18. Tangis dalam Peluk

1.9K 204 75
                                    

"Rin, yakin gak mau dianterin aja?"

Rindu pun menoleh, menatap teman sekelas yang menanti jawaban darinya. Kemudian, gadis itu menggeleng kecil dan berkata, "Gak usah. Gue pulang sendiri aja."

Lelaki itu pun mengangguk paham. Ini sudah ke tiga kalinya ia bertanya dan Rindu terus mengatakan jawaban yang sama. Jadi, jika dia bertanya lagi, akan terkesan memaksa untuk memberikan tumpangan. "Kalau gitu, gue duluan, ya."

"Oke."

Tanpa banyak berpikir lagi, lelaki itu pun segera menaiki motor sport merahnya dan segera meninggalkan kafe tempat kerja kelompok hari ini. Ia sempat melirik Rindu dari spion, berharap gadis itu segera mendapatkan ojek begitu memesannya. Dia percaya Rindu akan bisa menjaga diri, sikap dinginnya merupakan senjata ampuh untuk mengusir orang-orang yang mencoba dekat dengannya selama ini.

Baru saja Rindu hendak memesan ojek online, panggilan dari sang kakak menghentikan kegiatannya. Dia pun segera menekan ikon hijau dan menempelkan ponselnya ke daun telinga. "Halo, Kak."

"Halo, Dek. Lagi apa?" sambung Teguh dari seberang sana.

"Lagi ngadem aja di balkon. Gak bisa tidur." Terpaksa Rindu berdusta. Kakaknya pasti marah mengetahui ia masih di luar padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas. "Ada apa?"

"Gak apa-apa, kangen aja. Gimana UAS-nya? Lancar?"

Rindu terus melangkah, hingga akhirnya ia sampai di tepi jalan. Sebelum menyeberang, ia melirik kanan dan kiri lebih dahulu. Kemudian, kedua tungkainya melangkah penuh percaya diri. "Lancar, kok. Aku percaya gak akan ada nilai yang jelek. Semoga aja."

"Syukur kalau gitu." Teguh terdiam selama beberapa saat, hanya ada embusan napas lembutnya yang terdengar. Setelah beberapa saat, barulah dia kembali bersuara. "Libur nanti kamu pulang, dong. Kakak kangen tahu, mama sama papa juga."

"Iya, Kak. Aku udah ada rencana pulang, kok. Tenang aja."

"Kamu mulai libur hari apa? Biar nanti kakak jemput."

"Gak usah, aku bisa pulang sendiri," tolak Rindu, tanpa ada keraguan sedikit pun.

Teguh mendengkus pelan. "Jangan begitu, dong. Kakak mau jemput kamu. Masa ditolak gitu aja?"

"Kerjaan Kakak pasti banyak, kan? Aku gak enak kalau harus ganggu."

"Ganggu apaan, sih, Dek? Enggak, lah! Kerjaan kakak gak sebanyak itu. Masih bisa kalau buat jemput kamu. Pokoknya, nanti kamu ...."

Rindu terdiam beberapa saat, menunggu kelanjutan kalimat sang kakak. Namun, sampai beberapa detik berlalu, Teguh tak kunjung bicara lagi. Dipanggil berulang kali pun tidak ada sahutan. Rindu harus menelan saliva kecewa ketika mendapati ponselnya sudah tidak bernyawa.

Gue belum pesen ojek!

Embusan napas kasar lolos dari bibir Rindu. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan serangkaian kejadian hari ini. Rindu hampir kesiangan di hari penyelenggaraan UAS terkahir. Ia juga mengenakan kaus kaki yang memilki corak dan warna yang berbeda, baru ketahuan saat makan siang. Flashdisk Rindu pun hilang, entah jatuh di mana. Sekarang, Rindu terdampar di jalanan yang cukup sepi dengan ponsel mati.

"Cewek!"

Oh, tidak! Ini yang paling menyebalkan, digoda oleh anak jalanan yang penampilannya tidak bisa dideskripsikan.

"Mau ke mana, nih? Pulang, ya? Pulang ke mana? Biar Aa anterin."

Rindu pun segera putar balik, tidak jadi duduk di halte. Ia akan berjalan ke perempatan depan saja. Jika tidak salah, di sana ada pangkalan ojek. Namun, baru beberapa langkah gadis itu maju, jalannya sudah dijegal oleh laki-laki menyebalkan yang terus memperlihatkan senyum nakal.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang