50. Cinta Bilang Benci

7.3K 212 0
                                    

Pagi hari menjelang siang, Altan terlihat duduk berhadapan dengan Haikal dan seorang pengacara. Ya, pengacara yang Altan minta untuk mendampinginya nanti di kasus perceraiannya bersama Aneska.

"Tan, lo serius Tan?" tanya Haikal sekali lagi pada sahabatnya.

"Sepertinya, perkara masih belum lengkap untuk membawa kasus ini ke pengadilan Pak Altan. Saya akan kembali lagi untuk membahas hal ini. Ya, jangan terlalu terburu-buru, Pak Altan bisa menenangkan pikirannya dulu untuk bisa mengumpulkan data yang saya minta nanti. Untuk sekarang, saya harus tugas dulu di Jaksel Kal."

"Oh iya Win. Nanti Altan bakalan hubungin lo. Hati-hati lo!"

Ya, sedari tadi, Altan hanya diam ketika ia dicecar beberapa pertanyaan oleh Edwin, seorang pengacara yang tentunya teman Haikal.

"Tan, lo cuma jawab alasan lo bercerai cuma karena Aneska yang mau? Gitu?"

"Gue gak tau harus jawab apa. Gue gak berpengalaman sama masalah perceraian."

"Ya iya sih gue juga tau itu mah."

Sementara, di sisi lain, Aneska tengah ditemani Widia bertemu seorang pengacara perempuan untuk menangani kasus yang sama, yaitu perceraiannya bersama Altan.

"Mba Aneska, jika memang ini hanya karena kesalah pahaman apakah bisa melakukan mediasi lagi dengan pihak tergugat? Atau misal memang jika ada bukti kalau suami Mba Aneska itu berselingkuh atau mungkin melakukan tindak KDRT, hal ini bisa menjadi bukti kuat untuk Mba Aneska bisa melakukan perceraian. Jika hanya salah paham, bagaimana saya bisa mengumpulkan data untuk sidang nanti. Kalian pun gak bilang sama saya kalau kalian sudah tidak cocok satu sama lain. Jika memang tanpa masalah apapun, kenapa harus bercerai? Ingat Mba, pernikahan bukanlah permainan." Sejenak, Bu Siska menghela napasnya dengan sabar menghadapi client seperti Aneska.

Aneska begitu gugup detik itu. Sementara, Widia pun merasa tak enak dengan Bu Siska, pengacara yang ia bawa untuk temannya.

Pengacara Siska melirik arlojinya sejenak. Sejak tadi, Aneska terus terbata ketika ia menjawab beberapa pertanyaan dari Bu Siska. Padahal, datangnya Bu Siska adalah benar-benar ingin membantunya.

"Begini saja Mba Aneska, kita akan melakukan pertemuan lagi. Mba Aneska bisa berpikir dua kali atau menyiapkan kalimat yang bisa mendukung kasus ini bisa diselesaikan. Mba Widia, kalau gitu saya mau pamit dulu untuk hari ini karena saya harus mendampingi client saya yang lain."

"Baik Bu Siska. Itu nanti ... urusannya gampang. Terima kasih banyak Bu Siska."

Setelah Bu Siska pergi, Widia menatap kesal Aneska yang sedari tadi malah tertegun diam.

"Nes! Lo bahkan udah sampai sini jalanin permainan lo. Lo gak bisa jawab karena Altan emang gak bersalah kan? Ayo lah, minimal kalau lo gak bisa jujur sama polisi atas ancaman Galvin, minimal lo kasih tau Altan aja."

Dahi Aneska mengernyit kesal mendengar solusi yang Widia sebut di akhir kalimatnya. Aneska mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia terlihat begitu stres dan tak tahu harus melakukan apa detik itu juga. Ditambah lagi, perkataan Widia benar-benar membuatnya malah sakit kepala.

Pak Ilham datang dengan panik ke meja Altan. Ia menyurang menatapi Altan yang tengah sibuk memeriksa dokumen.

"Pak Altan ... kenapa Pak Altan setuju pada jumlah gerai untuk project luar ini Pak? Bukannya Bapak bilang kalau tidak pernah setuju dan memilih untuk mengurangi gerai lebih dulu di Malaysia? Pak Altan bahkan bilang kepada saya untuk mendesak Pak Davian mengurangi jumlah gerai. Tapi kenapa Pak Altan malah setuju sama hal ini?"

Altan mengerutkan dahinya sambil terus menatapi dokumen. Ia belum menjawab ucapan panjang lebar Pak Ilham hingga sekertarisnya itu menegur Altan.

"Pak Altan?"

JODOH DIBAYAR TUNAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang