28📖

7.4K 687 9
                                    

TOLONG, AKU TIDAK MEMAKSA KALIAN UNTUK VOTE ATAU COMEN. AKU PAHAM BETUL GIMANA JADI PEMBACA, BIASANYA KALO KEASIKAN BACA PASTI LUPA VOTE ATAU COMEN.

SAMA SEKALI NGGAK MASALAH BUATKU. LIAT VIEW NAIK AJA AKU UDAH SUJUD SYUKUR APALAGI DI VOTE SAMA COMEN.

INGAT AKU TIDAK MEMAKSA KALIAN UNTUK VOTE DAN COMEN. SEKIRANYA KALIAN LAKUIN ITU AKU SANGAT BERTERIMA KASIH LAGIPUN TIDAK MASALAH JIKA KAMU HANYA MEMBACA (EH, TAPI AKU JUGA BUTUH KRITIK, YA.) SEKIRANYA GATAL INGIN MEMBERIKAN KRITIK, MONGGO BRO. AKU BAKALAN SANGAT BERTERIMA KASIH.

Oke silakan baca.

****


**********************

Dengan gelas kosong di tangan kanannya, Harsa menuruni anak tangga. Cowok itu berniat untuk mengambil minum, sudah menjadi kebiasaan bagi Harsa juga ingin bernyanyi ia akan meminum sebanyaknya 3-5 gelas.

"Ya, memang seperti itu."

Langkah Harsa terhenti saat mendengar suara berat di ruang tamu. Keningnya berkerut karena suaranya terdengar amat familiar.

"Aman, bisa diatur kok."

Rasa penasaran kian membesar hingga Harsa mengurungkan niatnya untuk mengambil minum, ia lebih memilih berjalan ke ruang tamu dengan langkah yang amat hati-hati. Pegangan pada gelas pun semakin erat, ia waspada jika suara itu adalah rampok.

"Hm, agak sulit kalau tidak ada ciri fisik. Tapi sebisa mungkin akan saya coba yang terbaik."

Tubuh Harsa lemas saat sosok kekar itu memutar tubuh. Harsa pikir orang itu rampok, Harsa pikir jika bukan rampok mungkin ini hantu tapi ternyata ayahnya sedang menelpon seseorang dan sekarang sedang menatapnya seolah meledek karena Harsa sangat kucur.

"Nanti saya telpon lagi." Setelah itu Vino menutup sambungan telepon dan menatap Harsa kembali. "Masih nggak berubah, ya? Harsa masih jadi cowok yang cemen."

"Apaan sih?" Harsa mendengus kesal. "Ngapain Ayah ke sini?"

"Lho ... memangnya enggak boleh? Ini kan rumah Ayah sama ibu. Ayah juga yang bangun rumah ini, kok kamu yang sewot."

Sialan, baru bertemu saja susah memancing emosi Harsa, apalagi jika Vino berminggu-minggu di rumahnya.

"Kamu tau? Niat awal, Ayah mau libur tapi nggak jadi karena ada yang menghubungi Ayah untuk menyelidiki kasus."

Harsa memutar bola matanya jengah. "Itu kan emang tugasmu, Pak pol."

Vino mengembuskan napas lelah, kemudian ia melangkah maju mendekati meja ruang tamu lalu meletakkan tas dan ponselnya di sana. "Tentang kasus pemerkosaan dan pelakunya masih berkeliaran. Detektif aja sampai ikut andil cari tuh orang."

Tubuh Harsa kaku, perkataan Vino mengingatkannya tentang Inara. Apa pelaku yang melakukan hal tersebut pada Inara sudah ditangkap? Atau ayahnya sedang mencari pelaku yang sama?

"Ibu pulang!" seru Fika di depan pintu membuat Vino gelagapan serta Harsa yang terkejut.

Vino mengambil tas dan ponselnya dengan cepat lalu menatap sang anak dengan muka panik. "Sa, kamu jangan bilang-bilang kalo Ayah pulang, ya?"

"Terus Ayah mau ke mana?"

"Mau sembunyi lah!" ujar Vino lalu berlari menaiki anak tangga kemudian masuk ke dalam kamar.

Harsa menggelengkan kepala, merasa sudah biasa melihat kejadian tersebut. Tradisi bagi Vino jika sudah pulang bekerja keluar kota maka pulangnya ia tak akan mengabarkan Fika terlebih dahulu, kemudian pulang ke rumah tanpa sepengetahuan Fika lalu bersembunyi di kamar setelahnya Vino akan mengejutkan Fika saat wanita yang berstatus ibu dari Harsa itu memasuki kamar.

Tempat persembunyian Vino pun tak pernah berubah, hanya di balik pintu dan mengintip langkah Fika di bawah sana.

"Kayaknya tadi Ibu dengar kamu ngomong sama orang. Apa ada tamu?" tanya Fika sambil meletakkan sayuran di dapur.

Sejak Fika memasuki rumah, Harsa mengikutinya dari belakang.

"Enggak kok," jawab Harsa bohong. "Bu, aku izin keluar sebentar, boleh?"

Fika memasukkan beberapa telur ke dalam kulkas. "Mau ngapain?"

"Beli martabak sama ikan."

"Ikanmu kan udah banyak, Sa. Kalo beli lagi yang ada harus buat kolam ikan."

Harsa mengambil satu jeruk di dekat kompor kemudian menunduk memperhatikan jeruk tersebut. "Bukan buat Harsa tapi buat Inara," ujarnya lirih tak lupa pula dengan semu di pipi hingga telinganya.

Fika menghentikan kegiatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap anaknya tak lupa memasang wajah meledek. "Anak Ibu udah besar, ya? Udah tau cinta." Fika merebut jeruk dari Harsa. "Jangan dimainin jeruknya Ibu, kamu kan nggak suka."

Harsa mendengus.

"Ya sana kalau mau pergi tapi cepat pulangnya."

Wajah yang tadi tertekuk lesu kini menjadi berseri. Harsa tersenyum lebar sambil memperlihatkan binar di matanya. Ah, pemuda itu tak hanya tampan dan manis melainkan juga sangat imut, benar-benar Harsa yang lucu sekaligus cuek di depan umum.

"Makasih izinnya, Ibu cantik." Kemudian Harsa mencium pipi Fika lalu melangkah pergi, sedikit jauh jarak mereka akhirnya Harsa menghentikan langkah. Menatap ke lantai atas tepat di pintu kamar Vino dan Fika, Harsa tersenyum miring. "Bu, omong-omong, Ayah udah pulang. Cepat ke kamar, ya!" serunya lalu melangkah pergi.

Di balik pintu kamar diam-diam Vino memaki putranya sendiri. Geram dengan Harsa yang entah sedari kapan memiliki mulut yang terkesan ember.

"Sialan, anak setan!" maki Vino kesal.

**********************

JAGRATARA!! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang