4. Pengkhianatan

3K 292 106
                                    

“Kasih alesan yang jelas dulu, baru nanti kakak bantu ngomong sama mama papa.”

Rindu menghela napas frustrasi. “Ya udah, lah, gak usah.”

“Lho? Gimana, sih? Tadi maksa mau pindah kampus, sekarang bilang gak usah. Kamu lagi ada masalah apa? Ada yang ganggu kamu? Atau kampusnya gak sesuai sama yang kamu inginkan?”

“Gak. Gak apa-apa.”

“Jangan kayak gini, dong, Rindu. Kakak jadi gak tenang. Kamu kasih tahu kakak cerita lengkapnya. Nanti biar kakak ngomong sama mama papa. Kalau alasannya logis, mereka juga pasti kasih izin kamu untuk pindah, kok.”

“Udah, Kak, jangan dibahas lagi.”

Perdebatan panjang pun berganti sunyi. Baik Rindu atau seseorang di seberang sana—kakaknya, Teguh Uzair Atmaja—sama-sama membisu. Hanya helaan napas panjang dari seberang sana yang sempat terdengar. Pasti Teguh bingung sendiri dengan apa yang Rindu pinta malam ini. Tiba-tiba saja dia meminta pindah kuliah dan Teguh bertugas untuk bicara pada orang tua mereka.

Sebelumnya, perbedaan usia yang mencapai delapan tahun tidak membuat Tegus kesulitan untuk memahami Rindu. Namun, ditambah lagi dengan jarak fisik, perlahan Teguh jadi tidak bisa membaca jalan pikiran adiknya. Belum lagi dengan perubahan sikap dan sifat Rindu selama ini, membuat Teguh semakin merasa serba salah saat berurusan dengannya.

“Semuanya baik-baik aja, kan?” tanya Teguh lagi. Seperti biasa, suaranya terdengar lembut dan mampu menghangatkan hati.

“Tadinya begitu. Tapi sekarang gak lagi,” jawab Rindu pada akhirnya, mulai terbuka.

“Bagian mana yang gak baik-baik aja?”

Rindu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia menengadah, menatap langit Bandung yang tidak terlalu gulita karena cahaya kota. “Dari awal masuk, kehidupan aku di sini udah gak baik-baik aja, Kak. Dari lama juga begitu. Sejak kecelakaan itu, semuanya gak baik-baik aja.”

“Rindu ... mau sampai kapan kamu terus begini, Sayang? Lepaskan semuanya. Lupakan kejadian itu.” Kali ini, nada bicara Teguh terdengar begitu lirih, penuh permohonan. “Fokus aja sama apa yang sedang kamu jalani sekarang. Fokus sama masa depan kamu. Gak ada yang bisa mengubah masa lalu. Kita, manusia, makhluk yang tidak berdaya, cuma bisa mengikuti alur takdir.”

“Alur takdir?” Rindu tertawa sumbang, mencemooh ucapan kakaknya. “Selama ini itu yang selalu aku lakukan, Kak. Tapi kenapa keadaan gak pernah membaik? Yang ada, semuanya malah melenceng jauh dari apa yang aku inginkan, semakin di luar kendali aku.”

“Kamu gak sendiri. Ada kakak, ada mama papa di sini. Kamu gak perlu tanggung semuanya sendiri, kamu bisa berbagi masalah sama kami.” Nada bicara Teguh mulai disertai penekanan. Dia memang ingin menegaskan pada sang adik bahwa dirinya tidak sendiri di dunia ini. “Makanya, kamu cerita sama Kakak, dong. Kamu bilang, ada masalah apa. Biar kakak bisa bantu.”

Membisu, hanya itu yang Rindu lakukan sebagai balasan dari ucapan panjang lebar kakaknya. Dia seperti sangat enggan untuk menceritakan inti masalah yang sedang dihadapi. Dia memaksakan untuk menghadapi semuanya sendiri, walaupun tahu ada keluarga yang selalu siap menghadapi masa sulit bersama-sama.

Setiap orang memiliki masalah dan beban masing-masing, itulah yang selalu Rindu percaya, setidaknya selama beberapa tahun terakhir. Pemikiran itu membuatnya enggan untuk bercerita akan apa saja yang membuat bahunya terasa lebih berat. Kakak dan papanya pasti pusing memikirkan pekerjaan. Mamanya pasti lelah mengurus segala pekerjaan rumah. Rindu tak kuasa menambah beban mereka dengan bercerita tentang masalahnya.

Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, perbincangan Rindu dan Teguh berakhir kurang menyenangkan malam ini. Langkah yang biasanya lebih ringan setelah bicara dengan orang terkasihnya di Jakarta, kini terkesan diseret. Dan sialnya, Rindu masih harus berhadapan dengan Davka sebelum terjun ke dunia mimpi.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang