Sudah lebih dari 15 menit namun, Inara tak kunjung menghentikan tangisannya, hal tersebut malah membuat hati Nathan terasa sakit, pedih sekali melihat gadis yang luar biasa ini menangis sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Sementara Tiar langsung memalingkan wajah tak kuasa melihat Inara yang seperti ini.
Tubuh ringkih itu tak berhenti bergetar, bayangan menyeramkan selalu ada di benak Inara. Sungguh, Nathan tak lagi sanggup melihat gadis yang sedang meringkuk di brankar tersebut.
"Nara, udah dong jangan nangis. Nanti Nathan tambah sedih," kata Nathan sangat lirih. Pemuda itu sedang menahan tangis rupanya.
Tidak ada respon dari Inara, gadis itu malah bangkit lalu menatap Nathan dengan pandangan khawatir. Dengan sedikit bergetar tangan Nathan kemudian terangkat lalu mengusap sisa air mata di pipi Inara.
Tumpah sudah air mata Nathan, ia tak sanggup melihat Inara yang semenyedihkan ini. "Inara mau apa? Mau pulang?"
Inara masih diam tapi tangan kanannya terangkat memegang bahu kemudian ia menangis lagi, meraung lagi. "Aku takut, Nathan. Aku nggak bisa tenang selama dia belum ketemu."
"Nara, hey ... liat Nathan sekarang." Nathan memegang kedua bahu Inara hingga membuat gadis itu benar-benar melihat ke arah Nathan. "Nara, kamu sekarang aman. Nara yang Nathan tau itu adalah gadis yang luar biasa kuatnya."
Nathan menelan ludah karena wajah di depannya sangat memilukan. Pemuda itu sebenarnya tak kuat untuk berbicara, Nathan rasanya ingin menangis kencang dan berteriak pada semesta kalau apa yang Tuhan berikan pada Inara sangatlah tidak adil.
"Tolong jangan nangis, Nara. Nathan sedih kalo Nara nangis. Nathan takut kalo Nara kayak tadi. Udah, ya?"
Inara menundukkan kepalanya, ia pun ingin sembuh, Inara tak ingin membuat orang-orang disekitarnya menjadi sedih dan khawatir tapi ... sangat sulit, Inara selalu merasa tidak aman, Inara selalu merasa dirinya masih dalam bahaya.
BRAK!
Pintu UKS terbuka lebar lalu menampilkan Zoya dan Kana yang sudah terengah-engah di ambang pintu. Gadis berambut cokelat panjang itu tergopoh-gopoh masuk lalu mendekati Inara, memeluk gadis itu sangat erat karena khawatir.
"Maaf, maaf, maaf udah ninggalin lo di kantin sendirian. Maaf banget, Ra." Zoya terus saja bergumam, tak dipungkiri pula bahwa gadis itu sangat takut sekaligus khawatir.
Zoya melepas pelukannya lalu menatap Inara dengan teliti. "Mana yang disentuh Keano, hm? Apa perlu gue tonjok mukanya? Atau patahin tulang lehernya?"
Bukannya menjawab, Inara malah kembali menangis lalu memeluk Zoya erat. "Maaf udah bikin kalian khawatir."
Zoya menggeleng. "Enggak, Ra. Harusnya gue yang minta maaf karena udah ninggalin lo sendiri."
Zoya menangkup kedua pipi Inara, tak ada yang dirinya ucapan saat ini. Zoya hanya menangis pilu melihat kondisi Inara yang memprihatinkan.
"Tadi lo kemana? Gue udah pernah bilang kan sama lo, jangan pernah tinggalin Inara sendiri kalo dia udah masuk sekolah," ujar Nathan menatap Zoya tajam.
"Gue mules jadi nggak bisa mikir panjang, yang ada dipikiran gue tuh cuma toilet aja jadi---"
"Lupa sama Inara," potong Nathan membuat Zoya menunduk. Nathan mengembuskan napas lelah lalu mengusap kepala Inara dan Zoya. "Jangan diulangi lagi, jangan buat gue khawatir."
Tiar dan Kana hanya diam menonton, keduanya berdiri di pojok UKS sesekali saling mencuri-curi pandang.
Sementara di pintu UKS ada Dean yang melihat interaksi ketiga remaja tersebut. Dean berdecih, "gue pikir cuma cewek doang yang bisa murahan."
_JAGRATARA!!_
Setelah adegan maaf-maafan dengan Inara tadi di UKS, Zoya kini mengantar Inara untuk bilang ke rumah walaupun bel pulang sekolah masih sangat lama. Demi Inara, Zoya rela melakukan apapun.
Awalnya Nathan ingin mengantar Inara pulang tapi karena tugas OSIS yang menumpuk jadilah Zoya yang mengantar.
"Pak, buka gerbang dong." Zoya menyipitkan mata karena terik matahari yang sangat menyengat. Tangan Zoya pun sekarang ada di sekitar wajah Inara agar gadis itu tak kepanasan.
"Mau ke mana, Neng?"
"Gali kubur!" sinis Zoya membuat pak Dodi melebarkan mata. "Ya nggak lah, Pak. Zoya ini mau ngantar Inara pulang. Dia sakit, Pak."
"Sudah dapat surat izin, Neng?"
"Udah, Pak, aman aja." Zoya menggoyangkan kertas putih di tangan kiri seolah pamer dengan pak Dodi karena mendapatkan surat izin dari kepala sekolah.
Pak Dodi mengangguk. "Oh, ya sudah kalo begitu. Tunggu, ya. "
Zoya mengangguk singkat memperhatikan pria paruh baya itu membukakan gerbang untuk Inara dan Zoya.
Saat kedua gadis itu hendak melangkah, terdengar suara Galen yang memanggil Inara beberapa kali, sontak membuat kedua gadis itu memutar tubuhnya.
"Inara, kamu mau pulang?" Raut wajah Galen tampak khawatir. "Kamu sakit apa, hm? Mana yang sakit?"
Inara mundur beberapa langkah, ia menjauhi Galen saat pemuda itu mendekatinya.
Galen tertegun sejenak, hatinya kembali sakit saat gadis yang masih menjadi pacarnya itu menjaga jarak. "Ra? Kamu marah?"
Inara masih diam sementara Zoya berdecak kesal.
"Maafin aku kalo udah buat kamu marah. Tapi nggak seharusnya kamu jauhin aku kayak gini, nggak seharusnya kamu hilang kabar. Kamu masih anggap aku pacar nggak sih?" Kedua alis Galen menukik. Cowok itu mengepalkan tangan karena ia emosi.
"Pacar?" gumam Inara lirih. "Hubungan kita udah berakhir beberapa bulan yang lalu jadi tolong jangan halu!"
Zoya terkikik saat mendengar ucapan Inara apalagi saat melihat ekspresi wajah Galen yang sangat lucu karena syok.
Kemungkinan pemuda itu syok karena perilaku Inara yang berubah drastis, berbeda dengan Inara yang dulu. Dulunya Inara selalu ramah kepada Galen, selalu menomor satukan pemuda itu tapi sekarang? Galen di mata Inara adalah sampah.
"Aku nggak setuju karena itu putus secara sepihak. Sampai kapanpun---"
"Bukannya lo dulu juga pengen putus? Harusnya lo senang karena lo sekarang bebas, bebas ngapain aja sama selingkuhan lo yang lemah gemulai itu."
Entah dari mana Inara tahu tentang hubungannya dengan Syakila tapi ... pasti tidak jauh-jauh dari temannya bukan? Di antara mereka pasti ada yang membocorkan hubungan Galen dan Syakila.
Tangan Galen terkepal. "Jangan bawa-bawa Syakila. Dia nggak ada sangkut-pautnya sama hubungan---"
"Kita? Lo mau bilang dia nggak ada sangkut-pautnya sama hubungan kita dulu? Lawak lo, setan! Udah jelas-jelas dia selingkuhan lo yang artinya dia itu ada sangkut-pautnya." Inara kehabisan kesabarannya. Sudah dua kali Inara menyela ucapan Galen dan ia puas. "Gue ingetin sama lo-Galeno Antasena untuk menjauh dari gue kalo perlu lo hilang dari pandangan gue."
"Kenapa, Ra?" tanya Galen lirih. "Kenapa kamu berubah?"
"Gue akan tetap jadi Inaraya Aozora yang lo kenal kalo waktu itu lo jemput gue, oh, dan kalau lo nggak selingkuh. Bukannya dulu gue pernah bilang ke lo, misal bosen sama gue, lo bisa ngomong baik-baik bukan diam-diam selingkuh!" ujar Inara lalu melangkah pergi keluar sekolah disusul Zoya.
Kini Galen benar-benar tak lagi mengejar Inara. Galen hanya memandang punggung kecil yang kian menjauh.
Dulunya Inara sangat mudah ia rengkuh.
Dulunya Inara sangat menyayanginya.
Dulunya Inara tak bisa marah bahkan gadis itu tak bisa berjauhan dengan Galen barang sedikit pun.
Saat Galen mulai bosan dan rasa cinta itu kian memudar, Inara masih sabar menghadapinya. Inara masih mencoba untuk mengembalikan semua termasuk cinta dan perhatian Galen.
Inara pernah berkata, "Galen, aku suka kamu itu sedalam lautan."
Ya, Galen ingat jelas kata-kata Inara tahun lalu. Tapi Galen seolah lupa jika lautan pun memiliki dasar.
****************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...