23. Gulita yang Menyiksa

1.6K 213 204
                                    

Langkah Angkasa berhenti di ujung koridor. Ia ingat betul, ini adalah tempat yang sama yang muncul dalam mimpinya, saat kejadian Angkasa memakan minuman soda persik itu. Di sinilah Angkasa bertemu dengan gadis itu untuk pertama kalinya. Di sinilah segala teka-teki mulai menghantui kehidupan Angkasa.

Lelaki itu sedang di area sekolah SMA Cendrawasih. Pasca kecelakaan, Angkasa sempat sekolah di sini. Namun, ia memutuskan untuk homeschooling karena mengalami kesulitan bersosialisasi. Angkasa tidak tahan dengan tatapan iba dari siswa dan guru. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang bertanya bagaimana rasanya hilang ingatan. Memuakkan!

Ternyata, tidak sulit untuk masuk ke sini. Satpam yang berjaga di depan pun mengenal Angkasa. Beliau segera membukakan gerbang setelah mendapatkan izin. Kebetulan sekali, guru yang piket hari ini adalah guru olahraga. Angkasa langsung diizinkan masuk mengingat dia adalah atlet basket kesayangan warga SMA Cendrawasih dulu, sebelum kecelakaan itu terjadi. Setelah sedikit berbasa-basi, Angkasa dipersilakan melihat sekeliling sekolah seperti yang dia minta.

Angkasa terus berjalan menelusuri lorong. Ia menyempatkan diri untuk melihat bunga-bunga yang tumbuh dengan baik di sisi kanannya.

"Kakak tahu, gak, kalau setiap bunga memilki arti tersendiri?" tanya gadis itu.

Angkasa menoleh, menyudahi kesibukannya untuk menikmati jus alpukat. Ia sedang di teras depan, menatap taman kecil kesayangan bundanya. Dengan gadis itu, gadis yang memiliki senyum cantik, tetapi tidak bisa Angkasa lihat wajah lengkapnya.

"Oh, ya? Gue kurang tahu, sih," ucapnya seraya menyimpan gelas kembali ke permukaan teras.

"Bunga matahari berarti kebahagiaan, cocok untuk suasana di rumah ini. Bunda cocok sama lavender, artinya keanggunan. Nah, kalau krisan putih, amat sangat menggambarkan Om Lionel. Artinya kesetiaan."

Senyum terbit di wajah Angkasa. Matanya ikut menatap satu per satu bunga yang disebutkan gadis yang sedari tadi duduk di sampingnya itu. Ia juga mengangguk, menyetujui perkataan sang gadis. "Terus, kalau gue, cocoknya digambarkan sama bunga apa?"

Dengan cepat, gadis itu menunjuk pot yang tepat berada di hadapan mereka. "Ini."

"Namanya bunga apa?" tanya Angkasa dengan alis yang terangkat tinggi.

"Baby breath!" sahut sang gadis dengan penuh semangat.

"Artinya?"

"Cinta yang gak akan berakhir."

Angkasa terdiam, tidak lagi menyahuti perkataan riang gadis itu. Yang ia lakukan hanya menatapnya dengan sorot mata dalam, selama berusaha menyelami perasaan sang lawan bicara. Atau, mungkin ... menyelami perasaan sendiri?

Setelah menelusuri koridor sampai akhir, Angkasa tiba di lapangan basket. Ia duduk di bangku penonton paling ujung dan membiarkan teriknya sinar mentari menerpa kulit.

Salah satu mimpi Angkasa menunjukkan betapa bersinarnya dia saat menggiring bola basket ke ring lawan. Dalam mimpi itu, Angkasa terlihat bahagia. Dia terlihat sangat menikmati riuh dukungan dari para penonton, meneriakkan namanya dengan penuh semangat.

Kemudian, Angkasa membuka ponsel, berniat mengabadikan momen ini ke dalam bentuk foto digital. Namun, jemarinya justru membuka fitur galeri. Ia terus menggulir layar sampai pada foto kebersamaannya dengan teman-teman di Bandung, saat merayakan ulang tahunnya. Tanpa sadar, jemari Angkasa memperbesar wajah Rindu yang berdiri di sampingnya.

"Heh, lo mau ke mana?" dengkus Davka saat Rindu terus melangkah lalu berdiri di sisi kanannya.

"Gue mau berdiri di sini," jawab Rindu dengan datar.

Lelaki itu berdecak. "Lo gak lihat di sebelah sini masih kosong? Gue sengaja berdiri agak jauh dari Angkasa supaya lo bisa berdiri di sini."

Sontak saja Angkasa ikut menoleh ketika Davka menunjuk tempat di sampingnya. Ya, memang ada ruang kosong antara tubuhnya dan Davka. Angkasa kira sahabatnya itu ingin merapikan pakaian terlebih dahulu, baru nanti merapat. Ternyata, ruang itu memang disisakan untuk Rindu?

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang