41. Pantang Menyerah

1K 114 94
                                    

Begitu pintu lift terbuka, Angkasa langsung melanjutkan langkahnya. Ia tidak sadar bahwa Rindu-yang tangannya digenggam sejak tadi-harus sedikit terseok demi mengimbangi langkah panjangnya. Yang saat ini ada di benak Angkasa hanyalah sang bunda. Semoga saja berita itu belum sampai ke telinga beliau. Semoga saja bundanya sibuk di dapur dan tidak sempat memeriksa ponsel.

Bahu lusuh Angkasa semakin merosot ketika melihat bundanya sedang duduk di sofa. Pandangan beliau begitu nanar, menatap layar televisi yang menampilkan satu demi satu gambar bukti perselingkuhan suaminya. Ada yang ketika Pak Lionel duduk berhadapan dengan perempuan sampah itu, ada yang saat mereka berpelukan, dan yang paling menyakitkan ... ketika Pak Lionel menggendong seorang anak laki-laki berkulit putih, seperti Angkasa.

Lelaki itu pun mengambil alih remot yang ada di tangan sang bunda dan mematikan televisi. Angkasa sangat ingin menghancurkan layar berukuran enam puluh inch itu. Namun, Angkasa sadar, ia tidak boleh menggila di hadapan bundanya.

"Sorry, Sa. Gue sama Davka udah coba tahan. Tapi, Tante Fany ...." Tristan tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Dia hanya bisa menunduk seraya mengembuskan napas panjang.

Pagi tadi, Tristan sedang mengistirahatkan kepalanya dari laptop, menjeda sebentar kegiatannya untuk menyusun proposal. Namun, baru beberapa saat ia berselancar di media sosial, artikel perselingkuhan ayahnya Angkasa muncul dalam algoritma berandanya. Ia langsung meluncur ke apartemen Angkasa setelah menelepon Davka.

Lelaki itu pun baru bangun tidur. Hanya mengandalkan kesadaran dari cuci muka, Davka langsung menyalakan mobilnya. Sebuah mukjizat besar ia bisa sampai dengan selamat. Yang sedari tadi ia khawatirkan hanya keadaan Angkasa dan Bu Fany.

"Bunda ...," panggil Angkasa seraya berlutut di hadapan bundanya. "Semuanya akan baik-baik aja, Bun."

Pandangan Bu Fany pun beralih. Ia menatap Angkasa dengan mata berkaca-kaca. "Kita harus gimana, Sa? Sekarang semua orang tahu."

"Gak apa-apa. Itu di luar kendali kita," ucap Angkasa lagi, berusaha menyalurkan sugesti positif. "Kita gak sendiri, ada Rindu, ada Davka sama Tristan juga. Kita pasti bisa menghadapi masalah ini."

"Tapi gimana sama keluarga ayah kamu, Sa? Gimana kalau nenek kamu-"

"Bun," potong Angkasa seketika. "Ini bukan saatnya memikirkan mereka. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengkhawatirkan nama keluarga ayah. Ada juga mereka yang harus khawatir sama kita. Di sini, kita berdua yang jadi korban kebrengsekan ayah."

"Angkasa ... jangan ngomong begitu."

Lelaki itu memutar bola matanya malas. "Ayah emang brengsek, kan? Gak ada yang salah sama omongan aku barusan." Dengan sekali entakan, Angkasa pun bangkit. "Bunda beres-beres, sana. Kita ke Jakarta sekarang. Kita selesaikan masalah ini sampai tuntas."

Selama di perjalanan tadi, Angkasa terus memikirkan tindakan apa yang harus dia ambil dari kejadian tersebarnya berita perselingkuhan sang ayah. Ia sadar, ia harus membicarakan perkara ini secara langsung, dengan sang tersangka. Sekalipun bisa saja ayahnya mengatakan kebohongan, Angkasa dan sang bunda tetap berhak menerima penjelasan.

Mereka juga perlu merundingkan jalan keluar untuk masalah runyam ini. Entah mengeluarkan uang untuk membungkam media, mengalihkan perhatian masyarakat dengan pemberitaan lain, atau memberikan klarifikasi sejujur-jujurnya, Angkasa akan menuntut pertanggungjawaban sang ayah. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian banyak orang, terutama bundanya. Apalagi berita ini bukan hal yang pantas dibanggakan.

Langkah Angkasa-menuju kamarnya-terhenti ketika ujung kausnya ditarik. Ia pun berbalik, mendapati Rindu yang tengah menatapnya penuh harap.

"Aku ikut ...," cicit gadis itu.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang