29. Pilihan untuk Rindu

1.4K 180 93
                                    

Davka langsung mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ketika mendengar derap langkah dari lantai atas. Rindu tampak menuruni anak tangga seraya memasang wajah tenang. Sudah bisa diduga, gadis itu mengenakan kaus yang bisa menutupi luka memanjang di kedua lengannya. Rambut pendeknya pun tidak ditata sedemikian rupa, dicatok saja tidak. Untung saja gadis itu memiliki orang tua rupawan sehingga tidak perlu memoles make-up tiap berangkat kuliah.

"Kok, lo belum jalan, Dav?" tanya Rindu begitu menginjakkan kaki di lantai dasar. Ia melangkah menuju sofa ruang keluarga, menghampiri Davka yang sedari tadi memasang wajah kusut.

"Nungguin lo!" ketus lelaki itu.

Dahi Rindu berkerut seketika. "Kok, gue?"

"Mulai sekarang, kamu dan Davka berangkat sama-sama, Rindu." Bariton tegas tiba-tiba menyapa.

Gadis itu langsung menoleh ke arah kamar orang tua Davka. Dari sana, muncul sosok Pak Pietro yang tampak gagah dengan setelah jas hitamnya. Bu Nia mengekori, anggun dengan balutan sheath gown putih bercorak floral biru tua. Seperti sebelumnya, Rindu selalu setuju bahwa pasangan itu tampak begitu serasi.

"Kayaknya gak usah, deh, Om. Aku bisa berangkat sendiri, kok."

"Papi denger sendiri, kan? Bukan aku yang gak mau kasih tumpangan. Tapi Rindu yang gak mau bareng sama aku!" sewot Davka seketika. Ia tidak terima dengan kejadian sepuluh menit yang lalu, ketika papinya menghakimi tanpa tahu kebenarannya.

Pak Pietro hanya melirik putra semata wayangnya itu sekilas, lalu kembali menatap Rindu. "Kenapa kamu gak mau berangkat sama Davka? Kalian satu kampus, lho. Biarpun beda fakultas, tapi jarak gedungnya pasti gak terlalu jauh."

"Aku gak mau jadi pusat perhatian, Om. Walaupun enggak masuk akal, tapi Davka cukup populer di kampus. Aku gak mau jadi bahan gosip kalau ketahuan pulang pergi sama Davka," jelas Rindu. Ia sangat keberatan saat menyebutkan popularitas Davka.

"Kamu tinggal bilang aja kalau kalian, tuh, temen dari kecil. Tinggal satu rumah karena mama kamu sama tante, tuh, sahabatan dari kuliah." Bu Nia ikut menimpali.

"Tapi, gimana kalau ada yang minta aku jadi mak comblang, Tan? Ribet."

"Kamu tinggal tolak dengan tegas aja, Sayang. Bilang kalau Davka sudah ada gebetan," ucap Pak Pietro lagi.

Davka melotot seketika. "Pi, kok, ngomongnya begitu, sih? Papi tahu dari mana aku udah punya gebetan?"

"Dari Angkasa."

"Emang kampret anak satu itu!" dengkus Davka seraya bangkit dari duduknya. Ia menghampiri Rindu dan menarik tasnya tanpa ampun. "Udah, lo ikut gue aja. Bener kata Papi, bilang aja gue udah punya gebetan kalau ada yang minta dikenalin."

Terpaksa Rindu berjalan mundur karena ulah teman masa kecilnya itu. "Tapi jangan tarik-tarik juga, dong, Dav. Davka!"

Tarikan Davka itu baru terlepas ketika mereka sampai di pintu utama rumah. Aroma petrikor langsung memanjakan indera penciuman begitu mereka ke luar. Memang, hujan sudah membasahi Kota Kembang sejak subuh tadi. Davka dan Rindu harus sedikit berlari untuk bisa masuk mobil. Tanpa banyak basa-basi, Davka segera menyalakan mesin mobil sedannya dan meninggalkan pekarangan rumah.

Diam-diam, lelaki itu melirik Rindu yang sibuk dengan ponsel. Ada yang mengganjal dalam dada, tetapi Davka tidak yakin memiliki wewenang untuk mengatakannya atau tidak.

"Gue gak benci sama Rindu, Dav. Justru sebaliknya, Rindu yang berhak benci sama gue. Yang saat ini menguasai hati gue adalah penyesalan dan rasa bersalah."

Pengakuan Angkasa kemarin sukses menyita sebagian pikiran Davka. Bahkan, ia kesulitan tidur dan hampir mengetuk pintu kamar Rindu tengah malam, untuk menceritakan semuanya. Namun, sekali lagi, Davka tidak tahu ia berhak melakukan itu atau tidak. Angkasa tidak memintanya untuk menyampaikan kejadian kemarin pada Rindu.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang