79: say bye

35 3 0
                                    

"Halo Olivia? Iya aku bakal datang sedikit telat di rapat hari ini. Aku harus mengecek suamiku jadi tolong batalkan ya... Oke bye"

Arin berkendara sendirian menuju rumah sakit untuk mengecek Evans, pagi tadi sebelum berangkat pria itu terlihat banyak melamun membuat dirinya sedikit khawatir. Jadi saat makan siang ia memutuskan untuk pergi melihat Evans lagi.

Pemulihan suaminya berangsur-angsur membaik dari seminggu yang lalu semenjak tragedi itu. Seperti yang telah mereka bayangkan. Berita tentang Ali semakin lama hanya berhenti di kecelakaan biasa. Polisi juga tidak menemukan detail mendalam tentang hal tersebut.

Arin sampai di parkiran rumah sakit dan segera masuk sambil membawa dessert, tak jauh dari makanan yang Evans suka ya itu pisang goreng. Di buat tidak terlalu berminyak demi kesehatan dan pria itu pasti akan menyukainya.

Para perawat atau dokter yang lewat akan menyapa dirinya dengan ramah. Rutinitas yang sudah sering dia hadapi bahkan sebelum memiliki suami yang di rawat.

Ia membuka pintu dengan senyuman senang tapi saat tahu di ruangan itu kosong raut wajahnya berubah drastis.

Bingung dan kecewa ia keluar untuk menanyai resepsionis yang terlihat sedang sibuk, mungkin juga resepsionis itu tak menyadari dirinya masuk ke dalam.

"Bu Arin, ada yang bisa saya bantu"

"Apa suami saya di pindah ruangan?"

"Ah maaf Bu, suami ibu sudah pergi dari jam 10 tadi"

Arin mengerutkan dahi, batinnya langsung bertanya kenapa pria itu tidak mengabarinya.

"Oke makasih"
Arin melenggang ke mobilnya sambil menelpon nomor Riko. Ia langsung berkendara menuju penthouse karena mungkin saja pria itu tidak mau merepotkan dirinya dengan pulang sendirian.

Panggilan pertamanya gagal, Arin mencoba panggilan ke dua dan ia masih di jalan saat panggilan kedua itu tersambung. Tak lama, telponnya hanya dibalas oleh operator yang otomatis akan menjawab.

Akhirnya Arin hanya fokus berkendara di jalanan itu. Ia ingin marah dan sedikit mengomeli Evans yang tidak mengabarinya hal seperti ini. setidaknya pria itu harus mengabarinya agar dirinya tidak khawatir atau mencari-cari.

Ia akhirnya sampai di rumah dan langsung masuk, di dalam sana ia baru bisa menemukan suaminya Evans. Pria itu berjalan terpincang sambil menenteng sebuah tas hitam, di sampingnya ada Riko yang membawa tas lain.

"Kenapa gak ngabarin kalo udah pulang?"
Tanya Arin melangkah semakin mendekat.

Evans menatap Riko dan memberikan tas yang ia bawa kemudian pria itu keluar dari sana.

"Aku berniat mengabari mu nanti"

"Kamu bakal pergi ke mana lagi kali ini? Kamu bahkan belum sembuh"
Wajahnya yang berkerut mejelaskan rasa khawatir dan kesal di waktu yang bersamaan.

"Aku akan pergi untuk sementara waktu, kamu tetap di sini dan tetaplah berada di dekat para media. Dengan begitu kamu akan aman"

"Kemana? Apa aku bisa ikut?"

Evans menggeleng sambil memegang bahu Arin.

"Tolong mengertilah honey sedikit sulit untuk menjelaskannya. Kau tetaplah di sini bersama yang lain"

Arin jadi kesal tapi matanya berkaca-kaca, dia menghela nafas kencang-kencang agar Evans tahu kalau dia amat kesal dan muak.

"Kenapa kamu selalu menyembunyikan semuanya padaku? Apa niat mu sebenarnya"

"Aku hanya ingin kamu aman"
Evans berusaha meraih Arin untuk memeluknya tapi ia menolak dengan mendorong dan mundur beberapa langkah.

"Aku aman Evans, tidak ada lagi yang membuat ku dalam bahaya"

"Bersamaku kamu dalam bahaya, Akbar menjadikan mu ancaman, para Cassano masih berusaha mengancam ku, karena ku kau tak aman honey. Riko sudah menceritakan tentang seorang yang membobol penthouse padaku. Hanya untuk sementara waktu Arin hanya untuk sementara waktu, sampai perjanjian damai di tandatangani" pembobolan itu sebagai bukti jika keberadaan mereka sebenernya memang terancam, dan ia tak ingin istrinya terluka.

Saat Evans menjelaskan itu Arin tidak menatap matanya. Ia terlalu sedih saat pria ini harus pergi.

Evans hendak melangkah untuk pergi karena tahu Arin sudah sangat marah padanya. Ini juga karena hatinya benar-benar hancur berantakan, ia bahkan tak bisa menahan sesak di dadanya.

"Please don't go"
Pinta Arin sambil meraih lengan Evans. Kini ia terlihat jelas sedang mengeluarkan air mata kesedihan.

"Maafkan aku honey"
Evans meraih tangan Arin, ia harus bagaimana? Ini satu-satunya cara yang baik dan tidak membahayakan.

"Aku mencintaimu, tetaplah di sini?"

"I know, i love you more. Tapi aku tidak bisa"

Evans memeluk lalu mencium keningnya. Ia mencium tangan Arin dua kali.

"Jaga dirimu baik-baik"

Ia terisak, haruskah? Lagi-lagi mereka dalam keadaan yang sangat tidak mengenakkan.

Evans juga merasa berat ketika ia harus pergi. Ia tahu ia mencintai Arin lebih dari yang ia duga, ada perasaan yang mengganjal dalam dirinya. Tapi keharusan membuat keterpaksaan memilih jalan ini.

Evans memerintah Riko dan Virgo agar tetap di sana untuk menjaga Arin, sedangkan Satria ikut bersamanya.

Arin masih menangis sampai sesak di dadanya datang amat menyiksa. Tapi rasa sesak di hatinya, himpitan sedih dan kesal lebih terasa rasa sakit yang amat dalam.

Pria itu pergi dengan niat tanpa pamit, tapi ketika ia berusaha memohon Evans tetap tidak bisa di sana.

Beberapa saat hanya ketika Evans pergi ia dirundung kesunyian. Arin hanya duduk sambil menatap dalam diam, tentang haruskah ia melakukan sesuatu yang lain atau duduk di sana seharin.

Baru ia sadari kedatangan Francois kemarin bukan tanpa sebab, Evans adalah alasan utamanya.

Waah begini rasanya saat ia sendirian. Mungkin beberapa hari rasa sepi itu akan makin terasa dan ia jadi semakin sedih.

Sedangkan Evans di tempat lain dalam perjalanan bertemu dengan Francois sebelum ke bandara, sebenarnya ia juga tidak tahu ke mana. Meninggalkan Arin sendirian membuat ia sudah khawatir bahkan hanya ketika memikirkannya saja Evans sudah begitu terluka.
Ia akan percayakan semuanya pada Riko dan Virgo.

Padahal mereka berdua sudah mendekati keluarga bahagia yang sempurna, tapi semakin kesini ada banyak masalah yang sering berusaha memisahkan. Masalah yang membuat kesal dan sedih.

"Jangan khawatir Evi, kau pasti akan segera menemuinya lagi"
Seakan bisa membaca pikiran Evans Francois menepuk-nepuk pundak Evans.

Segera? Entah berati berapa lama untuk kata itu. Bulan depan atau bulan depannya lagi, atau tahun depan atau entahlah.
Ia hanya takut Arin akan membenci dirinya karena pergi terlalu lama.
Ia harap itu tidak akan pernah terjadi.

Evans masih memikirkan wanitanya saat mereka sudah dalam perjalanan.

Melihat Arin menangis benar-benar menghantam hatinya, menggoyahkan langkahnya.
Ia diam, melamun dan pikirannya riuh karena protes pada dirinya sendiri.

'Evans kau adalah pria yang payah, bahkan kau tidak bisa menahan saetik air mata istrimu agar tak jatuh' makinya dalam hati.

Bahkan belum saja ia keluar dari pulau ini, tapi kerinduan terhadap Arin sudah mulai menyiksanya.

.

.

.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang