24. Saling Membungkam Rahasia

1.6K 205 96
                                    

Perlahan tetapi pasti, Angkasa mendapatkan kesadarannya. Ia membuka mata penuh hati-hati. Mengerjap berulang kali untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang memasuki retinanya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari tahu di mana dirinya berada saat ini.

Aroma yang sangat mendominasi ruangan itu adalah antiseptik. Tepat di sebelah kanan Angkasa terdapat tiang infus. Gorden putih menjadi penyekat tempat tidur Angkasa saat ini. Sayup-sayup ia juga bisa mendengar obrolan laki-laki dan perempuan di ruangan itu. Tak berselang lama, muncul Agnes dari balik tirai.

"Ini, minum dulu," ucap Agnes seraya menyambar air hangat dari rak di samping tempat tidur Angkasa.

Lelaki itu menurut karena kerongkongannya pun memang sangat kering. Setelah selesai, Angkasa memosisikan tubuhnya untuk duduk dengan bantuan Agnes. "Gue di mana?"

"Di UKS sekolah. Tadi kamu pingsan," jawab Agnes.

Embusan napas panjang lolos dari bibir Angkasa.

Entahlah, dia tidak terlalu yakin apa yang terakhir kali terjadi pada tubuhnya. Yang berputar di kepala Angkasa hanyalah segala kenangan sebelum kecelakaan malam itu. Hari di mana ia berkenalan dengan Rindu, momen kebersamaan mereka saat Angkasa menganggapnya sebagai adik, lalu berganti dengan serangkaian pertengkaran karena Angkasa tidak bisa menerima perjodohan itu.

"Gimana kalau kita ke rumah sakit aja? Aku takut keadaan kamu memburuk."

Angkasa menggeleng. "Gue gak apa-apa, kok. Gak perlu ke rumah sakit segala."

"Tapi gimana kalau ada sesuatu yang terjadi sama tubuh kamu dan kita gak sadar hal itu? Lebih baik melakukan pencegahan sebelum semuanya makin buruk, kan?" ucap Agnes lagi. Kekhawatirannya ini bukan sandiwara belaka. Agnes benar-benar takut Angkasa kenapa-kenapa.

"Ingatan gue udah kembali. Kayaknya gue pingsan karena tubuh gue gak siap aja. Gue bisa pergi sendiri, kok. Nanti gue konsultasi sama dokter." Lalu, pandangan Angkasa tertuju pada seorang remaja dengan seragam putih abu yang berdiri di belakang Agnes. "Mendingan lo pulang aja. Kasihan adik lo, pasti butuh istirahat."

"Kamu gimana?"

"Gue juga pulang."

Angkasa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Tanpa ragu, dia mencabut jarum infus dari punggung tangan. Ia segera turun dari brankar dan mengambil semua barang-barangnya yang tertata di atas rak. Ponsel, dompet, dan kunci motor, Angkasa memastikan tidak ada yang tertinggal. Karena ia tidak akan kembali ke sekolah ini lagi. Ada tempat lain yang menjadi tujuannya sekarang.

Sebelum menarik kenop pintu UKS, Angkasa berbalik dan menatap Agnes penuh kesungguhan. "Makasih udah kasih tahu gue yang sebenarnya. Tanpa lo, kayaknya gue butuh waktu yang lama buat tahu siapa Rindu sebenarnya."

Gadis itu mengangguk. "Iya, sama-sama. Aku harap, kamu akan selalu baik-baik aja untuk ke depannya."

Seulas senyum terbit di wajah Angkasa. Tanpa membuang waktu lagi, Angkasa pun pergi dari sana. Dia segera memburu motor cruise hitam kesayangannya dan segera mengenakan helm. Angkasa meninggalkan area SMA Cendrawasih dengan bahu yang lebih tegap. Ia kembali dengan segudang jawaban yang cukup membebani.

"Kenapa lo gak tolak perjodohan ini dengan tegas, sih? Gue gak mau tunangan sama lo! Selamanya keputusan gue akan selalu begitu!"

"Oh, jadi sekarang lo mau pakai cara kotor? Dengan fitnah Agnes cuma manfaatin gue? Cara lo kampungan!"

"Lo cuma bawa sial ke kehidupan gue! Lo cuma hama yang merusak semua kebahagiaan gue!"

Masih banyak lagi serangkaian kalimat kejam yang berputar di kepala Angkasa. Ternyata, lidahnya bisa begitu jahat dulu. Parahnya lagi, Angkasa meluapkan kemarahannya pada orang yang salah, pada Rindu. Padahal jelas, yang patut ia salahkan atas keadaan yang tidak menyenangkan itu adalah para orang tua. Mereka menciptakan rencana besar dalam hidup Angkasa tanpa menanyakan pendapatnya.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang