Aneska menjatuhkan kepalanya ke meja cafè setelah ia mengeluh pada Widia tentang kehidupan barunya itu. Aneska sudah sangat lelah ketika kehidupannya sudah terlanjur dicampur adukkan dengan kehidupan yang sama sekali tak ia inginkan sebelumnya.
"Kata Pak Altan gue bisa hidup semau gue, tapi kenapa gue harus ini, harus itu sih? Tolongin gue Wid. Walaupun rumahnya gede, gue pengin pulang terus. Malah Bapa sama Ibu gak telepon gue sama sekali lagi. Aneh banget mereka!"
"Lo bilang kan bukan Altan yang mau, tapi bokapnya. Dia juga korban di sini. Lo ikutin aja lah, siapa tau seiring berjalannya waktu lo jatuh cinta sama Altan."
Anes mengernyit heran mendengar ucapan Widia. "Apaan sih lo? Jatuh cinta? Nggak nggak nggak, nggak bisa nggak. Lo tau sendiri kita nikah aja maksa, gimana bisa jatuh cinta? Nggak nggak. Gue akan temuin cowok yang bisa nerima gue apa adanya di luar sana nanti setelah pisah sama Pak Altan."
"Lo yakin? Nes, gue tau apa maksud lo ya. Walaupun lo cerai, nanti gimana perasaan semua keluarga lo termasuk keluarga Altan?"
Aneska menundukkan sejenak kepalanya. Dilihat dari sikapnya, Aneska adalah orang berhati murah. Saking baik dan polosnya Anes, ia bahkan mau dinikahi orang yang tak ia kenal. Kelemahan Anes yang lain adalah ia tak pernah tega menyakiti perasaan orang yang ia sayangi, walaupun ujungnya ia juga yang harus tersakiti. Sebenarnya sikap seperti ini haruslah dihindari. Tapi mau bagaimana lagi, itu lah Aneska.
Aneska dan Altan terus tidur berpisah. Terkadang, Altan tidur di kamar tamu tanpa sepengetahuan siapa pun. Hal itu membuat Aneska merasa tak enak tinggal di sana karena ia merasa kalau kehadirannya malah mengganggu ketenangan Altan.
Sementara itu di sisi lain, "Ini ... kenapa kamar tamu berantakan ya? Kan gak ada yang isi? Perasaan kemarin saya liat baik-baik aja, udah bersih dan seprei juga gak acak-acakan begini," gumam Bi Onih. Salah satu ART yang memiliki pengalaman lebih lama dari ART lain. Ia pun menjadi senior para ART di rumahnya Pak Suwandi.
Ya, melihat kasur yang selalu berantakan padahal yang ia tahu kamar tamu itu tak ditempati, salah satu hal mengherankan bagi Bi Onih. Namun begitu, ia pun tak ingin berpikir panjang dan melanjutkan pekerjaannya seperti biasa.
Pagi-pagi, Aneska memberanikan diri untuk menghampiri Altan yang sedang mengancingkan lengan bajunya. Altan heran karena wajah Aneska serasa menahan banyak kalimat tanya.
"Kenapa lo?"
"Itu, Pak Altan gak usah tidur di kamar tamu lagi. Saya merasa gak enak. Saya takut Pak Suwandi dengar soal ini, nanti penyakitnya kambuh lagi."
"Masalah itu lo pikirin. Ganti baju dan masuk mobil. Gue harus buat lo duduk di kantor sekarang. Kalau nggak, Pak Ilham bakalan laporin gue karena gak ngajak lo ke perusahaan. Intel bokap gue itu banyak. Gue gak mau bermasalah karena bikin pusing."
"Se--sekarang?"
"Lo kira tahun depan? Gue gak bisa nunggu lama. Cepat turun! Gue tunggu di mobil."
Setelah Altan turun, Aneska lantas panik untuk mencari baju apa yang ia pakai untuk ke kantor. Anes bahkan belum pernah bekerja di kantor dan mengenakan baju formal yang begitu rapih. Anes memoles lipstik ke bibirnya setelah merapihkan diri. Ia pun mengenakan heels hadiah dari Ibunya tahun lalu.
Altan melirik arlojinya sambil menghela napas. Kemudian, Aneska datang membuat Altan keheranan dengan penampilannya. Aneska mengenakan kemeja putih juga skirt warna hitam. Sejenak, Altan menangkap wajahnya yang sedikit Anes poles dengan bedak.
"Beda banget nih anak. Dia cuma pakai lisptik aja kenapa bisa beda?" Altan membatin tak sengaja.
"Kenapa Pak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH DIBAYAR TUNAI
Ficción GeneralAltan Ferhan, direktur perusahaan ritel yang dipaksa berjodoh dengan gadis pelayan cafe karena penjanjian orang tuanya di masa lalu. Penyakit sang Papa dijadikan ancaman untuk Altan menerima perjodohannya. Pria berdarah Turki ini sempat menolak kare...