Inara kembali harus terbaring di rumah sakit.
Nanda pun masih menangis di samping brankar inara yang belum juga sadar, sementara Brian kini hanya bisa menatap dari jauh. Pria itu berdiri di dekat jendela sedangkan Viano berdiri di samping Nanda dan mengusap punggung sang mama mencoba menenangkannya.
Brian memalingkan wajah. Tak kuat rasanya memandang istri dan anaknya yang seperti ini. Brian selalu berdoa kepada Tuhan untuk menghilangkan segala beban dalam hidup putrinya namun Tuhan tak kunjung mengabulkan, mungkin belum saatnya hanya saja Brian sudah tak sanggup melihat Inara yang seperti ini.
Brian melangkah keluar ruang rawat, matanya tertuju pada Viger yang sedang duduk di bangku panjang rumah sakit dengan jari yang terus ia gigit.
Bria tahu jika Viger merasa khawatir, sejujurnya Brian tak tega bersikap dingin pada anaknya yang satu ini hanya saja rasa kecewanya sungguh besar hingga membuat Viger terus bertanya-tanya.
"Pulang, Inara tidak mengharapkan kehadiran kamu."
Viger mendongak, keduanya beradu tatap hingga akhirnya Viger berdiri.
"Inara kenapa, Yah?"
Brian hanya diam, tak kuasa untuk menjawab perihal keadaan putri semata wayangnya.
"Bukan urusan kamu."
"Viger Abang nya kalo Ayah lupa."
Kedua tangan Brian terkepal. "Kamu tidak perlu tahu, Viger. Yang harus kamu ingat adalah jangan dekati Inara lagi, jangan muncul di hadapan Inara, dan tolong ... Ayah mohon sama kamu, tolong menjauh dan jangan tanya 'Inara kenapa' karena sampai kapanpun Ayah tidak akan menjawabnya."
"Viger berhak tau karena Viger Abangnya! Inara masih ada hubungan darah sama Viger, Viger juga keluarga dekat Inara. Terus apa yang buat Viger nggak boleh tau sedangkan bang Vian tau?"
Brian terdiam, ia tak akan memberi tahu alasannya tanpa seizin Inara. Gadis itu mewanti-wanti Nanda dan dirinya untuk memberi tahu Viger masalah ini karena gadis itu tak ingin dipandang rendah oleh orang-orang, Inara pun malu dengan masalah yang menimpanya beberapa bulan yang lalu.
Brian mengembuskan napas seraya memejamkan mata. Pria berkemeja hitam berantakan itu kembali membuka mata lalu menatap Viger tajam. "Tidak usah banyak tanya, Viger. Yang terpenting untuk saat ini menjauhlah dari Inara."
Brian melangkah pergi meninggalkan Viger yang masih bertanya-tanya dalam benak. Brian sedikit membalikkan badan lalu berkata, "besok Ayah buatkan peraturan untuk kamu di rumah supaya kejadian ini nggak terulang lagi."
Viger termenung membiarkan Brian melangkah masuk ke ruang rawat Inara.
Seolah sadar, Viger melangkah mendekati dinding lalu memukulnya kuat. Viger menangis dengan tubuh yang sedikit bergetar.
Tak pernah ia melihat ayahnya yang bersikap dingin ,tak pernah pula Viger merasakan Nanda yang acuh tak acuh tapi kali ini? Entah apa yang Inara berikan kepada seluruh keluarganya hingga membenci Viger.
"Gue benci sama lo, Ra. Sumpah demi apapun gue benci!"
_JAGRATARA_
"Galen, menurutmu kita ini bakalan selamanya atau salah satunya hanya singgah?"
"Selamanya dong. Aku suka sama Inara udah lama, masa cuma singgah doang."
"Takdir nggak ada yang tau, Galen ...,"
"Inara, aku janji sama kamu kalo aku bakalan setia. Aku bersumpah demi langit, kalau Inara akan jadi satu-satunya!"
Galen termenung menatap rekaman di laptopnya. Dahulu, ia dan Inara sering sekali iseng membuat vlog. Kata Inara sih untuk kenangan kala Galen merasa rindu.
Wajah Inara dulu kala menatapnya masih berseri-seri, gadis itu tak pernah menatapnya tajam bahkan tak terpikirkan bahwa Inara akan membencinya tanpa suatu hal yang jelas.
"Galau mulu," kata Dean yang duduk di tepi kasur. "Kalo udah punya Syakila ya jangan gini dong, apa lo nggak capek terjebak di masa lalu?"
Galen masih diam.
"Inara udah nunjukin sikap aslinya. Mungkin aja dia yang dulu itu cuma pencitraan." Dean meniup kuku-kukunya.
Galen salah. Seharusnya ia tak mengajak Dean untuk kerumahnya. Dengan adanya Dean, hati Galen malah tak tenang. Ucapan temannya yang satu ini benar-benar membuatnya emosi.
"Gue pikir Inara nggak selicik itu. Lagian buat apa dia pura-pura suka di depan gue?" Walaupun hatinya merasa marah tapi Galen tetap merespon Dean dengan sabar.
"Ya ... kalo bukan pencitraan terus ngapain sekarang berubah?" Dean mengangkat satu alisnya. "Gue denger dia nyalahin lo karena waktu gue ngadain pesta lo nggak jemput dia, itu benar?"
Galen hanya bergumam lirih. Tangannya mulai menutup laptop dan menyimpannya di meja belajar.
Dean terkekeh. "Tuh, kan! Inara itu kekanakan banget. Cuma karena nggak dijemput aja dia marah bahkan sampai ngilang berbulan-bulan."
Galen mengerutkan kening. Ucapan Dean ada benarnya juga jika ia teliti lebih lanjut. Gara-gara pesta ia tak menjemput Inara, gadis itu merajuk bahkan menghilang dan setelah kembali entah apa yang ia adukan kepada keluarganya hingga mereka membenci Galen.
Dean diam-diam tersenyum kemenangan saat ekspresi wajah lawan bicaranya yang seolah-olah sudah terpengaruh. Dengan gerakan penuh semangat, Dean mendekati Galen. "Nah, dia ngilang berbulan-bulan bisa jadi itu salah satu trik supaya lo balik lagi ke dua dan nggak mikirin Syakila lagi."
"Kapan lo sadar kalo dia itu cewek ular? Lo nggak perhatiin ya? Keluarga lo sekarang berubah semenjak lo nolak buat jemput Inara waktu pestanya gue?"
Kedua tangan Galen terkepal dengan rahang yang mengeras. Tak pernah ia menyangka jika Inara benar-benar gadis yang sangat licik.
Dean menepuk pundak Galen, pelan. "Sekarang lo pikir-pikir deh. Mana yang harus lo pertahankan, Syakila yang lembut dan baik atau ... " Dean merebut rokok Galen yang entah dari kapan Galen menggenggam rokok tersebut.
Dean tersenyum miring lalu kembali berucap, "pilih Inara yang licik dan nggak benar-benar cinta sama lo, dia cuma mau ngehasut keluarga lo, Len. Sadar!"
**************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...