Park Hanbin - If You

112 43 2
                                    

𝐈 𝐅   𝐘 𝐎 𝐔


𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟎𝟒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟎𝟒. 𝐏𝐈𝐋𝐈𝐇𝐀𝐍

𝟎:𝟏𝟐 ━━❍───── 𝟑:𝟒𝟓
⇆ㅤㅤ◁ㅤ❚❚ㅤ▷ㅤㅤ↻

Entah sejak kapan tepatnya, Lee Jeonghyun sendiri tak ketahui secara pasti. Yang jelas, ia mulai jatuh hati pada berbagai jenis olahraga ekstrem pemacu kinerja adrenalin.

Padahal, sejatinya Jeonghyun adalah satu dari sekian banyak manusia yang idap 𝘢𝘤𝘳𝘰𝘧𝘰𝘣𝘪𝘢 atau ketakutan berlebih terhadap ketinggian (walau tidak terlalu parah juga).

Berbeda dengan Kang Hiyan, dia kentara kontra dengan ‘sifat gila’ kekasihnya. Terlalu berbahaya. Dan kabar buruknya, minta Jeonghyun tinggalkan hobi barunya adalah suatu hal sia-sia. Ibarat masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Bebal.

Sebab, sekali katakan suka, maka tidak ada kosa-kata berhenti sebelum rasa bosan hampiri diri dalam kamus seorang Lee Jeonghyun.

Hingga suatu hari, tepatnya pertengahan bulan Januari, Jeonghyun diam-diam pergi ikuti para rombongan tim ekspedisi ke gunung Himalaya-- sehari setelah bertengkar hebat dengan Hiyan dengan pangkal masalah utama, hobinya yang miliki resiko besar renggut nyawa.

Selang dua minggu kemudian, bukan kabar kepulangan Jeonghyun yang Hiyan dapatkan. Melainkan, berita hilangnya Jeonghyun dan beberapa kru sebab gempuran cuaca ekstrem tak terdeteksi kompi keamanan.

Banyak orang meyakini, Jeonghyun sudah menghadap Sang Ilahi. Mengingat, betapa krusial medan terjal nan curam yang menjadi titik akhir lokasi hilang kontak hingga berhari-hari.

Menginjak dua bulan pertama, tak serta merta buat Hiyan hilang asa. Dia tetap percaya bahwa Jeonghyun akan kembali, kepelukannya.

Namun, keyakinan Hiyan perlahan gugur begitu dapati kabar sekelompok ekspedisi terbaru temukan barang-barang Jeonghyun, tertimbun material salju beku setebal empat meter.

Rata-rata lempar asumsi, Jeonghyun jatuh tergelincir, kemudian terkubur longsoran. Dan persentase kemungkinan untuk selamat hampir tidak ada. Mustahil.

Hari berganti. Bulan terus berjalan. Kalbu yang sempat beku tak tersentuh waktu, perlahan cair berkat hadir sosok hangat Park Hanbin. Lipur lara, temani raga yang belum kunjung sembuh, terima pahitnya realita.

Hanbin yang notabene adalah sahabat baik Jeonghyun. Pada suatu malam, tak disangka-sangka ungkapkan perasaan. Meski sudah berulang kali menolak, pada akhirnya Hiyan gagal tepis kata hati.

Oleh sebab rasa nyaman yang tandang tanpa di undang. Hiyan persilakan si pemuda Pisces isi kembali ruang kosong, yang sedikit demi sedikit mulai tertambal dari rasa kehilangan.

Ketika Hiyan berpikir perjalanan asmaraloka bersama Hanbin akan berakhir bahagia, seperti apa yang sudah dicita-cita. Kembalinya Jeonghyun menjadi pukulan telak bagi Hiyan. Rubah segala hal dalam atma. Termasuk palung bernama rasa.

Takdir permainan lajur perasaan. Hiyan terombang-ambing. Tak tentu arah. Entah harus pilih langkah mana. Stagnan di tempat yang kini di singgahi, atau kembali bersama si Lee.

Tak menampik apalagi munafik, eksistensi Lee Jeonghyun terlanjur berdiri menjadi benteng kokoh dengan pagar bergerigi, dimana artinya salah satu dari mereka harus mundur untuk dapatkan Hiyan.

Sulit diterka. Semesta jadikan Jeonghyun relawan yang ambil lajur mundur, walau perasaan tidak rela senantiasa menggempur.

Kemudian pagi tadi, Hanbin beri kabar prihal pertunangan antara Jeonghyun dan Hana. Yang lucunya, si perempuan kebetulan adalah teman sekampus mereka.

Teknisnya Hiyan tidak terlalu akrab dengan Hana, sebab dia adalah saingan terberat untuk dapatkan hati Jeonghyun. Dulu.

Hiyan mengira, hidupnya yang biasa-biasa saja tidak akan dilanda porak-poranda dengan berita yang bahkan belum siap ia terima untuk kali kedua.

“Dengarkan aku baik-baik, Jeong. Situasi sudah berbeda, kita tidak bisa lagi bersama.” Dan sekarang, lagi-lagi Hiyan ulang nada minor ‘lagu lama’. Menguntai kata yang sejatinya tidak miliki makna.

Jeonghyun mematung persekian detik, sebelum akhirnya ia mengangguk. “Sepertinya, kau memang telah memutuskan untuk hidup dalam lingkup kebohongan,” tandasnya dingin.

“Baiklah. Kalau begitu, aku pun akan terus menjadi mimpi burukmu, Yan. Aku tidak akan pernah melepaskan segala sesuatu yang sudah menjadi milikku. Tak terkecuali dirimu. Tunggu saja, kehancuran akan datang kepadamu dan Hanbin. Aku jamin itu.”

Rahang tegas itu perlahan mengeras. Gigi bergemelatuk, redam amarah tak tumpah ruah. Pada situasi apapun, Jeonghyun harus tunjukkan sisi dominan. Itu ikrar yang pantang untuk di ingkar. Mulai hari ini, tiada Lee Jeonghyun si pengalah.

Kaki Hiyan melemah sesaat, setelah Jeonghyun pergi. Ya, waktu tidak bisa kembali. Tidak bisa berjalan mundur, tidak bisa pula berjalan maju, semua sudah punyai masing-masing tenggat tertentu.

Walau kaset kenangan indah dalam kepala tak memudar barang sedetik bersama dia, Hiyan enggan melangkah di jalan salah.

Mustahil satu hati diisi dua nama. Hiyan bukan orang gila yang mengatasnamakan cinta sebagai acuan utama.

Bila ingin genggam erat salah satunya, maka harus ada yang di korbankan. Sekali pun berat, Jeonghyun adalah opsi itu sendiri. Biarkan memori ini Hiyan ingat sendiri. Dalam pedih menindih, rintih pilu terdengar seraya kalimat maaf menguar.

Hiyan putus asa. Dan keputusasaan itu berpusat pada satu nama. Ada begitu banyak kemungkinan-kemungkinan hilirisasi, dan buat Hiyan skeptis bisa hadapi. Hati tak berbohong, masih simpan rasa lama dengan sebaik-baiknya. Lalu, bagaimana dengan Hanbin apabila Hiyan nomor satukan hal itu?

𝐁 𝐄 𝐑 𝐒 𝐀 𝐌 𝐁 𝐔 𝐍 𝐆

𝐀𝐍𝐓𝐀𝐖𝐀𝐂𝐀𝐍𝐀 𝐑𝐀𝐒𝐀 (𝘉𝘰𝘺𝘴 𝘗𝘭𝘢𝘯𝘦𝘵 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘦) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang