Sudah jam 10 malam dan Inara belum bisa tidur, walaupun sekarang berada di rumah tapi rasa khawatir dan takutnya selalu Inara rasakan. Tidak hanya di rumah, saat ingin tidur pun Inara harus risau terlebih dahulu.
Takut jika Inara kembali bermimpi hal-hal buruk seperti biasanya atau Inara yang kembali ingin mengakhiri hidupnya.
Gadis berbaju tidur kebesaran itu berjalan mendekati nakas, memeriksa gelas yang kosong, Inara mendengus kesal dan berakhir keluar kamar, menuruni anak tangga ingin menuju dapur tapi saat masih di tangga langkahnya terhenti saat mendengar perdebatan kedua orang tuanya.
"Aku capek, Brian! Kamu nggak bisa diajak kerja sama. Semuanya aku yang ngurus, AKU CAPEK!"
Inara tertegun saat mendengar teriakan Nanda.
"KAMU PIKIR AKU NGGAK CAPEK? AKU KERJA DARI PAGI, SIANG, MALAM, BAHKAN TENGAH MALAM AKU HARUS CARI PELAKU ITU, KAMU PIKIR AKU NGGAK CAPEK?" bentak Brian di depan Nanda.
Wanita itu mengeluarkan air mata."Capek katamu? CAPEK APA KAMU, HA? Kerjaanmu di kantor cuma leha-leha aja. Tiduran aja sedangkan aku?" Nanda menunjuk dirinya sendiri. "Aku bolak-balik ke butik, ngurus anak yang satu tinggal di apartemen yang satunya SAKIT MENTAL! Bandingin kamu sama aku capek yang mana?!"
Inara membekap mulutnya dengan mata yang memanas. Inara paham, kedua orang tuanya adalah pekerja keras, tak sekalipun mereka mengeluh di depan anak-anaknya. Brian dan Nanda jarang istirahat hanya untuk kehidupan anak-anaknya agar tercukupi.
"Leha-leha apanya? Kamu sadar nggak apa yang kamu bilang barusan? Aku jauh dari anak-anak itu untuk kerja. KERJA BUAT KALIAN SEMUA, aku ngurus semua masalah Inara, aku juga yang misahin Inara sama Viger supaya Inara nggak kambuh lagi, dan kamu sekarang mengeluh? KAMU MENGELUH KARENA INARA SAKIT MENTAL, IYA?"
"IYA, AKU CAPEK! AKU CAPEK KHAWATIR SAMA INARA, AKU CAPEK NGELIAT INARA YANG SULIT TIDUR, NANGIS, TERIAK, DAN LAINNYA. BATIN AKU KESIKSA, BRIAN! Aku nggak kuat," ujar Nanda semakin melemah.
Brian menatap Nanda dengan pandangan kecewa. "Secara tidak langsung kamu bilang kalau Inara menyusahkan. Kamu itu seorang Ibu, Nan. Harusnya kamu sabar dan tabah ngadepin Inara yang seperti ini. Seharusnya kamu kasih Inara semangat BUKAN IKUT-IKUTAN DEPRESI KAYAK GINI!"
Nanda menangis kemudian terduduk di lantai.
"Kalau kamu juga ikut-ikutan depresi yang repot aku sama Viano nanti!"
"Tapi aku capek. Kapan Inara sembuh? Aku semakin tua, Brian. Viano tidak juga menikah sampai sekarang, Viger kamu usir dari rumah, lalu Inara? Apa yang aku harapkan dari Inara, Brian? APA?"
"MEMANGNYA CUMA KAMU SAJA YANG MERASA TUA? AKU JUGA, NANDA!" teriak Brian gemas pada istrinya. "Aku juga capek. Jadi tolong jangan ngeluh, aku jadi pusing dengarnya."
Nanda menatap Brian dengan tajam. "Jangan cuma ikut-ikutan aja, Brian. Dari awal aku nikah sama kamu, nggak ada sekalipun kamu ngurus anak, bantuin aku jaga mereka, kamu selalu di kantor dengan alasan sibuk kerja bahkan sampai detik ini, sampai kejadian Inara seperti itu saja kamu masih sibuk kerja!"
"KALAU NGGAK KERJA, KAMU SAMA ANAK-ANAK MAKAN APA?" bentak Brian. "Sudah jadi tugas aku buat cari nafkah untuk kalian tapi kamu masih ngeluh? Dari awal nikah kamu nggak pernah minta apapun. Setiap kamu capek ngurus anak, pasti selalu lempar barang, banting sana-sini dan nggak bilang apa kemauan kamu. Lalu siapa yang harus disalahkan? Seharusnya kalau aku salah kamu ingatkan, kalau kamu mau minta sesuatu, ya, BILANG! JANGAN KERJAANNYA DIEM TERUS MARAH. Kamu pikir aku bisa baca pikiran kamu?"
"KAMU UDAH TUA, BRIAN, SEHARUSNYA KAMU TAU! Enggak perlu aku ingetin, nggak perlu aku kasih tau harusnya kamu pengertian. Dari awal nikah, segala apapun aku yang ngurus. Aku punya suami tapi hidup udah kayak janda tau nggak?" Nanda terengah-engah. Wanita itu sangat marah dan mengeluarkan seluruh unek-uneknya.
"Aku bangun sebelum subuh, siapin makanan untuk kalian semua. Aku beresin rumah, siangnya aku ke butik belum lagi aku ngurus anak-anak. Aku pikir setelah mereka dewasa, mereka bisa ngurus aku, tapi apa? BATIN AKU KESIKSA KALAU GINI TERUS!"
Air mata Inara menetes saat mendengar semua ucapan Nanda dan Brian di bawah sana.
"AKU NGGAK PERNAH NYURUH KAMU BERESIN RUMAH! Dari awal aku udah kirim banyak pekerja buat beresin rumah, masak buat keluarga, dan aku nggak minta kamu buat jadi desainer, kamu sendiri yang minta buat bantu ekonomi keluarga. Padahal nafkah yang aku berikan selama ini sudah lebih dari cukup. KAMU SAJA YANG SELALU MERASA KURANG!"
Inara membekap mulutnya sendiri. Baru kali ini Inara melihat kedua orang tuanya berdebat. Inara tak pernah tahu tentang perasaan mereka, Inara hanya memikirkan miliknya sendiri tanpa tahu jika kedua orang tuanya telah susah payah menjalani kehidupan dan bekerja keras agar anak-anaknya tidak merasa susah.
Inara pikir selama ini Nanda hidup bahagia, tapi ternyata sang mama sudah lama tertekan, lebih-lebih saat kondisi Inara yang seperti ini pasti membuat Nanda menjadi stres.
Inara menunduk. Gadis itu kini mengalahkan dirinya sendiri, ia pikir penyebab orang tuanya ribut karena Inara yang terlalu menyusahkan banyak orang.
Susah tak kuat lagi mendengar Nanda dan Brian bertengkar, Inara memilih menaiki tangga untuk kembali ke kamar tapi baru beberapa langkah kakinya tersandung membuat gelas plastik itu jatuh hingga menimbulkan bunyi membuat Nanda dan Brian mendongak.
Brian melebarkan mata saat melihat Inara yang sedang meringis sambil memegangi kakinya. Pria setengah baya itu berjalan terburu-buru ke arah Inara disusul Nanda yang sudah tak lagi menangis.
"Sayang, kamu nggak papa?" Brian ingin membantu Inara tapi tangannya ditepis oleh sang anak.
Inara meringis menatap kakinya yang ngilu.
"Mana yang sakit? Biar Mama obatin, ya?"
Inara memandang Nanda dengan raut datar. Dapat Inara lihat bahwa mata wanita itu sudah sembab nan merah tapi sebisa mungkin Nanda bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Inara tersenyum tipis lalu menggeleng. "Enggak papa, Inara baik-baik aja."
"Mama bantu ke kamar, ya?"
"Enggak perlu, Ma. Inara bisa sendiri, Inara nggak mau nyusahin Ayah sama Mama," jawab Inara lalu melangkah pergi dengan kaki yang terpincang-pincang.
Sementara Nanda dan Brian kini hanya diam menatap Inara dengan tatapan sedih.
**************************
Ingat, guys. Ada kalanya orang tua lelah sama keadaan, ada kalanya orang tua pengen ngeluh tapi nggak pernah sekalipun mereka ngeluh langsung ke anaknya dan bilang kalau beliau merasa kerepotan. Orang tua mendidik anaknya ikhlas lahir batin tapi nggak selamanya orang tua akan kuat. Semakin bertambah tahun, tubuh orang tua kita pun semakin rapuh.
Jadi hormatilah kedua orang tua. Benar saja, jasa mereka tuh besar banget bahkan kita sebagai anak nggak akan bisa bayar semua jasa itu, seujung kuku pun nggak akan bisa. Cukup buat orang gua bahagia, jangan buat orang tua menangis karena kita. Bagiamana pun sifatnya, mereka tetaplah orang tua kita yang wajib dihormati.
Siapa orang yang paling hebat di hidupku?
Siapa orang yang memiliki kesabaran besar di hidupku?
Maka jawabannya adalah orang tuaku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...