2. Tragedi Kemeja Putih

4.1K 297 124
                                    

Davka langsung menyimpan ponselnya begitu mendengar suara deru mobil yang berhenti di depan rumah. Setengah berlari, ia memburu pintu utama rumah untuk menyambut siapa yang datang. Kemudian, senyumnya langsung merekah begitu bertemu pandang dengan maminya.

"Lho, kamu ada di rumah? Mami kira nongkrong sama Angkasa Tristan," ucap Bu Nia ketika putra semata wayangnya mencium punggung tangan beliau.

"Libur dulu, Mi. Biasa, Tristan sibuk jadi babu organisasi. Sementara Angkasa membaktikan diri jadi budak cinta," jawab Davka dengan asal. Kemudian, perhatiannya tertuju pada paper bag besar dengan logo sebuah restoran yang dipegang sang mami. "Wih ... bawa apa, tuh?"

Bu Nia lantas mengusap bahu putranya sembari tersenyum hangat. "Mami bawa pasta kesukaan kamu sama Rindu. Sana, panggil anaknya. Kita makan malem sama-sama. Mami mau bersihin make-up dulu."

"Oke, Mi."

Tanpa banyak bicara lagi, Davka pun segera membawa paper bag itu ke meja makan. Sebelum naik ke lantai atas, ia menyempatkan diri mengambil tiga piring dan garpu supaya bisa langsung makan begitu kembali nanti. Setelahnya, ia pun segera meluncur menuju kamar Rindu.

Seperti yang sudah-sudah, Rindu selalu mengunci pintu kamarnya. Padahal, Davka sangat berkeinginan sesekali bisa mengejutkan gadis itu dan menciptakan keramaian di rumahnya. Entah apa yang Rindu miliki di dalam sana, ia terkesan berusaha keras menyembunyikan banyak hal.

"Rin, turun. Ayo, makan. Mami beli spageti." Pada akhirnya, yang bisa Davka lakukan hanya mengetuk pintu dengan penuh kesopanan.

"Iya, bentar lagi gue turun," sahut gadis itu dari dalam kamar.

"Jangan lama-lama. Entar gue embat juga jatah lo."

"Jangan macem-macem, Dav!"

Davka hanya terkekeh geli mendengar teriakan ganas dari gadis itu. Cepat-cepat ia turun, berinisiatif menuangkan spageti ke piring dan memulai makan malamnya lebih dulu. Sudah sejak tadi perutnya keroncongan, tetapi ia terus menahan diri karena sang mami berkata akan membawa hadiah istimewa.

Sementara itu, Rindu bernapas panjang sembari menyimpan kuas da paletnya ke atas meja. Ia terdiam sesaat, memandangi lukisan yang berhasil ia selesaikan setelah tiga hari ia kerjakan. Ada buncah yang begitu dahsyat saat matanya menelusuri setiap detail yang berhasil tertuang di atas kanvas. Ada banyak kata yang ingin Rindu utarakan pada sosok yang menjadi objek lukisannya itu. Namun, sebelum Davka benar-benar menyantap spageti miliknya, lebih baik Rindu segera ke meja makan.

"Tante Nia mana?" tanya Rindu sambil menarik salah satu kursi di sana.

Davka melirik gadis itu sekilas, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Lagi bersihin make-up dulu."

Rindu pun mengangguk paham. Kemudian, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Davka, siap memulai sesi serius di antara mereka. "Sejak kapan lo temenan sama Kak Tristan, sama Kak Angkasa?"

"Udah lama. Dari zaman ospek."

"Kok, lo gak ngasih tahu gue, sih?"

Lelaki itu melirik Rindu sekilas, lalu berdecih keras. "Kenapa? Lo cemburu tahu gue punya sahabat baru?"

Gadis itu memutar bola matanya malas. "Kalau lo bilang, kejadian kayak tadi gak akan terulang lagi. Gue bakalan ngurung diri di kamar kalau tahu sahabat lo datang."

Davka pun menyimpan ponselnya ke atas meja. Dia menatap Rindu dengan atensi penuh. "Kalau lo ngurung diri di kamar mulu, kapan punya pacarnya? Gak bosen ke mana-mana cuma berduaan sama temen cewek lo itu? Sesekali coba lo buka hati, kali aja ketemu sama yang cocok di Bandung."

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang