28. Mengungkap Tabir

1.5K 180 105
                                    

"Nih."

Petikan lihai Angkasa pada senar gitar pun berhenti. Dia menatap Rindu dengan cengo, lalu melirik sebuah kotak yang terbungkus kertas berwarna cokelat. Walaupun ragu, Angkasa tetap menerima barang yang diberikan gadis itu. Ia juga langsung menegakkan tubuh begitu Rindu duduk di sampingnya.

"Apaan, nih?" Akhirnya Angkasa menyuarakan rasa penasaran.

"Kado ulang tahun buat lo," jawab Rindu dengan santai. "Maaf telat. Gue nunggu barangnya benar-benar siap buat dikasih ke lo. Ditambah lagi kemarin ada libur, kan. Jadi tambah lama."

"Iya, gak apa-apa," sahut Angkasa. Ia tidak bisa menyembunyikan senyum tipis di wajahnya. "Boleh gue buka sekarang?"

Rindu mengangguk. "Silakan. Semoga lo suka, ya."

"Pasti suka. Tenang aja."

Dengan penuh hati-hati, Angkasa pun merobek kertas tipis yang membungkus hadiah ulang tahunnya itu. Tak perlu menebak-nebak lagi, ia sudah tahu yang dipegangnya ini adalah kanvas. Pemikiran itu semakin kuat ketika Angkasa bisa melihat goresan cat di dalamnya. Baru sepertiga bagian yang terlihat pun, Angkasa yakin bahwa potret yang disuguhkan aneka warna itu adalah dirinya.

"Wow!" gumam Angkasa ketika penampakan lengkap lukisannya terpampang jelas di depan mata. Ia melirik Rindu sekilas, lalu kembali menatap lukisan di tangannya. "Bagus banget!"

Senyum Rindu langsung merekah begitu mendengar pujian Angkasa. Ada yang membuncah dalam dadanya tatkala melihat binar antusiasme di netra lelaki itu.

Angkasa tidak menyangka jika Rindu memiliki kemampuan melukis sebagus ini. Potret wajahnya yang sedang tertidur tertuang dengan begitu detail. Bahkan, walaupun terpejam, mata Angkasa terasa begitu hidup. Wajahnya yang damai pasti akan membuat siapa pun penasaran, apa yang ada dalam benak lelaki itu. Dan, ya ... Angkasa akui, kemampuan melukis Rindu meningkat pesat dibandingkan saat SMA dulu.

Setelah puas memandangi lukisan itu, Angkasa kembali menatap gadis yang masih duduk di sampingnya. "Lo perhatiin gue berapa lama sampai lukisannya bisa sebagus ini?"

Rindu langsung membuang muka. "Enggak! Gue gak perhatiin wajah lo, kok! Gue mau ambil air ke dapur, waktu lo tidur di ruang tengah. Gue cuma lirik sekilas, cuma sedetik. Tapi, ya, emang gue punya ingatan yang kuat, jadi bisa sebagus itu."

Dahi Angkasa berkerut. "Masa, sih? Gak mungkin cuma sedetik, ah. Mandangin gue tidur selama lima menit juga gak akan cukup buat jadi referensi lukisan. Ini detail banget, lho."

"Emang sebagus itu daya ingat gue!" sewot Rindu.

"Ya udah, deh, iya. Gue percaya, kok. Percaya cuma sedetik doang." Angkasa terkekeh melihat wajah merah Rindu. Namun, ia tidak berani menggoda lebih jauh karena takut rasa malu gadis itu berganti amarah. "Eh, tapi lo mau ke mana? Kok, rapi banget?"

"Oh, ini?"

Rindu langsung bangkit dari duduknya, memperlihatkan penampilannya yang lebih rapi dari sebelum mandi tadi. Ia mengenakan kemeja putih bergaris biru yang dipadukan dengan cuffed pants berwarna hitam. Rambut yang tadi seperti singa kini sudah tertata rapi.

"Mau pergi sama Kiara," jawabnya. Rindu terus melangkah, mendekati pintu kamar Davka.

Alis kanan Angkasa terangkat. "Bener sama Kiara?"

Tidak ada jawaban. Rindu terus mengendap ke luar seraya memasang wajah ramah. Begitu sampai di pintu, ia segera melesat dari kamar Davka dan mengurung Angkasa dari luar. Tidak peduli lelaki itu terus berteriak seraya menggedor daun pintu tanpa ampun, Rindu tetap melancarkan aksinya.

"Emang dari awal kelakuan lo gak normal! Harusnya gue gak percaya sama senyum lo barusan! Lo mau jalan sama Juanda, kan? Ngaku!" cerca Angkasa dari dalam kamar. "Rindu, buka pintunya! Woy! Rinduuu!"

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang