Setelah menyelesaikan workshop, Aneska terlihat begitu lelah. Ia merebahkan dirinya pada kasur Altan. Beberapa detik, ia pun bangun lagi setelah Altan datang menaruh tasnya ke sebuah lemari. Aneska tertegun diam. Namun sepertinya, Altan pun hanya fokus menaruh tasnya. Wajahnya lebih jutek dari pada biasanya. Biasanya juga Altan akan menginterogasi Aneska setelah perempuan itu bertemu dengan Galvin. Namun kali ini, Altan tak mengeluarkan amarahnya pada Aneska.
"Gue akan pakai kamar tamu malam ini," ucap Altan. Alisnya mendatar kesal sambil menaruh tas besarnya ke dalam lemari.
Aneska hanya terdiam tanpa menjawab. Jujur, mengabaikan Altan bukan lah perkara mudah bagi Aneska. Terlebih lagi, akhir-akhir ini mereka lebih sering bertengkar setelah kontrak mereka diketahui pihak lain.
Sebelum Altan pergi, Aneska berdiri dengan menyimpan banyak kata sambil menatapi Altan.
"Pak Altan!"
Panggilan Aneska menghentikan langkah Altan. Altan menoleh dengan wajah datar.
"Saya mau ngomong sesuatu," ucap Aneska merasa gugup. Matanya terus ia tundukkan ke bawah dan sesekali menoleh pada Altan.
"Soal apaan?"
"Pak Galvin bilang langsung kalau dia suka sama saya."
Sontak, ucapan Aneska memang mengejutkan Altan. Ia pikir, Galvin tidak benar-benar serius mengucapkan bahwa ia menyukai Aneska ketika mereka bicara pekan lalu. Tapi nyatanya, kata itu bahkan berhasil lolos dari mulut Galvin. Sejenak, Altan terkejut. Namun rasa terkejutnya ia buang begitu saja.
"Terus kenapa? Kenapa lo bilang itu sama gue?"
"Karena sebentar lagi kita mau cerai, saya meminta persetujuan Pak Altan soal ini."
"Kenapa? Kenapa harus gue? Bukannya lo sendiri bilang, kalau lo akan hidup semau lo sesuai kesepakatan kita?"
"Tapi Pak Altan bilang kalau Pak Galvin kan ..."
"Jalanin apa yang lo mau. Semua itu gak ada urusannya sama gue."
Wajah jutek Altan membuat Aneska seketika menjadi bad mood. Padahal, Aneska ingin bicara serius dengannya perihal Galvin dan Altan malah pergi ke kamar tamu tanpa meneruskan pembicaraannya dengan Aneska.
"Kenapa Pak Altan buat saya semakin sulit buat jauh dari Pak Altan? Apa yang buat Pak Altan gak suka sama saya? Apa Pak Altan bisa menyukai saya walaupun sedikit?" batin Aneska menatapi pintu kamar yang Altan tutup agak keras.
Sementara di kamar tamu, wajah Altan pun kebingungan. Aneska bahkan membuat hatinya tiba-tiba merasa aneh setelah tahu Galvin menyatakan perasaannya langsung pada istrinya.
"Ada apa sama lo Tan? Keputusan apapun yang Aneska buat bukannya itu gak ada hubungannya sama lo? Kenapa gue jadi jengkel begini?" batin Altan.
Di kantor, Aneska terlihat baru saja datang dan matanya terkejut menatapi buket bunga di atas meja kantornya. Sementara, Altan baru saja datang dan membuka pintu. Ia segera duduk di kursinya. Ia melirik Aneska sekilas yang tengah memegangi buket bunga.
"Ini ... ini siapa yang taruh bunga di meja saya?"
Altan membuka jasnya dan menaruhnya pada stand hanger di kantornya.
"Kenapa? Lo gak suka?" tanya Altan menatapi Aneska sambil tersenyum.
Aneska menatapi aneh Altan. Ia pun melirik lagi bunganya.
"Ini ... ini punya Pak Altan? Kok ada di sini?"
"Buat lo!"
Aneska terkesiap pada ucapan Altan. Ia pun mengira bahwa Altan salah minum obat lagi karena membelikannya sebuket bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH DIBAYAR TUNAI
Fiksi UmumAltan Ferhan, direktur perusahaan ritel yang dipaksa berjodoh dengan gadis pelayan cafe karena penjanjian orang tuanya di masa lalu. Penyakit sang Papa dijadikan ancaman untuk Altan menerima perjodohannya. Pria berdarah Turki ini sempat menolak kare...