Ke esokan harinya, Angkasa memutuskan untuk keluar dari rumah sakit menjelang siang. Setelah berkonsultasi dengan ahli alergi, Angkasa dibekali obat pereda reaksi alergi, fexofenadine. Ia berharap kejadian ini tidak terulang lagi, tetapi demi keselamatan nyawa, Angkasa pun memutuskan untuk menebus obat itu. Sepertinya, fexofenadine akan menjadi kekasih baru Angkasa mulai sekarang.
Langkah panjang Angkasa langsung berhenti begitu sampai di area parkir rumah sakit. Ia memandang mobil Davka dengan gamang. "Kayaknya, gue naik ojek aja, deh, Dav."
Semua orang langsung berbalik begitu mendengar penuturan Angkasa. Memang, dialah yang berjalan paling belakang sejak tadi. Davka dan Kiara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Beda dengan Rindu yang memasang wajah datar sejak bangun tadi.
"Kok, naik ojek?" sahut Davka. "Naik mobil gue aja, Sa. Biarpun dokter udah kasih izin buat pulang, tapi lo belum sepenuhnya pulih."
Angkasa tersenyum samar. Ia mengusap tengkuknya meskipun tidak gatal. "Gak apa-apa. Gue lebih nyaman naik motor."
"Gimana kalau terjadi apa-apa di jalan?" tanya Davka lagi.
"Kita ikutin ojeknya aja," cetus Rindu seketika, ikut bersuara tanpa permisi.
Garis ketegangan di wajah Davka menghilang seketika. Walaupun sangat ingin mencegah pilihan Angkasa, akhirnya ia hanya bisa berkata, "Ya udah, gitu aja."
"Gue lihat di depan ada pangkalan ojek. Lo bisa jalan sendiri, kan?"
Sontak saja pandangan Angkasa beralih pada Rindu. Kini, ia tidak kaget dengan perubahan sikap gadis itu. Ia menangis karena mengkhawatirkan keadaan Angkasa semalam. Paginya, ia terus melayangkan tatapan tajam dan terkesan mengusir Angkasa barusan. Rindu memang mudah berubah dari putih menjadi hitam, dari baik menjadi jahat.
"Iya, gue bisa, kok," jawab Angkasa sembari menarik matanya dari sosok Rindu.
Setelah mendapatkan jawaban itu, Rindu segera memasuki mobil Davka. Dia duduk di samping kursi kemudi seraya menatap Angkasa diam-diam. Ketika Davka dan Kiara ikut masuk, Rindu langsung memalingkan pandangan ke arah jendela.
"Harusnya kamu tahan Kak Angkasa buat naik ojek, Rin. Gimana kalau di tengah jalan nanti malah kenapa-kenapa?" ucap Kiara dengan bibir yang mengerucut sempurna.
"Dia yang pengen, Ra," sahur Rindu, tanpa menoleh sedikit pun.
"Tapi harusnya kita bisa cegah. Kasihan, Kak Angkasa baru tadi malem pingsan."
"Ya udah, lo susul dia aja, sana."
Ucapan Rindu barusan berhasil menguras habis kesabaran Kiara. Ia refleks menendang sandaran kursi yang diduduki sahabat kejamnya itu. Sedetik kemudian, ia sadar sang pemilik mobil ada di sana. "Eh, maaf, Kak. Nendangnya gak keras-keras banget, kok. Kursinya aman, gak rusak," ucap Kiara sembari melirik Davka.
"Gak akan mempan kalau cuma gendang kursi doang, Ra. Harusnya lo jambak aja Mak Lampir satu ini!" timpal Davka dengan menggebu-gebu.
"Kak Davka aja, aku gak berani."
Baru saja Davka hendak menarik ujung rambut pendek Rindu, tiba-tiba gadis itu memutar kepala. Sontak saja Davka menarik kembali tangannya. Nyali untuk membuat perhitungan hanya bertahan satu detik.
"Gue punya alasan ngelakuin ini. Kak Angkasa emang lebih baik naik motor daripada mobil," cetus Rindu.
Paham bahwa ucapan teman masa kecilnya itu tidak main-main, Davka pun mencoba memahami walaupun tidak mendapatkan penjelasan rinci. Bagaimanapun juga, Rindu lebih mengenal Angkasa dibandingkan Davka. Walaupun terkesan gegabah, ia tidak perlu meragukan keputusan gadis itu. Pasti ini demi kebaikan Angkasa juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomanceMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...