Usai pulang sekolah Harsa sempat membeli martabak seperti biasa dan juga satu ikan kecil yang terbungkus plastik bening.
Kali ini, ia akan memberanikan diri untuk pergi ke rumah Inara tanpa didampingi oleh siapapun termasuk teman-temannya.
"Aduh, duh. Mau ke mana? Kok rapi banget." Vanya melirik Harsa yang sudah wangi khas bau parfum laki-laki.
"Ke rumah Inara ngasih ikan sama martabak," jawab Harsa seraya memakai jam tangannya.
"Awas lho, Bang, nanti diusir sama Om Vian."
Harsa terkekeh kemudian menjawab, "nanti gue bilangin ke orangnya mampus lo."
"Enggak takut," ujar Vanya lalu menjulurkan lidahnya meledek Harsa setelah itu Vanya bangkit dari sofa dan melangkah pergi.
Harsa menatap adiknya sambil menggeleng pelan.
"Anak Ibu mau ke rumah Inara?" Fika baru saja keluar dari dapur dengan membawa semangkuk jeruk yang sudah dikupas.
"Iya, Harsa boleh keluar, kan?"
"Tapi udah mau magrib, Nak. Selepas salat, kan, bisa."
Harsa menatap Fika yang sekarang duduk di sofa sambil memakan jeruk. Harsa mengembuskan napas, ia sudah lama tak melihat wajah cantik Inara. Rasanya rindu Harsa sudah tak bisa dibendung lagi.
"Harsa janji pulang sebelum magrib," kata Harsa meyakinkan. "Kalau telat, Harsa salat di masjid terdekat kok, Bu."
Fika masih diam. Matanya memandangi ikan terbungkus plastik yang tergeletak di meja. Mati-matian Fika menahan tawa.
Apa tidak ada barang romantis lainnya yang bisa diberikan oleh Inara? Kenapa harus ikan yang sangat kecil ukurannya? Jelas tidak bermanfaat, bahkan dimakan saja tidak kenyang hanya untuk satu perut.
"Boleh, ya, Bu. Harsa janji nggak akan lama-lama di rumah Inara. Ngasih martabak sama ikan abis itu pulang deh."
"Oke tapi jangan ngebut, ya."
Harsa melebarkan senyumnya lalu mengangguk. "Siap, Bu." Harsa mengambil kunci motor, bunga, dan ikannya yang tadi tergeletak di meja lantas berlari keluar rumah tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu.
Fika mendengus lalu menggeleng pelan. "Gawat juga anakku kalau lagi dimabuk cinta."
***************************
Kesepuluh jari tangan itu terus bergoyang cemas. Bibir kecilnya pun terus digigit agar rasa cemasnya hilang tapi tatapan Brian dan Viano membuat Harsa tak berkutik.
Harsa kembali menunduk, menatap martabak yang mungkin sudah dingin di kotaknya dan ikan yang sedang berenang di dalam plastik. Harsa berharap Inara cepat keluar dari kamarnya dan menemui Harsa. Sungguh, Harsa takut pada dua pria yang sedang duduk di seberang sana.
"Diminum tehnya," kata bi Dian yang baru datang.
Harsa menatap wanita setengah baya yang sedang meletakkan beberapa teh hangat lantas membuat Harsa tersenyum canggung.
Gugup di diri Harsa membuat tenggorokannya terasa kering, jadi Harsa memilih untuk meminum teh tersebut.
Harsa meminumnya sambil melirik Viano dan Brian yang masih saja menatapnya tajam hingga tak sadar bahwa kedua tangannya bergetar membuat cangkir itu ikut bergoyang hingga beberapa air teh itu tumpah mengenai celana hitamnya.
Suara langkah kaki di tangga membuat Harsa harus menolah. Harsa tersenyum lega karena Inara sudah keluar dari kamar dengan memakai baju tidur yang panjang nan kebesaran.
"Hai, udah lama, ya?"
Inara tersenyum sangat manis membuat kedua pipi Harsa memerah sampai ke telinga lantas cowok itu berpaling tak sanggup melihat kecantikan Inara.
"Ditanyain adik saya itu!" ujar Viano dingin membuat Harsa tersentak lantas menatap Inara.
Harsa tersenyum canggung. "E-enggak kok, Ra. Baru aja."
Brian bangkit sambil melirik Harsa. "Cih, pembohong. Inara jangan mau temenan sama Harsa, dia pembohong."
Harsa melebarkan mata, ingin protes tapi tidak berani karena wajah Brian terlihat sangat galak. Akhirnya yang dilakukan Harsa hanya diam sambil tersenyum miris.
Viano menatap wajah Harsa yang panik lantas ia tersenyum tipis. "Santai saja, Ayah memang seperti itu. Saya tinggal, ya, ingat jangan macam-macam dengan Inara. Kamu sedang di kandang singa."
Harsa menelan salivanya lalu mengangguk kaku membiarkan Viano yang pergi menyusul Brian, sedangkan Inara kini sedang terkikik melihat kepanikan di wajah Harsa.
"Jangan ketawa, gue malu." Harsa menatap Inara kesal.
"Lagian lo tuh, ada-ada aja. Padahal ayah sama bang Vian nggak lagi marah, kok lo takut sih."
Harsa mendengus. "Muka keluarga lo kagak ada kesan ademnya, Ra. Semuanya serem termasuk lo."
Tawa Inara pecah saat mendengar ucapan Harsa. Tambah kencang lagi suara tawa Inara saat melihat Harsa yang memasang wajah tertekan. Cowok itu memang sangat lucu, bahkan cuma bernapas saja menurut Inara sudah sangat lucu.
"Oke, oke." Inara meredakan tawanya. "Jadi ada acara apa nih, tumben lo ke rumah gue."
Harsa menyodorkan apa yang ia bawa tadi kepada Inara membuat gadis itu menunduk melihat apa yang Harsa bawa. Senyum Inara terbit saat melihat martabak dibawa Harsa lantas tangannya mengambil plastik berisi ikan hias.
"Ikan lagi?" Inara menatap Harsa. "Gue nggak pernah minta ikan, lo juga udah kasih gue waktu itu dan ikannya belum mati, Sa."
"Ikan yang waktu itu gue kasih adalah ikan betina sedangkan yang ini jantan. Niat gue kasih dua ikan berbeda biar mereka berkembang biak dan nggak akan pernah habis sama lo," kata Harsa menjelaskan.
Harsa melirik bunga di dekat Inara lantas pipinya kembali merah, ia menggaruk tekuk dengan gerakan canggung nan malu-malu. "Um ... dan maaf, kayaknya martabak yang gue kasih udah dingin deh, Ra."
Inara terkekeh. "Santai aja kali, kan, lo besok kasih gue martabak lagi. Sampai gue sembuh total, kan?"
Harsa mengangguk saja sambil tersenyum manis.
Keduanya terus bercengkrama, membicarakan jenis-jenis ikan, nama untuk ikan, dan lainnya hingga sampailah Harsa sadar bahwa sekarang sudah sangat sore, cowok itu menatap jam dinding yang terpasang di ruang tamu kemudian menatap Inara yang sedang berbicara dengan Beni-ikan jantan yang baru saja mereka beri nama.
"Ra," panggil Harsa.
"Iya?"
"Gue pulang, ya? Takut dicariin Ibu."
Inara terdiam sejenak. Satu hal lainnya yang Inara tahu bahwa Harsa adalah anak yang sedikit manja.
Inara tersenyum lalu mengangguk. "Bay the way, makasih ikan sama martabaknya."
"Iya, besok gue kasih ikan lagi."
"Nggak makanan lagi?"
"Iya, sama martabak cokelat."
Inara tertawa kecil. "Kayaknya gue harus bangun kolam ikan deh, karena setiap hari lo bakalan kasih gue ikan."
"Bangun rumah tangga sama gue juga nggak papa, Ra," celetuk Harsa tanpa sadar hingga membuat tawa Inara reda.
Harsa membekap mulutnya sambil melebarkan mata. Gawat, sepertinya Harsa salah bicara.
***************************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...