45. Pelarian

1.1K 145 84
                                    

Rindu membuka pintu lebar-lebar. Terbentang pemandangan aneka furnitur yang didominasi warna monokrom.

Sofa lembut berwarna putih terpajang dengan rapi, mengelilingi meja hitam. Perapian juga terlihat bersih, jelas dirawat dengan baik. Dinding yang terbuat dari kaca transparan menyuguhkan pemandangan halaman belakang yang didominasi pohon rindang yang mengelilingi kolam renang. Lampu kristal yang dulu selalu membuat Rindu terpana masih terpajang dengan begitu anggun, menaungi meja makan di bawahnya.

"Wah ... bukan main, ya."

Perhatian Rindu langsung teralihkan pada Angkasa yang berdiri di sampingnya. "Apa?"

"Badan kamu. Kecil banget." Angkasa geleng-geleng kepala sambil terus memperhatikan tubuh Rindu secara terang-terangan. "Kalau celana jinsnya enggak dilipat, udah pasti orang lain ngiranya kamu putri duyung."

Detik itu juga, Rindu langsung memukul lengan Angkasa. Walaupun tidak akan membuat laki-laki itu jera. "Kamu mau bilang kalau aku ini pendek?" sengitnya, tak terima.

Angkasa mengangkat bahunya tak acuh. Dia mengambil alih helm di tangan Rindu dan melangkah lebih dulu. "Aku gak bilang begitu, lho."

"Halah! Udah kebaca isi kepala kamu!" sewot Rindu, mengekori langkah Angkasa menuju sofa.

"Emang apa isi kepala aku?"

"Kamu mikir aku pendek, kan?"

"Bukan aku yang bilang, lho."

Rindu berdecih. Ia membanting tubuhnya ke atas sofa dengan tangan yang melipat di depan dada. Baru juga mereka sampai di Puncak, di villa keluarga Angkasa, lelaki itu sudah cari gara-gara saja. Baru saja Rindu menghirup udara segar tanpa merasa pengap, Angkasa sudah membuatnya emosi saja.

Ya, Angkasa membawa Rindu kabur dari Jakarta. Setelah Rindu membersihkan diri dan berganti baju-dengan kemeja dan celana jins panjang milik Angkasa-mereka berdua pun langsung meluncur ke Puncak. Karena bukan hanya Rindu, Angkasa pun muak tinggal di Jakarta. Yang membuat napasnya sesak bukan hanya polusi udara, tetapi juga keadaan yang selalu berjalan menjauh dari keinginannya.

"Sini, kita obati dulu luka kamu," cetus Angkasa yang kembali dengan satu kotak P3K. Ia segera menarik tangan Rindu supaya duduk tegap. "Kamu udah berbuat apa, sih, sampai dianiaya segininya?"

"Gak berbuat macam-macam, kok," balas Rindu dengan nada merajuk. "Aku cuma bilang gak mau tunangan sama Jairo, cuma mau sama kamu."

"Kita tahu gimana karakter papa kamu. Harusnya, kamu pura-pura turuti kemauan Om Ferdi," lanjut Angkasa seraya mengoleskan salep ke dahi Rindu.

"Sekali aku melunak, papa akan selalu menuntut untuk terus dituruti sampai akhir. Jadi, emang baiknya aku melawan dari awal."

Angkasa mengangguk, menyetujui perkataan Rindu. Kini, tangannya turun ke bibir Rindu. "Terus, si Jairo itu gimana? Dia mau hantu kamu membatalkan perjodohan itu?"

"Boro-boro! Dia malah satu suara sama papa!"

Pergerakan Angkasa-mengobati luka Rindu-terhenti seketika. Tatapan tajam yang penuh setidaknya berpindah ke netra Rindu. "Maksudnya, dia mau tunangan sama kamu? Dia suka sama kamu, ya?"

"Enggak!" Rindu menggeleng dengan cepat. Ia menghiraukan perih di sudut bibirnya karena membuka mulut terlalu lebar. "Jairo enggak suka sama aku. Dari yang aku perhatikan, dia cuma gak menyukai kekalahan. Dia mau tunangan sama aku karena gak mau aku menang."

"Oh? Selama ini kamu suka perhatiin dia, sampai tahu karakter dia segitunya? Wah... pacarku jelalatan juga, ya?"

"Ih, bukan gitu!"

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang