Han Yujin - Little Badboy

194 55 4
                                    

𝐋 𝐈 𝐓 𝐓 𝐋 𝐄    𝐁 𝐀 𝐃 𝐁 𝐎 𝐘

𝐋 𝐈 𝐓 𝐓 𝐋 𝐄    𝐁 𝐀 𝐃 𝐁 𝐎 𝐘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟎𝟑. 𝐂𝐄𝐆𝐔𝐊𝐀𝐍

𝟎𝟎:𝟏𝟐 ━━◯───── 𝟎𝟑:𝟒𝟓
⇆ㅤㅤ◁ㅤ❚❚ㅤ▷ㅤㅤ↻

Ruangan bersekat dengan nuansa putih susu yang kini kaki tapaki cukup sepi. Hanya ada aku dan Han Yujin yang mendiami.

Di temani orkestrasi embus angin sepoi—berasal dari ventilasi yang dibiarkan terbuka, aku dan dia terjebak situasi yang sulit untuk di deskripsi.

Coba tebak apa yang Yujin lakukan, kepada semua perawat yang bertugas hari ini?

Penuh arogan, Yujin usir mereka semua tanpa terkecuali. Sisakan sunyi, iringi kehadiran kami di ruangan kesehatan ini.

Yujin duduk di salah satu sudut brankar dengan kaki bersilang juga tangan bersedekap dada, angkuh. Netra sewarna jelaga itu menatap tanpa cercah ekspresi pada eksistensiku yang sedari tadi hanya diam. Tak bergerak.

Hei! Tentu saja aku stagnan, aku bingung harus melakukan dan memulai dari mana. Ditambah, aku masih kesal dengan tindakan Yujin yang menyeretku kemari, kemudian enyahkan para perawat dengan tidak hormat.

𝘏𝘶𝘩! Mentang-mentang cucu pemilik yayasan, miliki koneksi, semena-mena perlakuan orang.

“Ngapain lo, masih diem di sana? Mau latihan jadi patung?”

Aku memberengkus. “Ya, terus, gue harus ngapain?”

“Obatin luka gue, lo tuli, yah? Atau emang pura-pura tuli?!”

Aku menipiskan bibir, tanganku terkepal di kedua sisi tubuh. Berusaha mati-matian tahan amarah agar tidak menbuncah.

Sembarangan sekali dia mengatai tuli! Sudah aku bilang, aku tidak pandai dalam hal pengobatan. Alat medis yang aku tahu hanya stetoskop (itu pun karena sering lihat ada di drama), obat merah, dan kain kasa saja.

“Gue enggak bisa, obatin aja sendiri!” Berniat keluar. Namun, dengan segera Yujin cekal pergerakan. Dia menodongku dengan tatapan tajam khasnya. Seolah, beri peringatan secara tersirat, aku tengah dalam bahaya sebab sudah berani tolak keinginannya.

“Obatin gue, atau gue bikin elo enggak betah sekolah di sini!” kalimat bernada ancaman itu ibarat bom nuklir. Meledak, luluh-lantakkan nyali yang semula menggebu-gebu, menjadi nihil layak abu.

Jika bukan karena butuhkan ijazah sebagai salah satu syarat wajib masuk kampus bergengsi, mana sudi aku diperbudak seperti ini. Apalagi, butuh perjuangan ekstra bagiku supaya bisa menjadi salah satu siswi di sekolah yang punyai reputasi tinggi.

Mengeram rendah. Rasanya, aku ingin tenggelamkan Yujin ke palung Mariana (lautan terdalam yang ada di bumi) saja. Tetapi, hal itu tentu mustahil. Karena sebelum aku lancarkan aksi, aku duluan yang akan dia musnahkan dari peradaban.

Bibir hela nafas. Ku hempaskan tangan Yujin, memutar haluan, berjalan menuju barisan kotak P3K yang berada di atas lemari obat.

Jangan salahkan aku, andai kata esok atau lusa luka yang Yujin derita bukannya sembuh, malah semakin parah. Salahkan saja Yujin yang memaksa untuk obati dia.

Pula, jika aku dituntut oleh keluarganya, aku siap menempuh jalur hukum sesuai prosedur negara. Sebab, aku tidak sepenuhnya bersalah.

Oke, agaknya pemikiranku sudah terlalu melanglang jauh.

Skip!

Seksama, Yujin perhatikan gerak-gerik ku dari tempatnya duduk. Takut-takut aku kabur begitu dia lengah memperhatikan.

“Sial!” Dalam hati, aku mengumpat keki. Tinggi badanku yang semampai (semeter tidak sampai) ini kesulitan raih objek yang jadi tujuan.

Siapa sih, otak di balik perancang lemari obat UKS bisa setinggi ini? Aku ingin protes. Kaum-kaum kekurangan kalsium sepertiku tentu kepayahan. Menyebalkan!

Berusaha pecahkan masalah, aku berjinjit dengan harapan bisa gapai kotak P3K yang sialnya seperti sengaja menjauh dari jangkauan.

Sesekali, aku mengeluh pelan, punggung mulai dijalari panas bercampur kram. Buah terlalu lama gunakan tulang bagian belakang sebagai tumpuan.

“Nyusahin aja!” Tahu-tahu, Yujin sudah berdiri menjulang di belakang.

Aku melotot dengan mulut setengah menganga. Hingga tulang rahang nyaris terlepas dari tempat semula.
Mendesah kasar, tidak habis nalar.

Astaga, saudara Han Yujin yang terhormat, tidak ‘kah anda sadar jika yang menyusahkan itu anda, bukan saya?

Tck! Aku sampai tidak mampu berkata-kata. 𝘚𝘱𝘦𝘦𝘤𝘩𝘭𝘦𝘴𝘴.

“Tumbuh itu ke atas, bukan ke samping.” Lantas ambil benda itu dengan mudah.

Balikkan badan, berniat menyahut. Mana terima aku dikatai tumbuh ke samping yang secara harfiah miliki artian gendut. Kalimat itu benar-benar sensitif bagi kaum hawa, asal dia tahu saja.

Namun, belum tanggal kalimat meluncur keluar, jantung malah beri respon di luar kendali begitu sadari jarak di antara kami sangat intim.

Jika dilihat dari arah lain, utama arah belakang, akan timbulkan efek fatamorgana mengecoh mata—Yujin memelukku.

Refleks, turunkan kepala seraya tangan kanan pegangi dada. Pompa darah kian menggila ketika sapuan nafas bersuhu panas milik Yujin sapa telinga.

“Obatin luka gue. Cepetan!” Baritone itu buat sekujur tubuh bereaksi. Invasi gugup sukses picu cegukan. Aku kesulitan kontrol diri.

Dasar Han Yujin sialan!

𝐁 𝐄 𝐑 𝐒 𝐀 𝐌 𝐁 𝐔 𝐍 𝐆


𝐀𝐍𝐓𝐀𝐖𝐀𝐂𝐀𝐍𝐀 𝐑𝐀𝐒𝐀 (𝘉𝘰𝘺𝘴 𝘗𝘭𝘢𝘯𝘦𝘵 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘦) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang