Pak Davian terlihat berdiri di kerumunan para petinggi perusahaan yang tengah bercengkrama di loby MG. Sementara, Altan baru saja bergabung dengan mereka.
"Pak Altan, gimana kondisi Pak Suwandi?"
"Pak Suwandi lagi menjalani pengobatan. Papa baik-baik aja."
Pak Davian melirik Altan sejenak.
"Oh iya Pak Altan, gimana kabarnya soal pensiunnya Pak Suwandi? Kamu itu kandidat terkuat kita kan? Lantas, bagaimana pendapat Pak Altan soal memperluas pasar ke negara tetangga?"
Pertanyaan Pak Davian membuat Altan menghela napasnya sejenak. Ia kemudian menatapi tajam Pak Davian.
"Mohon maaf Pak Davian. Saya gak punya hak untuk mengurusi pensiunan Pak Suwandi sekali pun saya anaknya. Saya gak pernah tau apa yang akan Papa saya lakukan terhadap perusahaan ini. Beliau akan menunda masa pensiunnya karena masih dalam pengobatan. Apakah Pak Davian merasa pantas mengatakan hal itu sekarang?"
"Iya benar. Kenapa Pak Davian malah nanya pensiunan Pak Suwandi? Bukannya sekarang Pak Presdir lagi menjalani pengobatan? Masalah meluaskan pasar ke negara seberang itu adalah haknya Pak Suwandi untuk dibahas di meeting besar nanti kan?" celetuk salah satu petinggi MG dalam pembicaraan mereka.
Karena semua itu, Pak Davian merasa begitu memalukan. Ia pun bergeming tak melanjutkan apapun argumennya sambil menahan jengkel karena dipermalukan oleh keponakannya sendiri.
Di lain waktu, Aneska terlihat fokus mengutak-atik lembaran kertas.
"Awwwww!"
Altan terkejut mendengar suara Aneska meringis kesakitan. Ia pun melirik meja Aneska di sana.
"Kenapa lo?"
"Oh gak. Gak apa-apa."
Mata Altan memicing aneh melihat Aneska terus mengepalkan jarinya. Ia yang penasaran, lantas menghampiri Aneska.
"Kenapa lo?"
"Kan saya udah bilang gak apa-apa."
"Ada apa sama jari lo?"
"Nggak, ini bukan apa-apa!"
Altan menarik paksa tangan Aneska untuk melihat apa yang Aneska sembunyikan di dalam kepalan tangannya. Secarik darah Altan lihat keluar dari jari telunjuk Aneska.
"Kena apa lo?"
"Itu ... itu tadi ... saya lagi pake steples. Karena gak nancap dikertas jadi saya dorong pakai jari."
Altan menghela napasnya tak habis pikir dengan tingkah laku Aneska. Ia mengambil sapu tangan di kantung celana belakangnya. Lantas, sapu tangannya ia lingkari di jari telunjuk Aneska. Hal itu membuat Aneska terlihat begitu tak nyaman.
"Jangan Pak, nanti saya obati sendiri."
"Darah lo keluar banyak. Kalau kayak gitu, nanti bisa netes ke dokumen gue."
Altan terus mengepal jari Aneska dan terus mengeluarkan sisa darahnya untuk keluar. Bukan hanya jari yang gemetar karena sakit, namun jantung Aneska pun bergetar ketika ia begitu dekat dengan Altan. Aneska tak tahu apa yang ia rasakan saat itu. Malu atau canggung, Anes bahkan tak bisa menjelaskannya. Namun, pertama kali bagi Aneska ketika seumur hidupnya sedekat itu dengan laki-laki. Anes selalu menolak untuk pacaran ketika ia disukai banyak laki-laki di SMAnya dulu. Karena kebanyakan menolak, Anes keterusan hingga saat ini tak punya pacar alias jomblo. Bukan karena status keluarga atau ekonominya. Hanya saja, Anes berprinsip bahwa ia akan menikah jika ia sudah berhasil mencapai impiannya. Namun, takdir pun mengubah segala pendirian Aneska. Aneska pun baru pertama kali sedekat itu dengan laki-laki, dan ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan ketika bersama Altan walau sebelumnya mereka saling tak mengenal.
![](https://img.wattpad.com/cover/338733265-288-k46950.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH DIBAYAR TUNAI
Ficção GeralAltan Ferhan, direktur perusahaan ritel yang dipaksa berjodoh dengan gadis pelayan cafe karena penjanjian orang tuanya di masa lalu. Penyakit sang Papa dijadikan ancaman untuk Altan menerima perjodohannya. Pria berdarah Turki ini sempat menolak kare...