"Kayaknya aku gak bisa pergi, deh, Rin."
Saat itu juga, pergerakan Rindu untuk mengambil kardigan terhenti. Dia berbalik, menatap ponselnya di atas meja rias. "Kok, gitu? Gue udah siap banget, lho, Ra, tinggal jalan."
"Ya, maaf. Ambu sama abah aku mau ke kosan, sekarang udah nyampe terminal. Kan, gak enak kalau mereka datang akunya malah pergi," jelas Kiara.
Rindu membuang napas panjang. Dia menatap benda pipih kesayangannya dengan jengkel, seakan itu adalah tubuh Kiara. Seharusnya, gadis itu membatalkan janji mereka satu jam yang lalu, supaya Rindu bisa melanjutkan aktivitas melukisnya dengan tenang. Maksimal lima belas menit yang lalu, supaya Rindu bisa memilih pakaian rumah saja.
Sekarang, Rindu tinggal mengenakan kardigan, memasukan ponsel dan dompet ke tas, lalu turun dari kamar. Ia pikir, Kiara menelepon untuk memberi kabar bahwa dirinya sudah dalam perjalanan, ternyata membatalkan janji.
"Tahan dulu, jangan marah dulu. Kamu bisa tetep pergi, kok." Suara Kiara kembali terdengar.
"Maksud lo pergi sendiri? Ogah, lah!"
"Enggak, Rin. Aku udah utus seseorang untuk pergi sama kamu. Sebelum aku telepon kamu, dia kasih tahu aku, katanya udah ada di depan rumah."
Dahi Rindu lantas berkerut. Awalnya ia menebak-nebak siapa orang yang dimaksud sahabatnya itu. Hingga akhirnya, sebuah nama muncul di kepalanya. "Ra, lo gila?!"
"Selamat bersenang-senang, Sahabatku Tercinta! Dadah!" Kiara mengakhiri panggilan setelah memberikan ciuman kasat mata untuk Rindu.
Sontak saja gadis itu segera berlari ke arah jendela, memeriksa kebenaran ucapan Kiara. Ternyata benar saja, mobil off road itu sudah terparkir di depan gerbang rumah. Rindu mendengkus kasar seraya melangkah menuju lemari. Ia mengambil kardigan hitam dan segera menyambar beberapa barang yang tidak bisa ditinggalkan. Sembari menggumal dalam hati, ia pun mengunci kamar dan meniti anak tangga dengan cepat.
"Mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Nia yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Ralat, beliau hanya membiarkan layar besar itu menyala. Fokusnya tetap ada buku desain yang berada di atas pangkuan.
"Mau pergi sama temen, Tan," jawab Rindu sembari tersenyum tipis.
"Sama Kiara?"
"Bukan, Tan."
Saat itu juga, Bu Nia benar-benar memusatkan seluruh perhatiannya pada Rindu. Seingatnya, teman Rindu hanya Kiara. "Terus, sama siapa?"
Belum sempat Rindu menjawab, kedatangan Pak Pietro justru menarik atensi mereka. Beliau tidak sendiri, melainkan bersama pemuda tinggi yang sangat dikenali Rindu, Juanda. Lelaki itu sempat melempar senyum canggung sebelum akhirnya bersalaman dengan Bu Nia.
"Malam, Tan," sapa Juanda. Cepat-cepat ia berdiri di samping Rindu, seakan meminta perlindungan.
"Eh, iya, Malam," balas Bu Nia. Wajahnya kian bingung saja. Beliau melirik suaminya dan bertanya, "Siapa, Pi?"
"Temennya Rindu. Kita ketemu di depan sepulangnya papi dari tempat Pak Wisnu. Kirain siapa, ternyata yang mau jemput Neng Cantik," jawab Pak Pietro dengan begitu santai. Lelaki paruh baya berkulit sawo matang itu berbalik, bersitatap dengan Juanda. "Jadi, rencananya mau pergi ke mana?"
"Saya, sih, terserah Rindu, Om. Tapi, katanya mau beli alat-alat lukis." Walaupun begitu kikuk, Juanda menjawab dengan cukup lugas.
Pak Pietro mengangguk paham. "Pulangnya jangan kemaleman, ya. Sebelum jam sembilan, Rindu harus udah ada di rumah lagi."
"Baik, Om."
Keduanya pun berpamitan. Pak Pietro terkesan santai di balik kewibawaannya. Sedangkan Bu Nia terus memasang wajah bingung. Bahkan, beliau terus menatap Juanda secara terang-terangan, seperti sedang menilai. Baru saja pemuda itu bisa merasa lega, tatapan tajam Rindu berhasil membuat napasnya kembali tercekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomanceMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...