16📖

6.4K 445 4
                                    

Inara berdiri di dekat pintu kelas, sesekali ia tersenyum pada beberapa murid yang mencoba untuk bertegur sapa dengannya.

Inara melangkah keluar kelas karena ia merasa mengganggu beberapa anak kelasnya yang akan masuk atau keluar kelas. Gadis itu berdiri di dekat bunga mawar yang ditanam di depan kelasnya. Dulu, saat semester satu yang membawa bunga-bunga mawar ini adalah dirinya dengan alasan untuk memperindah kelas.

"Cantik banget," gumam Inara merasa takjub dengan mawar merah tersebut.

"Mawar memang cantik tapi durinya berbahaya buat lo."

Inara tersentak kaget saat mendengar suara bas yang sangat jarang ia dengar. Kemudian Inara memutar sedikit tubuhnya, tatapan gadis itu tertuju pada cowok tampan yang sedang tersenyum tipis ke arahnya membuat Inara sedikit risih karena Inara tidak terbiasa berdekatan dengan cowok yang menurutnya asing walaupun satu kelas bahkan teman Galen.

"Banyak yang suka mawar tapi ... mereka yang suka bunga itu harus menjauh agar nggak terluka." Harsa berdiri di pilar kelas berhadapan dengan Inara yang jaraknya lumayan jauh.

Sejujurnya, pipi hingga telinga Harsa sudah memerah, ia tak pernah berbicara secara langsung dengan Inara dan ini pertama kalinya. Rasanya amat senang hingga Harsa ingin berteriak kencang.

Harsa mengeluarkan tangannya yang tadi bersembunyi di belakang punggung. Tangan kanan itu membawa sekotak martabak. "Ambil."

Satu alis Inara terangkat. Ada maksud apa cowok itu hingga tiba-tiba memberikannya martabak? Dekat saja tidak, lalu untuk apa ini?

Rasanya aneh saja jika seseorang yang tidak pernah dekat lalu secara tiba-tiba memberikan sesuatu pada Inara.

Tangan kiri Harsa terangkat lalu menggaruk pipinya canggung. "Gue perhatiin dari kemarin mood lo lagi nggak bagus, jadi gue berinisiatif kasih ini ke lo. Kata orang, cewek itu kebanyakan suka martabak."

Inara masih memandang Harsa dan kotak martabak itu dengan pandangan bingung namun, ia tak enak hati untuk menolak kebaikan Harsa hingga dengan sangat terpaksa gadis itu menerimanya.

"Makasih, Sa."

"Enggak perlu, karena setelah ini lo harus terbiasa dengan martabak cokelat yang gue kasih setiap harinya. Soalnya gue perhatiin, mood lo ini selalu buruk setiap hari," kata Harsa bercanda.

Inara tertawa kecil. "Enggak usah repot-repot, Sa. Tapi ... kalau lo maksa kasih gue martabak, gue nggak akan nolak kok."

Keduanya terus saja berbincang tentang hal-hal random sampai tak sadar bahwa Galen sedang memperhatikan keduanya dari kejauhan.

_JAGRATARA_

Di kantin Galen dan teman-temannya duduk di bangku ujung, mereka berenam sedang menikmati bakso sambil berbincang-bincang dengan banyak topik.

Keano menelan bakso ukuran sedang tanpa dikunyah, sudah menjadi kebiasaan cowok itu. "Omong-omong si Benzi kapan masuk sekolah lagi?"

"Dia bilang sih bulan depan, katanya mau istirahatin otak," jawab Viger.

"Kalo kayak gitu ya mending ngulang kelas aja, dia tuh males sekolah padahal udah 3 bulan nggak masuk masa mau istirahat lagi sih," kata si julid Dean.

Viger mengangguk. "Benzi udah dikasih keringanan sama kepsek jadi bisa aja lanjut sekolah cuma ya dia harus ngejar semua pelajaran yang udah ketinggalan."

Viger, Keano, dan Dean melanjutkan percakapannya beberapa menit hingga ketiganya mulai sadar bahwa hawa panas mulai menyelimuti mereka, sedangkan Dena hanya diam sambil bermain game di ponselnya.

Keano mengusap tekuknya sambil melirik Galen dan Harsa yang sedang beradu pandang. "Panas banget di sini kayak ada hawa kecemburuan gitu lho ...," sindirnya ke arah Galen.

Galen tidak merespon. Pemuda itu mengepalkan tangan menatap Harsa yang juga menatapnya tak kalah tajam. Kedua mangkuk Galen dan Harsa pun masih utuh tak tersentuh bahkan sambal dan kecap juga belum diaduk.

"Kenyang lo ngeliatin gue gitu?" tanya Harsa jengah.

Bukannya menjawab Galen malah tertawa pelan seolah mengejek cowok di hadapannya. "Gue nggak pernah liat lo dekat sama cewek, sekalinya dekat ternyata yang rendahan, ya?"

"Maksud lo apa?"

"Jangan pura-pura tolol, Sa. Kepala lo kebentur apa sampai-sampai bisa dekat sama Inara?" Galen terkekeh sinis. "Selera lo rendahan banget."

Harsa mengepalkan tangannya. Jelas saja Harsa terpancing emosi namun untuk menonjok wajah Galen, Harsa urungkan mengingat di hadapannya ada banyak makanan.

Harsa menghormati makanan tersebut, tak baik jika harus meributkan sesuatu di depan rejeki yang Tuhan berikan.

Sebisa mungkin Harsa tak mengeluarkan suara yang dapat memancing emosi. "Gue nggak peduli," kata Harsa akhirnya lalu berakhir memakan baksonya.

"Lo bego kalo jadiin Inara gebetan lo," kata Galen lagi yang seolah sedang memancing amarah Harsa.

Keano menggaruk pipinya bingung. Harus kah Keano memberikan satu kaca besar kepada Galen?

Bukannya Galen juga salah satu manusia tertolol di dunia?

Jika Keano pikir kembali, bukannya Inara yang rendahan tapi selera gadis itu yang rendahan. Bisa-bisanya Inara menyukai laki-laki tak tahu diri seperti sahabatnya ini.

Keano geleng-geleng kepala.

"Kenapa lo geleng-geleng gitu?" tanya Viger.

Keano tersenyum. "Gue cuma nggak habis pikir. Tolol kok teriak tolol."

Harsa menahan tawa saat mendengar ucapan Keano sedangkan Galen kini sudah melotot membuat Keano kalang kabut.

"Lo nyindir gue?"

"Enggak nyindir siapa-siapa kok, tapi kalo lo sadar ya syukur deh."

"Sialan!" Galen malas berdebat dengan Keano.

Sudah lelah mengoceh akhirnya bakso di depan Galen diaduk lalu menyantapnya dengan emosi yang tersisa dalam hati. Teman-temannya ini memang sangat menyebalkan.

"GALEN!"

Hampir saja yang namanya disebut itu tersedak bakso besar. Hatinya mengumpat kesal.

Galen menerima air putih dari Dean lalu meneguknya hingga tandas setelah itu ia menatap cowok dengan pakaian olahraga sedang mengatur napas di dekatnya.

"Kenapa? Ganggu gue makan aja, lo!" sentak Galen kesal.

"Itu ... si Syakila nangis—"

"Alah cuma nangis aja ngadunya ke Galen, lo pikir Galen itu bapaknya?" celetuk Keano.

Viger menginjak kaki Keano sambil melotot membuat sang empu meringis sakit.

"Ada ... ada Inara juga di sana."

Mendengar nama Inara membuat ke lima pemuda itu bangkit bahkan Harsa tak peduli dengan es tehnya yang tumpah dan mengenai sepatu Dean.

Sama seperti Harsa, Dean pun tak peduli dengan sepatunya. Raut pemuda itu seperti ... khawatir tapi entah pada siapa ia khawatir karena kalau dipikir-pikir Dean ini tidak pernah dekat dengan Syakila sedangkan dengan Inara, Dean sangat membencinya.

******************

JAGRATARA!! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang