Ben sudah menelpon keluarga Inara dari mulai Brian, Nanda, Viano, hingga Viger, mereka semua bergegas pergi ke rumah sakit. Ben pun juga sudah memberi tahu tentang ucapan Inara sebelum gadis itu pingsan.
"Terus kamu mau pergi dengan Inara yang lagi dioperasi gini?" bentak Nanda sambil menangis.
Sedari awal mereka datang, Nanda dan Brian sudah cek-cok. Mulai dari persetujuan operasi Inara, hingga Brian yang memutuskan untuk mengejar si pelaku namun, Nanda dengan tegas menahannya.
"Ayah di sini aja biar Viano yang urus," kata Viano.
Brian menggeleng. "Ayah udah lama nyari pelaku, udah berbulan-bulan dan ini kesempatan Ayah ngasih dia pelajaran."
Nanda menatap Brian dengan tajam, ia memundurkan langkahnya sambil mengangguk samar. "Oke, silakan kamu pergi NGGAK USAH KE SINI SEKALIAN! Anak lagi sekarat di dalam, kamunya malah alasan mau pergi. Dipikir aku ini robot yang nggak ada capeknya apa?"
"Inara terus-terusan bikin aku khawatir dan sekarang kamu juga berhasil buat aku naik pitam. Brian kamu benar-benar sialan!" Nanda terisak lalu duduk di sebelah Viger yang sedari tadi hanya menonton.
Viger tidak berani berbicara. Cowok itu lebih memilih di sini menunggu kabar baik dari dokter tentang operasi Inara, ia sangat khawatir dengan adiknya yang seperti ini. Tuhan benar-benar telah banyak sekali memberikan ujian pada Inara. Viger berharap bahwa Inara bisa bertahan, ia sangat yakin bahwa sang adik adalah perempuan yang kuat.
Brian tampaknya tidak peduli pada ucapan sang istri. Pria paruh baya itu malah melangkah pergi untuk menghubungi Vino dan juga Damian.
Ben dan Viano pun bangkit mengikuti langkah Brian tapi ayah dari Inara itu menoleh ke belakang menatap Viano lalu mengembuskan napas. "Viano kamu di sini jagain mama dan Inara, Ayah tidak yakin Viger bisa menjaga wanita kita." Brian beralih menatap Ben. "Ben, kamu ikut saya, ya?"
Ben dan Viano mengangguk saja.
Usai mengabari polisi dan Damian, Brian dan Ben melangkah pergi dari rumah sakit membuat Nanda yang berdiri di depan ruang operasi itu memaki suaminya terus-menerus.
Viger mengusap sudut matanya yang berair. Viger terus saja berdoa dalam hati bahwa operasi Inara lancar.
**********************
Harsa menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar. Bola matanya terus bergerak membaca setiap kalimat yang ada.
Ben memberikan informasi bahwa Inara mengalami tabrak lagi dan sekarang berada di rumah sakit menjalani operasi. Ben menceritakan semua kronologisnya saat mobil itu menabrak Inara, tubuh Inara terlempar beberapa meter, lalu kepalanya membentur pembatas jalan, dan berakhir kedua kaki Inara yang tak sengaja ditindas oleh ban mobil.
Harsa sampai tak sadar bahwa saat ini kedua matanya sudah berlinang. Pikirannya kacau memikirkan bagaimana keadaan Inara saat ini?
"Inara," gumamnya sambil terisak-isak.
Selain itu Ben juga mengatakan bahwa pelaku yang menabrak Inara tengah mabuk saat mengendarai mobil tapi untungnya si pelaku menghubungi ambulan, sempat meminta maaf pada keluarga Inara, memberikan sejumlah uang, dan si pelaku juga menyerahkan diri ke kantor polisi.
"Harsa kamu nggak belajar?"
Harsa mendongak melihat Fika yang sedang menyulam di depan televisi. Satu kaki Fika terangkat, duduk lesehan dengan wajah yang serius memandang sulamannya.
Kemudian Harsa bangkit menyambar jaket kulitnya di bantal sofa lantas ia memakainya membuat Fika menoleh menatap Harsa dengan bingung.
"Mau ke mana lagi? Baru aja pulang dari rumah Galen, sekarang mau pergi?"
"Maaf, Bu. Ini penting banget dan Harsa nggak bisa nunda. Harsa khawatir sama Inara," jawab Harsa lalu mengambil kunci motor kemudian melangkah pergi.
Fika menatap punggung Harsa lalu mengembuskan napas sambil menggeleng.
Harsa kini mengeluarkan motor besarnya dari dari bagasi, setelah itu ia pun menunggangi tak lupa memakai helm.
"Bismillah," kata Harsa berharap Tuhan menjaganya di perjalanan.
"EH, TUNGGU!"
Saat ingin menancapkan pedal gas, tiba-tiba saja Vino berteriak kencang membuat Harsa menoleh ke pintu rumah yang terbuka.
Vino berjalan dengan terburu-buru sambil memasang jaket kulit berwarna hitam. Air mukanya sudah sangat khawatir sekarang.
"Kamu mau ke mana?" tanya Vino.
"Kepo."
Vino mengambil helm di bagasi lalu naik ke motor Harsa. "Ayo anterin Ayah ke cafe Mandara," katanya sambil menepuk bahu Harsa bak tukang ojek.
"Harsa nggak bisa. Harsa lagi buru-buru, Yah. Ayah pake mobil aja atau motor Vanya."
"Vanya mau ke rumah temannya, mobil Ayah nggak ada bensin. Ini Ayah juga buru-buru, ayo cepetan."
Harsa mendengus, pupus sudah ia melihat Inara. Harsa terpaksa mengendarai motor tersebut ke cafe Mandara tempat biasa Galen dan Inara berpacaran dulu.
Butuh waktu 20 menit untuk sampai, kini Harsa memarkirkan motornya lalu menatap Damian, Ben, dan Brian yang sedang berbicara pada seseorang di depan cafe.
Vino dan Harsa turun dari motornya lalu berjalan ke arah mereka.
"Gimana?" tanya Vino.
Brian mengembuskan napas kemudian mengacak rambutnya frustasi. "Nggak ada di sini."
"Ke rumahnya aja Om, Ben tau rumahnya."
"Kamu temannya?" tanya Damian.
"Bukan, sih, tapi pernah ke sana dulu waktu ngirim pesanan dari Bunda," ujar Ben sambil tersenyum kecil.
Memang benar, ibu tiri Ben ini mempunyai bisnis kue yang lumayan terkenal dan sempat juga keluarga pelaku memesan kue.
"Ya, udah, tunggu apa lagi? Ayo ke sana." Vino bergegas ke parkiran lalu memberi kode pada Harsa agar cowok itu cepat menghampirinya.
Kini mereka tak lagi di cafe Mandara, Brian dan yang lainnya pergi ke rumah yang katanya milik si pelaku. Ternyata jarak rumah tidak jauh dari cafe maupun rumah Brian. Sungguh, ini benar-benar membuat Brian marah dan semakin frustasi.
Mereka semua turun dari kendaraan masing-masing.
Harsa melihat rumah yang mirip dengan desain rumah orang Belanda. Saat masuk pekarangan pun mereka di sambut oleh bau harum dari bunga melati yang memang banyak ditanam di sekitarnya. Rumah itu tidak terlalu megah, terkesan sederhana tapi elegan.
Lampu-lampu di rumah terpancar sangat jelas membuat rumah menjadi lebih indah bahkan Ben saja sampai takjub melihatnya.
"Keturunan Belanda mungkin orangnya," celetuk Ben lalu mengetuk pintu.
Tidak ada yang menanggapi membuat Ben melanjutkan ketukan pintu kayu tersebut tapi sudah beberapa kali tidak ada jawaban membuat Brian gemas ingin mendobraknya.
"Minggir, Ben, biar saya hancurkan pintunya." Brian mendorong tubuh Ben lalu ancang-ancang untuk mendobrak pintu.
"Ah ... lebih cepat, sayang."
Tubuh semua orang yang berdiri di pintu tiba-tiba membeku saat mendengar suara desahan dari seorang perempuan. Rasanya tubuh para lelaki itu menjadi merinding.
"Nikmat, Kila."
Saat itu pula lutut Ben maupun Harsa rasanya lemas. Mereka saling memandang lalu menelan salivanya.
**********************
Ya Allah, maapin aku😵😵 ada adegan ples-plesnya di sini~~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...