7 tahun kemudian.
"Kapan mau nikah, Sa? Nunggu yang nggak pasti?"
Cowok yang ditanya hanya mendengus, sudah biasa mendengar ibunya mendesak untuk menikah karena umurnya sudah 25 tahun. Katanya, si ibu tak sabar menimang cucu.
"Sabar, Bu. Hari ini dia pulang dan aku akan langsung lamar," jawab Harsa sambil tersenyum lembut.
"Sabar terus, nggak liat Ayah sama Ibu udah tua gini?" Fika cemberut.
Harsa hanya terkekeh kecil sambil menggulung lengan kemeja hitamnya, setelah itu ia melepas dasi yang sempat menyekik leher dan mengganggu pergerakan jakun.
Memang, usai lulus sekolah dan kuliah, penampilan dari seorang Harsa menjadi semakin matang dan terlihat lebih gagah dibandingkan dengan Viano kala muda dulu.
Vino meletakkan koran di meja. "Memang benar, ya, hari ini dia pulang dari Singapura? Bukannya menetap di sana?"
"Harsa pikir juga gitu, tapi kemarin Harsa dapat kabar dari Zoya yang katanya dia bakalan pulang buat ngurus acara penting."
"Terus sekarang Abang mau ke bandara, ya? Vanya boleh ikut nggak?"
Harsa mengambil kunci mobil lalu menatap Vanya. "Enggak boleh." Kemudian Harsa mengambil jasnya yang ada di dekat Vino lalu kembali menatap Vanya. "Oh, Vanya, tolong ambilkan boneka kucing sama kotak cincin di kamar Abang, ya?"
Vanya mendengus lalu bangkit. "Nggak boleh ikut tapi nyuruh-nyuruh."
Fika dan Vino terkikik memandangi punggung putrinya yang kemudian menaiki anak tangga.
Vino kembali menatap Harsa dengan alis yang bertaut. "Kamu rempong amat, nggak romantis. Masa mau lamar cewek pake boneka kucing."
Fika mengangguk. "Lamar cewek itu pakai cincin, biar cowok lain nggak ada yang goda."
"Lagian biasanya acara lamaran yang Vanya tau itu keluarga dari pihak cowok datang ke rumah ceweknya bukan kayak gini. Kalo gini, sih, namanya lamaran abal-abal," ujar Vanya menyambung. Rupanya gadis itu baru saja turun dari lantai atas dengan memeluk boneka kucing serta kotak cincin biru di sana.
Harsa tidak merespon, ia hanya berdecak menatap adiknya sinis. Tangan berurat itu mengambil boneka di pelukan adiknya dengan kasar kemudian Harsa meraih ponsel yang sempat memunculkan notifikasi.
"Semoga nggak ditolak, ya, Sa." Vino tersenyum miring namun, Harsa tidak menyahut. Cowok itu masih fokus membaca pesan di ponselnya.
[ Zoya istri Viano: Dia udh d rumh lama. Lo bs dtng ke sana kalo mau.]
Harsa tersenyum tipis lalu melangkah pergi keluar rumah tanpa pamit pada keluarga. Sungguh, tidak ada hal yang membuat bahagia selain kepulangan perempuan itu. Perempuan yang selama ini Harsa idam-idamkan, perempuan kuat yang mampu meluluhkan hati Harsa.
Memang, beberapa tahun yang lalu setelah Inara itu bangun dari koma, perempuan itu sempat memberontak, menangis, enggan mengisi perut, bahkan kerjanya hanya melamun di brankar rumah sakit membuat Brian dan Nanda khawatir setengah mati.
Kemudian Brian memutuskan untuk membawa putrinya ke Singapura karena kerabatnya juga tinggal di negera tersebut. Setelah itu, Harsa tak lagi mendapat kabar tentang Inara.
Apa yang terjadi? Bagiamana perkembangan mental Inara? Lalu bagaimana dengan kaki perempuan itu? Sungguh, Harsa tidak tahu dan baru kemarin Zoya yang sekarang sudah menjadi istri Viano itu memberi kabar mendadak tentang kepulangan sang pujaan hati.
Butuh waktu beberapa menit untuk sampai, kini Harsa benar-benar sudah ada di tujuan-area rumah Inara yang dulu Harsa datangi namun, semua berubah saat keluarga itu ke negara tetangga hingga rumah ini kosong. Beberapa tahun kemudian Brian beserta istri pulang lebih dulu lalu disusul Inara serta keluarga kecil Viano.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...