48. Pergi untuk Pulang

1.4K 150 111
                                    

Rindu tahu, segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah milik Tuhan. Semua yang manusia miliki dalam hidup hanyalah nikmat yang bisa diambil oleh Sang Pemilik kapan saja. Harta, nyawa, juga kesehatan bisa menghilang dengan sekali jentikan jari jika Tuhan memang ingin itu terjadi. Dialah yang paling berhak atas segala siklus pemberian dan pengambilan berkat semua makhluk.

Namun, manusia berhak untuk menikmati merasa kehilangan, bukan? Bagaimanapun juga anugerah-anugerah itu sempat mereka cicipi sebelum akhirnya diambil kembali oleh Sang Pemilik. Mereka sempat menikmati keringan hidup walaupun hanya sebentar. Salah satu contohnya adalah nikmat berjalan dengan kedua kaki yang berfungsi dengan baik.

Selesai merapikan rambut pendeknya. Rindu pun menunduk, menatap kakinya yang dibalut dengan rok putih floral kuning. Sudah lama sekali ia tidak mengenakan pakaian feminin. Jika bukan karena kedua kakinya tidak bisa digerakkan, mungkin Rindu akan meminta dipakaikan celana panjang. Bunga-bunga berwarna cerah itu tidak mampu lagi menularkan keceriaan pada Rindu. Yang ada justru kesedihan yang begitu kental terasa.

"Rindu ...."

Panggilan lembut itu membuat sang empu nama menoleh. Dalam sekejap, garis kecewa di wajah Rindu sirna, berganti dengan senyum tipis.

"Udah?" tanya Teguh dengan nada yang begitu lembut. Ia melangkah perlahan, mendekati adiknya yang terduduk di atas kursi roda.

"Udah, Kak. Yuk, samperin Kak Jayen!" Bibir tipis yang sedari tadi membuat garis lurus akhirnya terbuka bersamaan dengan nada riang yang terdengar.

Teguh tersenyum tipis, lalu mendorong perlahan kursi roda adiknya, meninggalkan standing mirror di sudut ruangan. "Tadi makannya habis, kan?"

"Gimana gak habis kalau mama terus paksa aku buka mulut? Belum juga beres ngunyah, udah disiapin nasi baru aja. Aku ngelamun dikit, diminta buat buru-buru," celoteh Rindu.

Lelaki dua puluh delapan tahun itu terkekeh geli. "Lagian ngapain melamun segala? Lagi makan harusnya fokus. Lihat badan kamu, kurus begitu. Kalau makannya lebih fokus, pasti bisa cepet puluh."

"Pulih di sini bukan berarti gendut, kan?" Rindu menengadah, melayangkan tatapan membunuh pada kakaknya.

"Enggak. Maksudnya berat badannya kembali normal, bukan gendut," koreksi Teguh dengan cepat. Ia geleng-geleng kepala melihat tatapan tajam adiknya. "Kami, tuh, negative thinking mulu."

"Omongan Kakak barusan kayak ngejek aku gendut secara gak langsung!" tekan Rindu.

"Iya, maaf. Kakak gak bermaksud begitu, kok."

Pada akhirnya, Teguh pun hanya bisa mengalah. Apalagi jika nada bicara sang adik mulai naik, sebaiknya ia tidak cari gara-gara jika masih sayang nyawa.

Meskipun selalu terlihat ceria, Teguh tahu pasti bahwa hati Rindu sangat terluka dengan keadaannya yang sekarang. Senyum lebarnya selalu tampak palsu di mata Teguh. Nada bicara riangnya terkesan dipaksakan. Yang selalu terpampang jelas di wajah cantiknya hanyalah kekecewaan.

Namun, itu semua seakan tidak berlaku jika Rindu sudah memasuki ruang rawat Angkasa. Kedua netra Rindu tampak begitu hidup. Binar kebahagiaan selalu terpancar dari bola indah itu. Dan senyumnya ... sangatlah tulus.

"Kak Jayen!" pekik Rindu sembari melambai heboh.

Perhatian Angkasa-dari secarik kertas di hadapannya-teralihkan seketika. Di balik masker oksigen, terbit senyum lebar yang tak kalah cerahnya dengan Rindu. "Wah ... siapa yang dateng, nih? Cantik banget," ucapnya.

"Pacarnya Kak Jayen, dong!" seru Rindu, masih dengan nada riangnya. Kini, ia berada tepat di samping ranjang Angkasa.

"Pasti udah mandi, makanya cantik banget?"

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang