Dering ponsel nyaring berhasil mengalihkan perhatian Rindu. Gadis itu berbalik, mencari sumber suara yang telah memecahkan keheningan. Lalu, pandangannya tertuju pada meja makan. Ia pun segera mengeringkan tangan-baru selesai mencuci piring-dan segera menghampiri benda pipih itu.
"Kak, ada telepon!" teriak Rindu.
"Angkat aja!" balas Angkasa dari halaman belakang, ikut berteriak.
Merasa telah mendapatkan izin dari sang pemilik, Rindu pun mengintip layar ponsel Angkasa, mencari tahu siapa yang telah menelepon di waktu pagi begini. Rindu was-was, takut itu adalah papanya. Ia takut beliau mengamuk karena Rindu telah berani kabur dari rumah. Namun, ternyata ... Kiara.
Rindu langsung mengusap dadanya sambil mengembuskan napas lega. Ia pun segera mengambil ponsel persegi berwarna hitam itu dan mengangkat panggilan tanpa pikir panjang lagi.
"Halo, Kak? Aduh ... maaf banget aku ganggu pagi-pagi begini. Abisnya aku bingung harus nanya ke siapa," cerocos Kiara, tepat setelah panggilan tersambung. "Kakak dapet kabar dari Rindu, gak? Selama dua hari ini dia gak bisa dihubungi. WhatsApp centang satu, ditelepon gak nyambung. Aku takut Rindu kenapa-kenapa, Kak."
Tidak langsung menjawab, Rindu malah terdiam selama beberapa saat. Kemudian, ia menjawab, "Ini gue."
"Rin? Rindu? Ini beneran Rindu?" Nada lesu Kiara berubah heboh seketika.
"Biasa aja, Ra. Gak usah over reaction begitu."
"Ya ampun, Rinduuu! Kamu, tuh, ke mana aja, sih? Kenapa susah banget dihubungi! Aku khawatir banget sama kamu, tahu! Takut kamu kenapa-kenapa." Gadis itu kembali bicara dengan suara yang bisa membuat telinga pengang. Belum lagi dengan kecepatannya yang mengalahkan kereta kilat.
"Iya, maaf. Gue lupa bawa HP," balas Rindu dengan nada yang begitu tenang.
"Emang HP kamu di mana?"
"Di rumah."
"Terus, kamu lagi di mana sekarang?"
"Di Puncak."
"Sama Kak Angkasa?"
"Iya."
"Cuma berduaan?"
"Heem."
Selama beberapa detik, perbincangan di antara Rindu dan Kiara mirip kuis tanya jawab cepat. Sebelum akhirnya Kiara mengembuskan napas geram di seberang sana.
"Kamu jahat, tahu gak? Aku di sini khawatir setengah mati. Takut banget ada hal buruk yang menimpa kamu. Eh, tahu-tahunya kamu lagi pacaran sama Kak Angkasa," protes Kiara. Pasti bibirnya mengerucut sekarang. "Eh, tapi jangan sampai bablas, lho, Rin. Inget, kalian sah di mata agama dan negara. Kalian juga masih kuliah, jangan sampai kamu ikut kelas Pak Susanto dengan perut buncit."
Rindu memijat pangkal hidungnya. Baru beberapa saat mengobrol, melalui panggilan telepon pula, tetapi Kiara sudah bisa membuat kepala Rindu berdenyut sakit. Seperti biasa, gadis itu memang terlalu imajinatif dalam membayangkan satu kejadian. Tidak perlu diperjelas imajinasi Kiara sampai sejauh mana, bukan?
Namun, tidak bisa dipungkiri, hati Rindu menghangat, tatkala mengetahui ada seseorang yang mengkhawatirkan keadaannya. Ada seseorang yang menantikan kabar darinya. Ada seseorang yang berharap hal buruk tidak menimpa dirinya. Kiara Prateesa, sahabatnya yang cerewet minta ampun, selalu mengharapkan hal baik yang menyertai hari-hari Rindu.
"Kita gak ngapa-ngapain, Ra. Imajinasi jangan kejauhan," cetus Rindu pada akhirnya.
"Hehe ... takutnya, kan. Aku cuma ngingetin." Seperti biasa, gadis itu hanya cengengesan. "Syukur kalau kamu baik-baik aja. Kalau ada apa-apa, jangan lupa ngabarin aku, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomanceMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...