24📖

7.7K 494 1
                                    

Bel pulang sekolah sudah 30 menit yang lalu berbunyi, Inara mengembuskan napas kesal karena supir yang ia tunggu tak kunjung datang dan berakhir Inara harus duduk di halte menunggu sang sopir.

Sebenarnya banyak bus dan taksi yang berlalu lalang di depan matanya tapi Inara sama sekali tidak berniat untuk menghentikan mereka, Inara masih terlalu takut untuk pergi sendiri.

Inara menutup mata sejenak, merasakan terpaan angin lembut yang ia rasakan hingga beberapa helaian rambut ikut bergoyang ke mana perginya sang angin. Sudut bibir Inara sedikit terangkat, nyatanya angin lebih bisa membuatnya bahagia dibanding hujan.

"Sendirian?"

Kedua mata Inara terbuka secara perlahan, ia sedikit mendongak. Bola mata hitamnya tertuju pada sosok tinggi yang sedang menatapnya dalam, tatapan cowok di depan Inara benar-benar lembut walau tak ada senyum di sana namun tetap candu untuk dipandang mata.

Cowok itu sedikit melangkah mundur karena sadar bahwa Inara tak menyukai hal-hal yang terlalu dekat dengan laki-laki. Tangan kanannya yang dihiasi oleh jam tangan hitam itu terulur memberikan jaket tebal kepada Inara.

Inara mengernyit bingung.

"Dipake."

Kontan Inara tersenyum canggung lalu menggeleng, dirinya tidak pernah dekat dengan Harsa. Terakhir kali mereka berbincang saat di depan kelas. Mungkin itu adalah yang pertama bukan yang terakhir.

"Enggak mau, ya?" Harsa sedikit kecewa. Biasanya cewek akan tersipu kalau laki-laki memberikan jaket untuk seorang gadis, tapi sepertinya Inara berbeda dari kebanyakan gadis.

Harsa kemudian menarik tangannya yang sedang memegang jaket, lalu digantikan dengan tangan yang lainnya. Harsa kembali mengulurkan tangan dengan memegang sekotak martabak. "Kalo gitu terima ini."

Inara terkekeh geli. "Enggak pakai perantara lagi?" katanya sambil mengangkat satu alisnya.

Kedua telinga Harsa memerah, ia malu kemudian Harsa menggeleng pelan.

Inara mengambil bunga-bunga tersebut lalu menciumnya, gadis itu menghirup aroma bunga yang dibawa oleh Harsa. Bau wanginya selalu khas dan membuat Inara menjadi tenang sesaat.

Inara kembali mendongak. "Kenapa selalu kasih gue martabak?"

"Supaya lo makan dan badan lo nggak sekurus sekarang. Inara yang gemuk lebih sehat dari pada yang kurus gini, keliatan kayak orang kurang gizi." Canda Harsa kemudian duduk di salah satu bangku halte, sedikit jauh dari tempat duduk Inara. Harsa ingin menjaga jarak agar gadis itu tetap merasa aman dan percaya kepadanya. "Kenapa belum pulang? Bukannya hari ini banyak taksi?"

"Nunggu supir. Lo sendiri? Bukannya bawa motor?"

Harsa terdiam. Sejujurnya, niat awal memang Harsa ingin pulang dengan motornya namun saat dirinya di gerbang sekolah tak sengaja melihat Inara yang duduk sendirian dengan raut yang ketakutan. Jelas saja Harsa khawatir lalu mendekati gadisnya-oh, bukan! Sepertinya belum saatnya Inara menjadi gadisnya. Inara harus pulih terlebih dahulu, masalah hati Harsa? Biarlah urusan terakhir.

"Motor gue mogok." Harsa berbohong.

Inara hanya mengangguk saja, kemudian ia menatap jalanan yang kian sore kian ramai. Maklum, kota memang selalu ramai bahkan tengah malam sekalipun.

Sebenarnya Inara masih sedikit risau karena supir tak kunjung datang, hari pun semakin sore. Inara takut Nanda khawatir di rumah.

"Inara."

"Iya?" Inara menoleh sempurna ke arah Harsa yang duduknya jauh.

Inara sempat bersyukur karena Harsa memahami kondisinya padahal cowok itu tidak tahu apa yang membuat Inara seperti ini.

"Lo indah kayak langit," kata Harsa. Entah setan apa yang merasuki pemuda itu, sepertinya Harsa berbicara tidak sadar saat ini.

Inara terkekeh. "Lo orang ke dua setelah bang Vian yang bilang kayak gitu."

Harsa mengerjapkan mata, kemudian tangan kanannya terangkat memegang mulut. Sialan! Harsa pikir tadi ia berbicara dalam hati. Pipi pemuda itu memerah, malu sekali rasanya.

Inara mendongak menatap langit biru yang sedikit ditutupi awan putih. "Memang cantik, indahnya sempurna tapi gue enggak."

"Enggak ada manusia yang sempurna."

Inara mengangguk menyetujui ucapan Harsa. "Banyak orang bilang gitu. Dulunya juga gue berpikir gue ini sempurna, tapi sekarang gue sadar. Gue punya banyak kekurangan, gue salah satu orang lemah yang selalu putus asa."

Harsa memejamkan mata, ia jelas tahu makna dari ucapan Inara. Tak sanggup dirinya jika ada diposisi gadis itu.

Lo perempuan yang paling kuat setelah Ibu gue, Inara. Lo kuat karena mampu bertahan sampai titik ini. Batin Harsa merasa sedih.

"Langit pun nggak selalu indah, ada kalanya dia sedih, ada kalanya dia marah dan itu sama seperti lo," kata Harsa yang awalnya menatap langit kini menjadi menatap Inara.

Kedua remaja itu bertatapan hingga akhirnya Inara tersenyum tipis. Inara berpaling kemudian menunduk menatap sepatunya yang sedikit kotor. "Emangnya bisa langit sedih sama marah? Apa dia punya perasaan?"

Harsa mendongak, menatap langit penuh damba. "Langit bisa sedih, sedihnya langit itu ... dia bakal nurunin hujan lebat, langit pun bakalan mendung tapi nggak selamanya dia mendung. Langit juga bisa marah, marahnya langit itu ... dia kasih kita kilat, bahkan petir."

"Semenakutkan itu, ya, langit?"

Harsa mengangguk menatap Inara kembali. "Sama seperti lo. Kalo lagi sedih lo bakal nangis, kalo lagi marah lo bikin orang-orang takut dan khawatir, kalo lo bahagia lo akan sama kayak langit biru yang indah dipandang, atau seperti langit malam yang dipenuhi banyak bintang."

Harsa memandangi wajah Inara. Harsa sadar betul bahwa tragedi yang menimpa gadis itu membuat kehidupan Inara berubah, bahkan tubuh dan wajahnya tak seperti dulu yang sedikit berisi dan chubby. Walaupun begitu Inara tetaplah Inara yang cantik dan manis.

Jika dulu Inara selalu memancarkan wajah berseri-seri kini hanya ada Inara yang memancarkan cahaya kelam di wajahnya, seolah-olah tidak boleh ada yang mencari tahu tentang kehidupannya.

"Dikeadaan apapun lo selalu indah, Inara."

**********************

JAGRATARA!! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang