Akhir-akhir ini hujan sering mengguyur Bumi Pertiwi tanpa aba-aba. Ia seakan ingin mendamaikan para manusia yang dilanda gundah. Secara suka rela hujan menawarkan pelukan paling nyaman untuk orang-orang yang ingin menangis. Ia seperti tahu bahwa ada banyak sekali orang yang membutuhkan waktu untuk istirahat seraya menikmati aroma petrikor.
Rindu kira, hujan yang tiba-tiba mengguyur Kota Bandung sore itu bertujuan untuk memberikannya ruang bermalas-malasan. Apalagi di rumah tidak ada siapa-siapa, Rindu bisa tinggal di kamar sepuasnya. Pak Pietro sedang ada rapat, Bu Nia masih ada pekerjaan di butik, sedangkan Davka harus memenuhi undangan pesta perayaan ulang tahun teman sekelasnya.
Namun, hujan hari itu justru mengantarkan luka yang tak terduga. Hujan hari itu membawa patah hati cukup menyesakkan untuk Rindu.
Gadis itu baru selesai mandi. Hujan turun ketika ia baru mencapai sengah perjalanan menuju pulang. Rindu langsung memburu jendela begitu mendengar deru kendaraan yang berhenti di depan. Walaupun sudah kenal, tetapi ia perlu memastikan pendengarannya tidak salah menebak. Ternyata benar, itu adalah motor Angkasa. Tanpa pikir panjang, ia segera turun seraya membawa payung yang tersedia di samping pintu utama.
"Kenapa gak pake jas hujan, sih? Badan kamu kuyup begitu. Kalau sakit, gimana? Gak sayang sama diri sendiri banget!" omel Rindu begitu sampai di hadapan Angkasa. Ia harus mengangkat tangan tinggi-tinggi demi bisa melindungi badan Angkasa dari dinginnya air hujan.
Angkasa terkekeh ringan. Mata satunya menatap Rindu dengan dalam. "Kamu peduli sama aku?"
"Peduli, lah! Kan, aku sayang sama kamu," jawab Rindu, sedikit sewot. "Ayo, masuk. Nanti kamu masuk angin. Langsung mandi juga, ya? Biar aku telepon Davka, izin pinjem baju dia."
Tidak ada perlawanan, Angkasa pasrah saja saat tangan kecil Rindu menyeretnya untuk masuk rumah. Tidak sedetik pun atensinya beralih dari sosok gadis di depannya. Bagaimana bibir tipis Rindu mengomel, pipi tembamnya yang bergerak, juga rambut pendek basah yang mengayun ke kanan kiri, tidak lepas dari perhatian Angkasa. Hatinya damai. Ia ingin terus begini.
"Davka bilang, kamu boleh ambil baju yang mana aja," cetus Rindu seraya mengakhiri panggilan dengan teman masa kecilnya itu. "Sana, mandi. Aku bikinin teh hangat, biar perut kamu enakan. Repot kalau sampai diare."
Baru tiga langkah Rindu bergerak, kakinya langsung berhenti membuat perpindahan begitu pergelangannya digenggam. Ia berbalik, menatap Angkasa.
"You need something else?"
"You," balas Angkasa dengan suara parau. "I just need you."
Perasaan Rindu gundah seketika. Dari sorot mata, nada bicara, dan gerak-gerik, ia menangkap sesuatu yang buruk telah terjadi pada Angkasa. "Is everything okay?" tanyanya lagi. Kali ini penuh hati-hati.
Angkasa menggeleng. "No. Everything is broken. And also me."
Rindu menggigit bibir bawahnya. Ia pun melangkah, mendekati tubuh Angkasa yang masih basah. "Need a hug?"
"Yeah. So tight."
"Come here."
Walaupun sempat ragu-karena sadar Rindu baru selesai mandi-pada akhirnya Angkasa tetap mendekap tubuh gadis tercintanya itu. Semakin lama, semakin erat. Semakin runtuh pula pertahanan yang ia bangun sejak tadi siang, air matanya tumpah. Semua kecewa, marah, dan sedih yang memenuhi kepala dan dadanya tumpah dalam pelukan hangat Rindu.
Tidak ada anak yang sanggup menghadapi perpisahan kedua orang tuanya. Tidak ada anak yang menginginkan perpecahan dalam keluarga. Tidak ada pula anak yang sudi adanya pengkhianatan dalam hubungan sang ayah dan bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomanceMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...