.
Inara duduk tak jauh dari Galen membuat cowok itu dapat menghirup aroma strawberry bercampur bunga sakura yang ada pada tubuh Inara. Memang, Inara selalu harum hingga membuat Galen seperti candu untuk berdekatan dengannya.
"Gue tanya ke Inara aja kali, ya?" Galen bangkit tak memperdulikan Syakila yang sekarang menatapnya sendu.
"Awas lo cari ribut." Keano mengangkat sendoknya mencoba untuk mengancam Galen.
Galen tak menanggapi, mengusap kepala Syakila sebentar lalu melangkah pergi dengan jantung yang berdebar. Memang seperti itu perasaan Galen saat berdekatan dengan Inara, merasa gugup tapi menyenangkan.
"Ra, coba yang ini deh. Lo pasti suka," ujar Nathan yang memberikan siomay pada Inara.
"Inara enggak suka siomay," celetuk Galen yang sekarang sudah berdiri di belakang Zoya.
Galen duduk di samping Nathan lalu tangannya terulur mengambil sendok dan ia arahkan ke mangkuk Inara untuk mengambil siomay yang sempat diberikan Nathan. Galen memakannya dan menatap Nathan penuh kemenangan.
Inara hanya diam sambil mengembuskan napas jengah. Pasti akan ada keributan lagi jika human seperti Galen muncul.
"Mau nyari ribut, lo?" tanya Zoya tidak suka.
Galen menggeleng santai, menelan habis siomay itu lalu menatap Inara dengan tatapan dalam. "Ra, Abang lo ke mana?"
Sambil mengaduk kuah bakso, Inara menjawab santai. "Kerja."
"Viger udah kerja?"
"Viano, bodoh! Bukan Viger!" seru Nathan merasa dongkol.
Memang, Nathan akan merasa kesal jika berdekatan dengan Galen. Jangankan berdekatan, hanya melihat wajah cowok itu dari jauh saja rasanya sudah ingin mual.
Galen memang memiliki efek yang sangat buruk walaupun wajahnya tampan tapi auranya memang negatif bak setan.
Galen mendengus. "Gue tanya tentang Viger bukan bang Vian."
"Teman lo udah diusir sama ayah. Dia tinggal di apartemen dekat kompleks rumah gue, sebelahan sama apartemen Nathan," ujar Inara menjelaskan.
Semoga saja setelah Inara menjelaskan suatu yang tak bermanfaat itu, Galen bisa pergi. Demi apa, selera makan Inara jadi hilang saat ada Galen di sini.
Bagaimana reaksi Galen saat ini? Tentu saja terkejut. Viger diusir dari rumahnya sendiri? Ada apa?
**************************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...