Yoo Seung Eon - The Legend of The Blue Sea

85 18 2
                                    

𝐓 𝐇 𝐄  𝐋 𝐄 𝐆 𝐄 𝐍 𝐃  𝐎 𝐅  𝐓 𝐇 𝐄  𝐁 𝐋 𝐔 𝐄  𝐒 𝐄 𝐀

𝐓 𝐇 𝐄  𝐋 𝐄 𝐆 𝐄 𝐍 𝐃  𝐎 𝐅  𝐓 𝐇 𝐄  𝐁 𝐋 𝐔 𝐄  𝐒 𝐄 𝐀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝟐:𝟏𝟏 ━━❍───── 𝟒:𝟐𝟑
⇆ㅤㅤ◁ㅤ❚❚ㅤ▷ㅤㅤ↻

Penghangat buana, sosok tangguh nan megah berasma bagaskara pamit undur diri pada kemilau sewarna jingga empunya nabastala. Ketika itu, rembulan perlahan naik takhta pada altar singasana. Hadirkan gurat mangata pada kanvas luas bernama samudera.

Langit secara otomatis disapa oleh gelap, kendati bibir pantai semakin terlihat gemerlap. Lampu-lampu patromaks yang berasal dari kapal nelayan hadirkan sensasi tersendiri. Dimana, titik-titik kuning itu berbaur bersama pekatnya horizon. Bagai bulir kunang-kunang kecil yang berkedip dengan latar hamparan awan kelabu.

Bentang gulungan ombak silih berkejaran, berdebur, hadirkan debar. Sedikitnya, kikis eksistensi hening diantara pelataran cokelat pasir mengkilat yang mulai ditinggal para pengunjung.

Tentu saja, jarum sudah bernotasi nyaris pada putaran penuh, tengah malam. Semilir angin meniup kasar setiap helaian rambut sewarna malam, partikel-partikelnya menembus kemeja hingga ke tulang. Hadirkan sensasi dingin, mengigil, mengcengkram kuat-kuat persendian.

Namun, demikian tak cukup membuat tungkai beranjak dari tempat semula. Tubuh tegap dengan kulit gelap terpapar matahari itu masih duduk setia memandang jauh kemilau laut lepas tak berujung. Benaknya membayang ke dalam poros roda kehidupan. Sedikit sentimental memang. Tetapi, biarlah begitu. Tiap-tiap individual punyai hak berekspresi.

Andai, buana yang bengis ini beri satu keringanan, jika boleh memilih serta memilah, maka 𝙔𝙤𝙤 𝙎𝙚𝙪𝙣𝙜 𝙀𝙤𝙣 mendamba memperbaiki minimal satu kekurangan dalam dirinya. Mencari-cari pengisi layak pada ruang-ruang hampa dalam atma guna sempurnakan bagian yang ‘cacat’ menjadi lebih baik merta kuat. Tidak muluk-muluk, minimal Seung Eon mendapat hal layak.

Hidup dengan aturan manusia yang menyulitkan, lilitan kebutuhan terasa kian menyesakkan. Memuakkan ketika setiap harinya dijalani secara repetitif—berulang-ulang. Semua terasa monoton, seolah-olah raga sudah jauh berkelana, padahal nyatanya tidak beranjak kemana-mana. Stagnan. Berjalan-jalan di tempat sama.

Memang, apa salahnya menjadi atau terlahir miskin? Hingga banyak di antara mereka memandang sebelah mata? Bukan ‘kah derajat manusia dengan manusia lain dihadapan Sang Pencipta itu sama? Lantas, atas dasar dan wewenang dari mana mereka menjustifikasi lebih baik dari yang lainnya? Memang, ada kriteria serta standarisasi terkait hal tersebut?

Bukan iri merta dengki dengan mereka yang terlahir dari sendok emas, hanya saja Seung Eon merasa jika dinamika dunia terlalu berat sebelah. Si kuat makin kuat, dan si lemah makin lemah berkat pangkat yang dipunya. Dipergunakan secara semena-mena. Timbulkan konflik berkepanjangan, yang tidak pernah berada pada titik penyelesaian.

𝐀𝐍𝐓𝐀𝐖𝐀𝐂𝐀𝐍𝐀 𝐑𝐀𝐒𝐀 (𝘉𝘰𝘺𝘴 𝘗𝘭𝘢𝘯𝘦𝘵 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘦) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang