31. Luluh Lantak

1.4K 177 72
                                    

Rindu menuruni anak tangga dengan malas. Jika bukan karena tenggorokannya yang begitu kering, sudah pasti gadis itu memilih berdiam diri saja di kamar. Walaupun tidak ada kegiatan berarti, tetapi Rindu merasa kasurnya adalah tempat paling nyaman. Kendatipun menghabiskan waktu hanya dengan melamun, tetapi Rindu enggan untuk keluar.

Dengan langkah yang terkesan diseret, Rindu membuka lemari pendingin. Ia menyambar cangkir dan mengambil satu botol minuman dari lemari pendingin. Baru saja dahaganya tertuntaskan, ketenangan Rindu harus diganggu oleh umpatan Davka yang baru turun dari lantai atas.

“Bangsat! Tuh anak ke mana, sih?” dengkus Davka seraya menurunkan ponselnya. Tak berselang lama, ia kembali menempelkan benda pipih itu ke daun telinga. “Ayo, dong, Sa .... Angkat telepon gue.”

Tanpa bisa ditahan, Rindu langsung melirik Davka. Ia bisa langsung menebak siapa yang berusaha lelaki itu hubungi sekarang. Garis putus asa tergambar dengan jelas di wajah lelaki itu.

“Sialan!” umpat Davka lagi. Ia hampir membanting ponsel, tetapi urung karena menyadari kehadiran Rindu. “Eh, ada lo? Sejak kapan lo berdiri di situ?”

“Sebelum lo masuk dapur,” jawab Rindu dengan nada datar. Kemudian, dia pun mengambil gelas dan botol minuman tadi, hendak membawanya ke lantai atas.

Sungguh, Rindu sudah berusaha untuk tidak acuh. Seperti yang Kiara katakan, Rindu hanya perlu fokus pada diri sendiri lebih dahulu. Namun, gelagat Davka berhasil mengusik hatinya. Ia jadi ikut gelisah melihat Davka yang begitu putus asa ketika menatap layar ponselnya.

“Dav,” panggil Rindu seraya berbalik.

“Hm? Kenapa?” sahut Davka, tanpa mengalihkan atensinya.

Is everything okay?

Gerakan jemari Davka di atas layar ponsel pun terhenti. Ia hendak mengirim pesan pada Tristan, mengajak sahabatnya itu untuk melakukan misi besar. Perlahan, ia mengangkat kepala, membalas tatapan Rindu. Walaupun terlihat lebih baik dari kemarin, tetapi Davka tahu gadis itu belum sepenuhnya pulih. Sorot matanya masih memancarkan kesedihan yang amat kuat.

I’m not sure,” lirih Davka.

Is it about him?

Davka mengangguk pelan. “Sama kayak lo, Angkasa juga gak ke kampus selama tiga hari ini. Gue sama Tristan udah coba bujuk, menawarkan diri buat nemenin dia. Tapi Angkasa nolak. Katanya, dia butuh waktu sendiri, gak mau diganggu sama siapa pun. Dan sejak kemarin pagi, dia gak bisa dihubungi.”

Rindu mengembuskan napas panjang. Ia cukup terkejut mendengar penuturan Davka barusan. “Udah coba datengin ke apartemennya langsung?”

“Udah, Rin. Semalem gue sama Tristan sampai jam dua belas berdiri di depan pintu apartemen Angkasa. Tapi, gak dibukain. Sampai kita diusir sama penjaga keamanan di sana.”

Dengan sekali entakan, Rindu mendudukkan diri di bangku mini bar di sampingnya. Ia memijit pangkal hidungnya yang berdenyut sakit. Dadanya pun terasa sakit, sesak karena rasa khawatir yang menyeruak.

Ya, memang, selama tiga hari ini Rindu bolos kuliah. Selain masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, Rindu juga tidak siap jika harus bertemu Angkasa atau Juanda. Dia takut Angkasa akan bertindak seperti tempo hari lagi, meneriakkan masa lalu mereka di depan mahasiswa lain. Rindu juga tidak tahu harus mengatakan apa jika Juanda menanyakan kejelasan hubungan mereka.

Rindu sama sekali tidak menyangka jika Angkasa juga melakukan hal yang sama, bolos kuliah dan terus mengurung diri. Ia tidak menyangka jika kejadian sore itu bisa mendorong Angkasa untuk ikut mengasingkan diri dari dunia. Sialnya, kini lelaki itu tidak bisa dihubungi.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang