30. Jalan Buntu

1.4K 171 94
                                    

"Gue harus pergi sama Angkasa," ucap Rindu begitu sampai di hadapan Juanda.

Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang wajah Rindu dengan tatapan kosong. Hati Juanda sakit ketika melihat gadis itu berderai air mata. Namun, ia seakan kehilangan tenaga, tidak mampu menarik Rindu ke dalam dekapannya. Ketika gadis itu bergerak, hendak meninggalkan, barulah Juanda menarik pergelangan tangannya. Ia tidak peduli dengan hujan. Yang menjadi fokusnya adalah Rindu.

"Jangan pergi. Di sini aja, sama aku ...," lirih Juanda.

Air mata Rindu semakin deras. Dengan berat hati, ia menarik tangannya dari genggaman Juanda. "Maaf, Kak."

Setelah mengatakan itu, Rindu pun melanjutkan langkah. Ia langsung meraih helm yang diberikan Angkasa dan menginjak foot step untuk duduk di jok belakang. Rindu tidak mampu melirik ke arah Juanda barang sedikit pun. Dadanya terasa sesak, karena perasaan bersalah.

Tidak ada pembicaraan apa pun selama perjalanan. Angkasa juga terus mengendarai motornya, tidak menghiraukan derasnya hujan yang mengguyur Kota Kembang. Rindu juga tidak mengajukan pertanyaan. Dengan sangat terpaksa, dia harus berpegangan pada ujung jaket Angkasa ketika kecepatan motor bertambah. Hingga akhirnya, mereka sampai di pekarangan rumah Davka.

Begitu turun, Rindu langsung membuka helm dan menyerahkannya pada Angkasa. Ia berjalan lebih dahulu menuju pintu utama. Namun, baru saja tangannya mencapai kenop pintu, Rindu langsung memutar badannya dan menghadap Angkasa dengan kepala menengadah.

"Sejak kapan ingatan lo kembali?" tanyanya sejurus kemudian. Rindu tidak mampu membisukan pertanyaan yang terus menggaung di gendang telinganya.

"Sejak kita masih di Jakarta. Sehari setelah lo ketemu sama bunda," jawab Angkasa.

Rindu mendengkus kasar. "Jangan bilang kalau lo udah inget semuanya waktu ngajak gue ke luar?"

Tanpa mencoba berkilah, Angkasa pun mengangguk. "Udah."

"Terus kenapa lo gak bilang sama gue, Sa? Kenapa lo malah pura-pura? Kenapa lo menyembunyikan kebenarannya dari gue?" Nada bicara Rindu naik seketika.

"Itu pertanyaan yang sama buat lo, Rin." Berbanding terbalik, suara Angkasa terdengar begitu tenang. Meski demikian, jelas terdengar intimidasi di sana. "Kenapa lo gak bilang apa-apa sama gue? Kenapa lo pura-pura gak kenal sama gue? Kenapa lo menyembunyikan fakta kalau kita tunangan? Bahkan, lo minta Davka buat ikut merahasiakan masa lalu kita."

Teriakan Rindu berubah sunyi seketika. Gadis itu membuang muka, tidak sanggup membalas tatapan tajam Angkasa. Bukan hanya Davka yang ia minta bungkam, orang tua Angkasa pun demikian.

"Boleh aku minta sesuatu, Bun?"

"Apa, Sayang?"

"Jangan ungkit apa pun tentang aku ke Kak Jayen, ya, Bun? Biarin dia lupa sama aku selamanya."

Malam itu, ditemani hujan deras dan guntur yang saling bersahutan, Rindu memberanikan diri untuk mengucapkan permintaan yang begitu berat. Jangan tanya sesakit apa ulu hatinya kala itu. Rindu seperti sedang menganiaya jiwanya sendiri.

Bu Fany menoleh dengan mata mencuat. Gerakan tangannya yang sedari tadi mengusap rambut panjang Rindu pun terhenti. "Kenapa begitu?" tanya beliau dengan napas tercekat. "Semuanya akan baik-baik saja, Rindu. Angkasa pasti akan sembuh dan pertunangan kalian akan berjalan sesuai rencana."

"Enggak, Bun ...." Rindu menggeleng pelan.

"Justru ini kesempatan bagus untuk kita. Angkasa bisa berkenalan lagi sama kamu. Kalian bisa memulai semuanya dari nol lagi. Angkasa pasti lebih bisa menerima kamu. Hubungan kalian pasti ...."

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang