45📖. Kilas balik.

7K 425 5
                                    

Ben bersiul santai sambil bersepeda pelan, menikmati udara segar di pagi hari. Sebelum benar-benar pergi keluar negeri untuk menemui sang kakek, Ben harus berpetualang terlebih dahulu di negara indah ini.

"Gila, dingin banget hari ini," kata Ben sedikit menggigil.

Sudah jelas Ben perginya ke puncak, seharusnya ia menggunakan baju yang lebih tertutup bukan seperti ini. Hanya memakai kaos putih pendek, padahal subuh tadi baru saja hujan deras.

Ben menyipitkan mata saat melihat seseorang yang tergeletak di pinggir jalan. "Orang buangan kayaknya."

Ben merasa penasaran dan berakhir ia mendekati orang tersebut. Awalnya Ben tak berani menyentuh karena ia pikir yang tergeletak itu adalah orang gila yang dibuang warga karena meresahkan kompleks tapi ... ia merasa familiar dengan gaun merah itu.

Ah, Ben jadi teringat dengan percakapan Galen dulu.

"Bagus nggak, Ben?" tanya Galen saat itu.

Ben mengangguk saja kemudian berlalu meninggalkan Galen yang sedang tersenyum lebar.

"Gue mau kasih ini deh ke Inara," ujar Galen mengejar langkah Ben yang sempat meninggalkannya.

"Gaunnya kependekan, Len. Mending lo beliin Inara yang syar'i deh biar tobat tuh cewek."

Galen memandangi gaun merah itu sambil tersenyum. "Inara suka yang kayak gini kok."

Ucapan itu membuat Ben menjadi geram. "Yang suka gaun itu sebenarnya Inara atau lo?"

Mata Ben kemudian melebar sempurna. Ya, dia ingat dengan jelas pakaian yang dipilih Galen untuk hadiah ulang tahun Inara saat itu. Ben tak berpikir bahwa gaun tersebut banyak dijual di toko akhirnya ia berjongkok dan meraih kepala gadis itu sambil merapikan rambutnya yang panjang.

"Astaga, Ra. Hei ... bangun," ujar Ben menepuk pipi Inara tapi gadis itu tak kunjung membuka mata.

Tangan Ben sedikit bergetar saat melihat wajah Inara yang penuh lebam dan sayatan. Ada apa dengan gadis itu?

"Waduh, mana jalannya sepi lagi." Ben melihat ke kanan dan kiri, tak ada mobil atau motor yang lewat.

"Ra, bangun dong. Sumpah deh gue takut lo mati di sini."

Ben berusaha mengguncang tubuh mungil itu yang tak kunjung sadar. Ben beralih menatap sepedanya yang bersandar pada pohon besar. Rasanya sangat tidak mungkin Ben membawa Inara yang tak sadarkan diri dengan sepeda itu.

Cowok itu tak bisa melihat Inara yang seperti ini. Hatinya merasa sakit, entah apa yang terjadi tapi mampu membuat Ben menjadi khawatir setengah mati.

"Bertahan, ya, Ra." Ben kemudian mengangkat tubuh itu.

Cowok berkaos putih pendek itu mengendong Inara di punggung dan akan ia bawa ke rumah sakit. Masa bodoh dengan jaraknya yang sangat jauh karena kondisi Inara saat ini yang terpenting, Ben tak peduli dengan pinggangnya nanti akan terasa nyeri.

*************************

Ben duduk di kursi tunggu sambil memainkan kesepuluh jarinya. Cowok itu menunggu dokter keluar juga menunggu keluarga Inara yang sedang diperjalanan.

Ben melihat beberapa suster yang melewatinya, cowok itu mengerlingkan mata dengan genit saat salah satu suster cantik sedang lewat dihadapannya membuat suster tersebut menjadi salah tingkah dan berjalan cepat menjauhi Ben.

"Gue kedipin doang udah nggak karuan tuh si suster." Ben terkekeh lalu menyisir rambutnya dengan gaya pongah. "Pesona seorang Benzi emang nggak main-main," lanjutnya sambil cekikikan.

"Di mana anak saya?"

"Bujubuset!" Ben terkejut bukan main, ia mendongak menatap Nanda, Brian dan Viano yang sedang memegang koper dengan tatapan kesal.

"Di dalam, lagi diperiksa dokter," jawab Ben sambil mengusap dadanya pelan. Cowok itu melirik ke arah lain di mana ada Zoya dan Nathan yang tergopoh-gopoh datang ke arahnya dengan panik.

"Di mana lo nemuin Inara?" tanya Zoya sambil menangis.

Ben bangkit dari duduknya, ia memandang Brian, Viano, serta Nathan yang sedang menatapnya datar sedangkan Zoya dan Nanda sedang menangis.

"Gue ketemu Inara dekat Villa Anggrek."

Viano melepaskan kopernya lantas berjalan ke arah Ben. Pria itu mencengkram kuat maju Ben dengan mata yang sedikit melotot dan tentu saja membuat Ben panik bukan main.

"Kamu apakan adik saya? Kemana saja kamu ajak dia pergi, hah? Tidak tau kah kamu jika satu keluarganya panik bukan main?"

Ben menelan salivanya dengan kasar. Sungguh, menyesal ia menyelamatkan Inara. Ben pikir setelah menyelematkan gadis itu, ia akan diberikan imbalan, yah ... untung-untung untuk ongkosnya keluar negeri nanti.

"Bang, jangan gegabah. Seharusnya kita berterima kasih pada Ben karena udah bawa Nara ke rumah sakit." Brian menarik Viano agar menjauh dari Ben.

Ben merapikan kaosnya yang berantakan lantas tersenyum lebar ke arah Viano yang masih emosi. "Iya, nih, bang Vian langsung main fitnah aja. Lagian tadi tuh gue nggak sengaja nemuin Inara pingsan di jalan, terus, ya, udah gue gendong bawa ke sini."

Nanda tertegun. Tak menyangka bahwa Ben melakukan hal tersebut padahal bisa saja Ben mencari taksi untuk membawa Inara ke rumah sakit, tapi cowok itu malah memilih menggendong Inara dan membawanya sendiri.

"Ben, terima kasih banyak," ujar Nanda lirih membuat Ben tersenyum manis.

Pintu ruangan sudah terbuka menampilkan sang dokter baru saja keluar didampingi oleh dua suster membuat Ben bersiul menggoda salah satu suster cantik.

"Genit lo," bisik Nathan kepada Ben.

"Jomlo bebas, ya," jawab Ben dengan santai.

"Dokter, gimana kondisi anak saya? Inara kenapa dokter?" cecar Nanda dengan raut khawatir.

Raut dokter itu sudah tak enak dipandang membuat perasaan Brian maupun Nanda tak enak.

"Sebelumnya saya bertanya, apa kalian kerabatnya?" tanya sang dokter pelan.

"Saya Mamanya."

"Saya Ayahnya."

Brian dan Nanda menjawab dengan bersamaan membuat dokter tersebut tersenyum tipis. "Baik, saya ingin berbicara dengan Bapak dan Ibu mengenai kondisi pasien secara fisik maupun mental."

Semuanya terdiam. Fisik dan mental? Apa yang terjadi dengan Inara sebenarnya.

"Mari ikut saya," ujar dokter itu lalu melangkah pergi disusul Brian dan Nanda.

Viano duduk di sebelah Ben. "Adik saya kenapa, Ben?"

Ben menggeleng ia pun dibuat bingung dengan ucapan dokter tadi yang katanya Inara mendapatkan luka fisik maupun mental. "Gue cuma tau kalau muka Inara banyak lebam sama sayatan, Bang."

"Lebam?" Kening Viano mengerut membuat Ben mengangguk saja.

**********************

JAGRATARA!! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang