21📖

7.9K 467 8
                                    

Viger memisahkan buku-buku lamanya yang banyak sekali coretan dan koyakan lalu memasukkannya ke dalam kardus kecil dan menutupnya dengan solasi.

Kemudian Viger membawa kardus tersebut keluar kamar, ia menuruni anak tangga secara perlahan dan berjalan menuju gudang. Rumahnya yang begitu besar kini sangat sepi dikarenakan Inara sedang dirawat dan Viger tidak boleh menjenguk gadis itu.

Tadi sempat Nanda dan Brian pulang ke rumah tapi hanya sebentar, saat Viger tanya katanya mereka akan istirahat di rumah peninggalan sang nenek yang lebih dekat dari rumah sakit.

Cowok berkaos hitam pendek itu meletakkan kardusnya diantara banyaknya tumpukan kursi serta lukisan milik Inara. Viger mengembuskan napas lelah, ia sedikit meregangkan otot-ototnya yang terasa sakit hingga matanya tertuju pada satu lukisan yang menarik perhatiannya.

Viger melangkah maju secara perlahan lalu menyibak kain putih yang sedikit menutupi lukisan tersebut.

'Bang Viano & Bang Viger.'

Viger terkekeh geli saat melihat tulisan Inara saat masih kecil.

Viger menjelajahi setiap inci lukisan yang dibuat Inara. Satu hal yang membuat Vuger kagum, yaitu Inara sangat pandai melukis di usia yang begitu muda. Kira-kira saat umur 4 tahun Inara sudah mulai menggemari pewarna dan alat gambar lainnya.

Di sana, lukisan tersebut, ada Viger dan Viano yang sedang saling rangkul di tepi pandai, gambarnya terlihat bahwa kedua anak tersebut sedang memandangi sunset yang sangat indah lalu ada anak perempuan bertubuh mungil yang di atasnya terdapat gambar awan kecil.

"Abang, Inala uka angit," ujar Inara kecil saat itu.

"Itu bukan langit, Inara. Itu awan namanya."

Viger kemudian tertawa kecil saat mengingat masa kecilnya dengan Inara. Di usia yang sudah 4 tahun saat itu Inara belum pandai berbicara dan jalan pun masih tertatih-tatih membuat kedua orang tua mereka sangat khawatir tapi ketakutan tersebut hilang dengan sendirinya saat Inara membuktikan bahwa dirinya akan bisa berjalan bahkan menjadi pelari yang hebat.

Tangan kanan Viger terangkat lalu mengusap lukisan lucu tersebut dengan senyum tipis yang terbit indah di wajahnya.

"Lo tau, Ra? Terkadang gue ngerasa bangga punya adik yang banyak prestasi sekaligus cantik kayak lo. Dulu, lo perempuan terkeren setelah mama. Lo selalu bisa bikin gue takjub akan pencapaian lo yang luar biasa, lo si jenius Inara. Tapi ... semua berubah."

Tangan Viger menurun, senyumnya pun luntur dengan wajah yang awalnya terlihat sendu kini menjadi datar. "Semua berubah, lo jadi sosok yang egois. Lo yang dulunya keren malah jadi bego setelah kenal Galen, lo nggak peduli sama semua prestasi lo sejak kenal Galen, bahkan entah apa yang lo omongin ke keluarga supaya mereka benci sama gue."

Viger mengembuskan napas. Percuma saja Viger mengoceh sendiri di gudang, itu tidak akan merubah takdir.

Viger mulai keluar dari gudang tapi langkahnya terhenti saat matanya kembali tak sengaja melihat sebuah gaun merah yang sangat mewah terpanjang di belakang pintu gudang.

Kening Viger berkerut. Dirinya jelas tahu betul milik siapa itu. "Sayang banget, gaun mahal-mahal kayak gini malah dipajang di gudang."

Tangan cowok itu terulur dan mengambilnya. Memeriksa apakah ada bagian yang rusak dan benar saja, gaun tersebut sedikit koyak di bagian bawah dan bahunya. Viger berdecak kesal karena Inara yang tak bisa menjaga barangnya sendiri.

"Bukannya ini dari Galen? Kesayangan Inara, kan? Kenapa bisa gini sih, Inara tuh benar-benar nggak bisa ngerawat barang," oceh Viger lalu kembali melangkah dengan membawa gaun tersebut ke kamarnya.

Tapi saat ingin membuka pintu kamar, gerakannya terhenti saat melihat bi Dian sedang membersihkan rak buku milik ayahnya.

"Bi, ada jarum jahit nggak?"

Bi Dian mendongak tak sempat melihat apa yang dibawa Viger dari gudang. "Oh, iya ada kok." Wanita setengah baya itu merogoh sakunya lalu menyodorkan benang dan jarum jahit.

Viger terkekeh. "Bibi selalu bawa kayak gini?"

"Iya dong, buat jaga-jaga aja," kata bi Dian hingga tatapan wanita itu terpaku sejenak pada gaun merah di lengan kiri Viger. "I-itu ... itu mau di kemanakan?"

"Oh, ini?" Viger memandangi gaun milik Inara lalu tersenyum tipis ke arah bi Dian. "Viger mau jahit, sayang kalo dipajang di gudang. Kan masih bisa di pake."

"Terus?"

"Ya, Viger kasih Inara lagi lah," jawab Viger enteng. "Ya udah, ya, Bi. Viger pinjem dulu," lanjutnya lalu masuk ke dalam kamar.

Bi Dian hanya memandang kamar Viger dengan cemas, semoga saja tidak ada keributan setelah Inara dan keluarga pulang hanya karena keteledoran Viger.

****************

Kebahagiaan bukan hanya datang saat bersama kekasih, orang yang tidak memiliki kekasih saja bisa lebih bahagia.

Kebahagiaan itu mudah dicari bahkan terkadang tidak dicari pun kebahagiaan tersebut akan datang dengan sendirinya.

Tak selamanya orang yang memiliki kekasih akan selalu bahagia, tak selamanya pula mereka yang sendiri akan merasa bahagia dengan kesendiriannya. Tuhan itu maha adil.

Sama seperti Galen dan Syakila, kini dua sejoli tersebut sedang makan bakso di dekat rumah Viger. Bukan ajakan Syakila melainkan Galen yang tiba-tiba menelpon Syakila untuk datang ke tempat tersebut untuk makan malam.

Galen merasa bosan karena Syakila tak pandai menghibur, ia masih terbayang-bayang wajah cantik Inara hingga Galen pun mendatangi tempat bahkan makanan kesukaan Inara. Sedangkan Syakila merasa canggung, malu, dan bingung harus bertindak seperti apa karena sejujurnya baru pertama kalinya Galen mengajak Syakila makan malam.

"Em ... Galen, kamu suka bakso?" Dengan ragu Syakila pun akhirnya bertanya.

Galen menggeleng santai. Pemuda itu menelan baksonya lalu menatap Syakila. "Sebenarnya ini makanan kesukaan Inara, tempat ini juga yang biasanya aku sama Inara datangin."

Santai sekali Galen berucap tak memikirkan hati Syakila yang seperti sudah terkoyak-koyak oleh pisau berkarat. Ingin sekali Syakila menangis dan berteriak di depan wajah Galen agar pemuda itu menghargainya tapi sayang, Syakila pun tak punya nyali layaknya Inara.

Syakila sadar bahwa Inara bukanlah tandingannya.

Galen yang sadar kalau mangkuk Syakila masih penuh lantas menghentikan acara makannya. "Kenapa nggak dimakan? Nggak enak? Atau nggak suka tempatnya? Ah, kalo nggak suka kayaknya nggak mungkin deh, secara Inara aja suka masa kamu enggak sih."

Syakila hanya diam memandang Galen dengan tatapan sedih, namun Galen seolah tak menyadarinya.

"Ayo dimakan. Masa Inara yang anak orang kaya, pinter gitu aja mau kok makan angkringan kamu jangan mau kalah."

Bukankah secara tidak langsung pemuda itu mengejek Syakila miskin?

Ya, faktanya memang seperti itu tapi rasanya Syakila tak terima, ia semakin minder berdekatan dengan Galen yang notabenenya anak orang kaya, apalagi Inara yang selalu mengharumkan nama sekolah dan anak orang kaya juga.

"Jangankan makan angkringan, makan di tengah jalan pun aku siap, Len," kata Syakila lembut namun masih ada kesan sinisnya hingga membuat Galen tercengang.

Galen tertawa hambar. "Lucu banget cewek aku," katanya lalu mengacak rambut Syakila.

*******************

JAGRATARA!! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang