"Dav, panggil Rindu dulu, sana," ucap Bu Nia seraya menata alat makan di atas meja.
Davka berdecak. "Baru juga duduk, Mi. Masa harus berdiri lagi?" sungutnya. "Nanti juga dia turun, gak perlu dijemput segala. Kayak tuan putri aja."
"Davka ...."
Lelaki itu langsung melipat bibirnya. Jika sang ayah sudah angkat suara, meskipun hanya satu kata, Davka tidak bisa membantah. Ia segera bangkit kembali dari kursi dan menyeret kedua tungkainya menuju tangga.
Akhirnya, setelah dua minggu terjebak hubungan jarak jauh, kedua orang tua Davka berkumpul juga. Pak Pietro-papinya Davka-baru saja kembali dari Papua setelah memastikan pembangunan tempat penginapan di sana berjalan dengan lancar. Mungkin, begitu semuanya rampung, Pak Pietro akan memboyong keluarganya ke Papua untuk menghadiri pengesahan Pancarona Resort.
Selain kerja keras sang papi, Davka juga selalu kagum dengan kreativitas maminya. Bu Nia memiliki sebuah butik untuk merealisasikan kecintaannya pada kain. Berbagai ide desain baju seperti tidak pernah berhenti muncul di kepala cantik beliau. Mulai dari sederhana sampai kesan mewah, Bu Nia selalu berhasil membuat para klien puas dengan hasil tangannya.
"Rindu, ayo makan malem. Mami sama papi udah nunggu di meja makan. Ayo, buruan! Rin? Rindu!"
Berulang kali Davka mengetuk pintu, tetapi tidak ada sedikit pun sahutan dari dalam. Khawatir langsung memenuhi rongga dadanya. Bagaimana jika Rindu melakukan hal yang tidak-tidak? Apalagi Davka tidak lagi melihat gadis itu sepulang dari rumah sakit siang tadi.
Davka cukup terkejut mendapati pintu kamar Rindu tidak dikunci. Padahal, biasanya, keamanan kamar satu ini adalah yang paling ketat dibandingkan ruangan yang lain. Sembari terus memanggil nama Rindu, Davka pun memasuki kamar penuh hati-hati.
"Rin, lo baik-baik aja, kan? Lo gak ngelakuin sesuatu yang berbahaya, kan? Jangan gegabah, Rin. Gue yakin Angkasa bakalan inget sama lo suatu saat nanti." Pemuda itu mengedarkan pandangan, tetapi sosok Rindu tak kunjung muncul juga. "Rin, jangan bikin gue takut, dong. Gak lucu!"
Baru saja Davka hendak mengetuk pintu kamar mandi, suara gemericik air dari dalam menghentikan aksinya. Ternyata gadis itu sedang mandi. Sebelum urusan Rindu selesai dan mengetahui ada penyusup ke kamarnya, lebih baik Davka segera keluar.
Namun, sialnya, Davka malah menyenggol pengisi daya ponsel milik Rindu yang tersimpan di ujung meja rias. Keselamatan Davka semakin diuji karena benda itu terlempar ke bawah ranjang. Ia sempat menengok ke pintu kamar mandi, berharap Rindu masih membutuhkan waktu lama. Kemudian, Davka bergerak mencari pengisi daya itu.
"Eh, apaan, nih? Kok, kasar gini?" gumam Davka sembari menarik sesuatu yang baru saja bersentuhan dengan tangan kanannya. Begitu benda itu terpampang di depan mata, napas Davka tercekat seketika. "Ini ... Angkasa?"
Tentu saja, Davka tahu Rindu memiliki bakat di bidang lukis. Sahabatnya itu juga lebih sering membeli kanvas dan aneka cat dibandingkan sepatu atau tas. Alasan paling sering kenapa Rindu terlambat bergabung di meja makan adalah karena dia terlalu fokus melukis. Setiap hari, pasti Davka mendengar bahwa salah satu kegiatan yang Rindu lakukan di kamarnya adalah menggoreskan kuas di atas kanvas.
Namun, Davka sama sekali tidak menyangka jika objek yang selama ini Rindu lukis adalah Angkasa. Bukan hanya satu atau dua lukisan, hampir semua kanvas yang ada di bawah ranjang menampilkan sosok Angkasa dengan berbagai pose. Ada saat dia tersenyum, saat dia melamun, mengerucutkan bibir, bahkan menangis.
Davka membuang napas panjang. "Lo kangen banget sama Angkasa, ya, Rin? Pasti lo tersiksa banget selama ini. Orang yang lo sayang ada di depan mata, tapi lo gak bisa peluk dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomansaMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...