22. Dunia Ini Memang Sempit

1.6K 182 86
                                    

Rencananya, Angkasa akan menggeledah kamarnya, mencari petunjuk sekecil apa pun tentang gadis yang selalu menjadi bunga dalam tidurnya. Jika di kamar tidak ada, Angkasa akan berpindah ke ruangan lain. Entah ruang keluarga, gudang, bahkan jika perlu menyusul ke kamar kedua orang tuanya. Bisa dibilang, Angkasa sudah mencapai di titik putus asa. Dia sudah cukup lelah terbangun tengah malam karena dipertemukan dengan mimpi yang menyesakkan dada.

Namun, sudah tiga hari Angkasa di Jakarta, dia belum melakukan investigasi apa pun. Setelah makan malam itu, Angkasa langsung diajak bermain golf oleh ayahnya. Seharian, sampai malam. Keesokan harinya, bunda dan ayah Angkasa mengajaknya piknik ke Pantai Ancol dan baru kembali setelah menikmati matahari terbenam. Katanya, dalam rangka merayakan ulang tahun Angkasa.

Dan hari ini, Angkasa mengantar bundanya berbelanja kebutuhan dapur ke supermarket. Walaupun beliau tidak meminta, Angkasa tetap berinisiatif memberikan tumpangan.

"Kayaknya, ayam teriyaki enak, ya, Sayang?" tanya Bu Fany seketika. Matanya memindai satu demi satu daging ayam dalam lemari pendingin.

"Makanan apa pun, kalau Bunda yang masak, udah pasti enak," sahut Angkasa dari belakang. Tangannya tidak melepaskan pegangan troli sedari tadi.

Bu Fany menoleh sembari tersenyum tipis. "Gombal kamu udah mirip ayah aja."

"Lho, itu bukan gombal, Bun. Aku cuma ngasih tahu fakta." Angkasa terkekeh ringan. "Bahkan, dari sekarang aku udah ada bayangan pengen punya istri yang pinter masaknya kayak Bunda."

"Eh, pembahasannya udah istri-istri aja."

"Kan, aku pasti nikah, Bun," balas lelaki itu sambil memamerkan gigi putihnya. Kemudian, Angkasa termenung. Rindu bisa masak, gak, sih? Kok, gue gak pernah lihat dia ngolah makanan di depan kompor, ya?

Detik selanjutnya, Angkasa menggeleng cukup kencang. Ia berusaha mengusir pemikiran aneh yang hinggap di kepalanya. Untuk apa pula dia penasaran Rindu bisa masak atau tidak? Angkasa tidak menyantumkan gadis itu sebagai 'calon istri' sekalipun tanpa sadar, bukan? Jangan sampai ia melewati batas wajar. Angkasa tidak boleh lupa bahwa Rindu memiliki hubungan dekat dengan Juanda.

Setelah memilih daging ayam, kini Bu Fany sibuk memilih aneka bumbu dapur. Angkasa tidak sengaja melirik sebuah pintu di sudut ruangan. Ia menghentikan troli di depan tubuh sang bunda dan mencolek bahunya.

"Aku ke toilet dulu, ya, Bun," ucapnya seraya menunjuk plakat di atas pintu itu.

Bu Fany pun mengikuti arah tangan sang putra. Lalu, beliau mengangguk. "Iya, Nak."

"Bunda jangan ke mana-mana. Aku gak akan lama, kok."

Wanita paruh baya itu tersenyum hangat. "Iya, Sayang."

Pandangan Bu Fany terus mengikuti pergerakan putra semata wayangnya. Setelah Angkasa menghilang di balik pintu, barulah senyum lebarnya luntur.

Tidak akan ada hentinya Bu Fany bersyukur karena telah dianugerahi anak sebaik Angkasa. Dia sangat penurut, penyayang, dan tidak sungkan untuk menunjukkan cintanya pada kedua orang tua. Namun, sikap baiknya itu juga yang menyiksa Bu Fany selama beberapa tahun ini. Hati beliau selalu digerogoti perasaan bersalah sejak kecelakaan empat tahun silam.

Bu Fany tahu, ingatan Angkasa mulai kembali. Hatinya langsung ketar-ketir ketika putranya itu bertanya apakah dia pernah dijodohkan di masa lampau. Satu sisi hati Bu Fany sangat berkeinginan untuk memberi tahu Angkasa tentang kebenarannya, tetapi sisi yang lain justru melarang. Perjodohan itu sangat menyiksa Angkasa dulu. Sekalipun gadis yang menjadi tunangannya sangat baik, tetapi Angkasa tidak pernah bisa menerimanya sampai akhir.

"Bunda?"

Sebuah panggilan lembut berhasil membuyarkan lamunan Bu Fany. Kedua mata beliau langsung membola ketika mendapati siapa yang baru saja memanggilnya.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang