Di rumahnya, Aneska terus melamun. Ia bahkan tak makan dan minum membuat khawatir orang tuanya. Yang membuat Aneska tak melakukan itu adalah ia terus berpikiran bahwa apa telah terjadi adalah kesalahannya yang mengajukan kontrak nikah pada Altan. Padahal saat itu Altan tidak bicara apapun perihal pernikahan mereka. Hanya saja, dulu Altan memang setuju jika mereka akan bercerai akhirnya. Namun kini, Aneska sangat takut jika kehilangan Altan.
"Pak, Ibu mohon maafkan lah Altan. Saya gak bisa liat Aneska gitu terus Pak!" ucap Bu Rani.
"Gak ada kesempatan untuk orang yang berkhianat Bu."
"Tapi Aneska bahagia bersama Altan. Lagi pula, Aneska kita juga salah di sini. Lantas, apa Bapak mau liat Aneska gini terus karena jauh dari Altan?"
Pak Rinto menatapi Aneska dari luar kamar Aneska dengan pintu yang terbuka lebar. Ia melihat, Aneska memang tengah melamun. Aneska bahkan tak ingin bicara atau pun melakukan hal lain. Ia bahkan berhenti di perusahaan juga tak bekerja di cafe. Aneska bingung harus memulai kehidupannya dari mana detik itu setelah kehidupan mengajarinya untuk berkhianat. Aneska memang menyesal. Namun, ia pun tak bisa melakukan apa-apa untuk saat ini.
Altan datang lagi ke rumah Aneska membuat Aneska melebarkan matanya melihat Altan dari luar jendelanya. Sungguh, perjuangan Altan untuk memperbaiki hubungannya bersama Aneska serasa tak kenal lelah. Ia harus datang ke rumah sakit dan terus cemas akan kondisi sang Papa. Di sisi lain, hatinya pun tak bisa untuk diam ketika Aneska tak ada di sisinya. Jika dibilang rapuh, Altan benar-benar rapuh. Namun ia pun harus bertanggung jawab hingga akhir atas apa yang ia lakukan di masa lalu.
"Pak Altan?" Aneska terkejut melihat kedatangan Altan yang ia lihat dari luar jendelanya.
"ANESKA! NES, AYO PULANG NES! SAYA HANCUR TANPA KAMU NES!"
Pak Rinto kemudian keluar dengan memicingkan matanya kesal.
"Kenapa kamu kayak orang gila teriak-teriak di rumah saya?"
"Pak saya mohon Pak. Saya mau ngomong sesuatu sama Aneska Pak. Perusahaan sedang bermasalah. Saya mau bicara sama Aneska Pak. Hanya Aneska yang percaya sama saya kini Pak! Saya mohon!"
Aneska hendak membuka pintu kamarnya, namun ia terkejut karena ia bahkan dikunci oleh Bapaknya sendiri untuk tidak menemui Altan. Aneska hanya bisa meringis kesal detik itu. Jujur, ia tak tahu lagi bagaimana cara menangis.
"Kenapa kamu gak bilang dari awal kalau kamu emang cinta sama anak saya?"
"Dulu saya belum bisa pahamin itu Pak. Saya akui saya emang bodoh saat itu. Tapi sekarang, hanya Aneska yang bisa mengobati segalanya. Hanya Aneska yang Pak Suwandi sayangi. Hanya Aneska yang bisa temani saya disaat perusahaan sedang bermasalah seperti ini Pak. Saya butuh Aneska. Saya mohon maafkan saya." Altan bertekuk lutut di depan Pak Rinto membuat Pak Rinto kaget dan menatapi lingkungan sekitar karena tindakan Altan membuatnya sungguh memalukan.
"Altan bangun! Memangnya, perusahaan mengalami masalah apa?"
Altan lantas berdiri tegap saat Pak Rinto akhirnya memberikan kesempatan Altan untuk menjelaskan.
"Ada yang menggeser posisi Papa dan mereka mengambil wewenang saya sebagai direktur di sana. Mereka bersekongkol menjatuhkan Papa maupun saya dan memanfaatkan kejadian saya untuk bisa mendapatkan jabatan CEO!"
"Tapi Suwandi kan belum pensiun. Bagaimana bisa mereka melakukan persetujuan tanpa adanya kamu Altan."
"Itu yang saya herankan. Di sana tertulis tanda tangan Papa di atas materai. Apa yang harus saya lakukan ketika seperti ini Pak?"
"Kenapa kamu ke sini? Apa hubungannya sama Aneska emangnya?"
"Pak, saya sangat butuh dukungan Aneska untuk melawan mereka. Saya gak bisa sendirian. MG akan hancur jika mereka dibiarkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH DIBAYAR TUNAI
Ficção GeralAltan Ferhan, direktur perusahaan ritel yang dipaksa berjodoh dengan gadis pelayan cafe karena penjanjian orang tuanya di masa lalu. Penyakit sang Papa dijadikan ancaman untuk Altan menerima perjodohannya. Pria berdarah Turki ini sempat menolak kare...