"Inara, kamu indah seperti langit. Banyak orang di bumi menyukai langit, jadi tolong jangan beri orang tersebut dengan kegelapan tanpa sinar bintang."
Malam ini Inara berdiri di balkon kamar sambil menikmati suasana dinginnya malam dan mengarahkan wajah ayu-nya ke langit. Langit itu gelap, tertutup mendung di sekitarnya, sama seperti Inara saat ini yang tak usai untuk bersedih.
Luka fisiknya memang telah sembuh dari beberapa bulan yang lalu hanya saja batin Inara masih kerap tersiksa.
Terkadang Inara merindukan kehidupannya yang dulu, tak pernah Inara merasa takut berkepanjangan, tak pernah Inara merasa begitu cemas akan suatu hal yang akan terjadi esok hari, atau Inara yang dulunya selalu tidur dengan nyenyak.
Inara mengembuskan napas, memejamkan mata dan mempersilahkan air mata itu mengalir begitu saja.
"Tuhan, sampai kapan ini berlanjut?"
Terkadang Inara ingin berteriak sekuat yang ia bisa, protes kepada Tuhan-Nya untuk mengembalikan kebahagiaan Inara yang hilang, atau memberikan kebahagiaan Inara lagi.
Inara menunduk, memandangi kedua tangannya yang terdapat banyak luka sayatan. Berkali-kali Inara mencoba untuk mengakhiri hidupnya, berkali-kali juga orang-orang di sekitarnya terus mencegah.
"Inara mau sembuh, tapi sulit. Inara terlalu benci sama kehidupan Inara yang sekarang."
Takdir seolah mengutuk Inara agar berhenti bahagia, alam semesta pun seolah mendukung.
Inara terlanjur lelah, namun orang-orang di sekitarnya terus memaksa untuk melanjutkan hidup yang sangat kejam. Fakta lain yang Inara ketahui, bahwa dunia nyatanya tidak aman.
Angan-angan Inara untuk menjadi manusia paling bahagia akhirnya mustahil terjadi, luka batin yang sempat tertolehkan di hatinya tak akan pernah sembuh, luka tersebut akan membekas sepanjang hidupnya hingga akhir hayat. Sulit sekali untuk mengubur tragedi menyeramkan tersebut, setiap ingin melupakannya, ingatan itu pasti akan muncul hingga membuat Inara ketakutan setiap malam.
Angin malam semakin menyeruak merasuki tubuh gadis rapuh itu dan akhirnya Inara melangkah masuk ke dalam kamar, menutup rapat jendela kamarnya, khawatir ada yang menyelinap.
Inara melangkah mendekati lemari berwarna putih, niat awalnya ingin mengambil selimut tebal kini ia urungkan saat mata tajamnya menatap satu gaun merah yang tergantung di lemari.
Inara mundur, namun matanya masih setia menatap gaun tersebut. Tiba-tiba jantung Inara berpacu kencang, tubuhnya menggigil layaknya terkurung dalam gua es, air matanya mengalir deras, ia terjauh ke lantai dengan isak yang semakin kuat terdengar.
Inara menunduk, memeluk tubuhnya sendiri di dekat kasur. "Pergi, pergi! Jangan ganggu gue, please!"
Inara kembali ketakutan, ia menangis kencang hingga membuat Brian, Viano, dan Nanda yang sedang berada di ruang kerja terkejut dan bergegas ke kamar Inara.
Viger pun yang tadinya sedang belajar di kamar dibuat terkejut oleh teriakan serta tangisan pilu dari kamar adiknya, ia pun bergegas membuka pintu yang sudah ada orang tua serta kakak pertamanya.
Viger menatap lemari besar yang terbuka, ia langsung disuguhi pemandangan gaun cantik yang bergelantung indah di sana.
Nanda memeluk putrinya memberi ketenangan, Brian pun mencoba mengusap kepala Inara secara perlahan takut jika nanti Inara kembali memberontak karena ia menyentuh gadis malang itu.
Viano berkaca-kaca melihat adiknya yang seperti ini, kapan ini akan selesai?
Tatapan Viano beralih pada gaun merah tersebut. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan terkepal kuat, kemudian ia menatap Viger yang berdiri di ambang pintu. "Kamu!" Viano menunjuk Viger penuh amarah.
Viano berjalan mendekat, sedangkan Viger memundurkan langkahnya hingga benar-benar keluar dari kamar Inara. Satu alis Viger terangkat, bingung. Apa dirinya membuat kesalahan, lagi?
"Kamu, kan, yang meletakkan gaun sialan itu di lemari adik saya?"
Apalagi ini, Tuhan?
Memang betul bahwa Viger yang meletakkan gaun itu di lemari Inara, tapi kenapa Viano terlihat sangat marah? Bukankah mereka seharusnya berterima kasih?
Viger telah menjahit gaun cantik itu dengan tekun dan penuh kesabaran lalu apa lagi salahnya? Kenapa Viano marah?
"Iya, itu gue."
Viano sangat kesal. "Sialan, kamu!"
BUG!
Viger meringis sambil memegangi dadanya yang teramat sakit, sedikit sesak karena Viano memukul kuat.
"Kenapa kamu bawa pakaian jahanam itu ke kamar adik saya?"
"Gue bermaksud baik, gue jahit gaun itu supaya Inara suka tapi apa? LO MALAH PUKUL GUE, SIALAN! GUE NGGAK TAU APA-APA TENTANG GAUN ITU DAN LO DENGAN BERENGSEKNYA MUKUL GUE?"
Muka Viano merah padam, bisa-bisanya Viger membentaknya di depan kamar Inara yang bahkan gadis di dalam sana sedang dalam keadaan ketakutan.
Viano melangkah maju lalu mencekram kerah baju Viger. "Berhenti ganggu Inara, berhenti sentuh apapun milik Inara dan jangan ikut campur tentang Inara, karena kamu BUKAN LAGI ABANGNYA! Viger, saya bersumpah bahwa kamu tidak akan merasa---"
"CUKUP!" Tanpa diduga Nanda sudah berdiri di ambang pintu, mata wanita itu memancarkan kekecewaan dengan pipi yang basah karena air mata.
"Kalian ini apa-apaan? Nggak cukup Inara bikin Mama sedih dan sekarang kalian bertengkar di depan kamarnya? Kalian mau bikin Inara ketakutan lagi?"
Viano diam sedangkan Viger menunduk tak berani menatap Nanda.
"Viano, kamu anak pertama seharusnya menasehati Viger agar tidak melakukan kesalahan bukan bertengkar dan adu pukul seperti ini. Kalian pikir Mama nggak sedih liat anak Mama yang nggak pernah akur?"
"Bang Vian yang mulai duluan, Ma!" Tunjuk Viger pada Viano.
"Saya tidak akan mulai kalau kamu tidak membawa gaun itu ke kamar adik saya!"
"Diam, diam!" bentak Nanda merasa kesal. "Viger, bukannya ayahmu sudah mewanti-wanti supaya kamu tidak ikut campur masalah Inara? Jaga jarak dari Inara, Vi, itu demi kebaikan adikmu juga."
Brian menutup kamar Inara dengan perlahan lalu menatap istri dan anaknya yang sedang cek-cok. Pria setengah baya itu mengembuskan napas lelah. "Tidak usah berdebat di sini, sekarang ikut Ayah ke ruang kerja. Kalian harus dihukum." Brian beralih menatap Viger. "Terima kamu, Viger," lanjutnya dingin.
***********************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...