51. Merayakan Perpisahan

1.9K 146 106
                                    

Rindu memejamkan matanya, menikmati embusan angin sore yang menerpa wajahnya. Aroma laut ikut memanjakan indera penciuman wanita itu. Derap langkah dan perbincangan di sekitarnya sama sekali tidak mengganggu, justru membawa kedamaian tersendiri untuk Rindu.

Damai, akhir-akhir ini Rindu cukup sering menemuinya. Entah saat terjebak keramaian seperti saat ini atau saat menyendiri di ruangan kecil. Yang perlu dia lakukan hanya memejamkan mata, mengatur napas, dan mengosongkan pikiran. Biarkan saja dunia sibuk dengan urusannya. Yang ingin Rindu dapatkan hanya hati tanpa beban.

Satu hal yang pasti, Rindu masih berusaha berdamai dengan keadaan. Dia masih terus belajar untuk tidak protes akan apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Ia masih mencoba untuk menjadi pribadi yang menerima semua alur yang Tuhan atur tanpa merasa bahwa keputusan-Nya salah. Rindu masih terus berusaha untuk menerima keadaanya yang jauh dari harapan beberapa tahun silam.

"Eh, kamu lihat lukisan Jayrin Zevasa, gak?"

Satu pertanyaan itu sukses membuat Rindu membuka matanya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang, pada sekelompok anak muda yang berjalan beriringan, keluar dari Santrian Art Gallery.

"Iya, iya. Aku lihat!" sahut yang lain, suara anggunnya terdengar penuh semangat. "Bagus banget, ih. Sad vibes dari lukisannya dapet banget."

"Lho? Kok, sedih?" Perempuan yang tadi bertanya terdengar tak terima. "Harusnya kita merasa bahagia, gak, sih? Kan, itu tentang pertemuan?"

"Ih, enggak. Itu, tuh, tentang perpisahan. Kamu gak mata ceweknya di sana berkaca-kaca?"

"Tapi dia senyum, lho. Artinya pertemuan."

"Enggak. Itu pasti perpisahan!"

"Pertemuan, tahu." Yang satunya tak mau kalah. "Menurut kamu gimana, Za? Itu pertemuan atau perpisahan?"

"Hmm ...." Satu-satunya lelaki di antara mereka bertiga tampak berpikir. Dia menatap kedua temannya secara bergantian. "Menurutku lukisan itu perpisahan. Mungkin? Aku juga gak tahu."

Perempuan anggun tadi bertepuk tangan. "Tuh, kan, tentang perpisahan! Tangisan si ceweknya nyata banget."

"Enggak. Menurutku lukisannya tentang pertemuan!" cetus yang lain, tetap mempertahankan pendapatnya.

Rindu hanya bisa tersenyum tipis seraya memperhatikan punggung ketiga anak muda itu. Sepertinya, mereka semua mahasiswa Seni yang sengaja datang ke galeri ini untuk memenuhi tugas. Ketiga sama sekali tidak tahu bahwa pencipta lukisan yang diperdebatkan itu sempat berada dalam jarak sekitar dua meter dengan tubuh mereka. Sosok Jayrin Zevasa berada di depan pintu masuk galeri, duduk di kursi roda.

"Aku udah tahu kalau perdebatan pengunjung kayak gini bisa bikin kamu seneng."

Perhatian Rindu teralihkan kembali. Ia terlalu asyik menatap kepergian tiga orang penikmat lukisannya, sampai tidak sadar seseorang yang amat penting telah berdiri di hadapannya. Adrika Kunala, perempuan cantik yang menjadi bagian dari Dinas Kebudayaan Bali sekaligus ketua penyelenggara pameran ini.

"Untuk ke sekian kalinya, lukisan kamu bikin pengunjung berdebat sama orang-orang yang mereka sayang," tambah Adrika seraya terkekeh geli.

"Gue cuma mau mereka menafsirkan lukisan gue sebebas mungkin. Bukan mengharapkan mereka berdebat," cetus Rindu, berusaha membela diri.

"Tapi, aku akui. Perspektif berlawanan yang ada di lukisan kamu itu bisa bikin banyak orang lebih mengenal kamu. Mereka jatuh cinta sama karya kamu, melalui kebingungan yang kamu ciptakan. Dan untuk lukisan yang ini ...." Adrika menunjuk pintu masuk galeri. "Mereka memperdebatkan kisah yang dimiliki dua objek yang kamu lukis. Pertemuan atau perpisahan."

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang