6. Mimpi Buruk

2.3K 256 82
                                    

Yang bisa Angkasa lakukan saat ini hanya menatap nanar punggung Bella dan Nial yang kian menjauh dari jangkauan. Dia tidak berniat untuk mengejar mereka, energi di tubuhnya sudah terkuras habis hanya dengan melihat romantisme sang pacar dan selingkuhannya. Ya, mulai sekarang, Angkasa tidak akan menyangkal bahwa Bella memang berpaling darinya. Rindu benar, Bella telah mengkhianati Angkasa.

Tidak mungkin sepasang sepupu menonton film seraya saling menyandarkan kepala. Tidak mungkin pula mereka saling merangkul di tengah keramaian. Hal yang paling mustahil adalah ... tidak mungkin Bella dan Nial berciuman jika tidak ada ikatan asmara di antara keduanya.

Sungguh, Angkasa selalu memberikan apa yang kekasihnya minta. Waktu, tenaga, materi, selalu Angkasa berikan dengan cuma-cuma. Baginya, asal melihat Bella tersenyum bahagia, itu sudah lebih dari cukup untuk membalas semua pengorbanannya. Namun, ternyata, yang Angkasa lakukan tidaklah cukup untuk Bella. Entah apa yang bisa diberikan Nial dan Angkasa tak mampu, yang membuat Bella memilih untuk mendua.

"Sa, lo mau gimana sekarang?" tanya Juanda sembari menepuk bahu Angkasa. Jujur, dia masih kesal karena kencannya dengan Rindu dirusak. Namun, ketika melihat wajah pucat lelaki itu, Juanda jadi tidak tega juga.

"Gue mau pulang aja ...," jawab Angkasa, terdengar begitu lirih.

Setelah mengembuskan napas panjang, Angkasa langsung menggerakkan kedua tungkainya. Tidak ada semangat di setiap langkah yang diambil lelaki itu. Terkesan dipaksa, diseret tanpa minat. Kepala yang biasanya menatap ke depan dengan penuh percaya diri, kini hanya menunduk. Bahu yang biasanya tegap, kini lirih karena beban yang dipikul begitu berat.

Tepat setelah Angkasa melewati pintu bioskop, langkahnya itu harus terhenti karena sebuah tangan menahan pergelangannya. Saat menoleh, Angkasa mendapati wajah khawatir Juanda.

"Lo pulang sama kita aja. Pasti gak akan konsen bawa motor di situasi kayak gini," ucap lelaki itu.

"Motor gue ... gimana?"

"Nanti gue minta tolong Davka buat bawa ke sini," sahut Rindu dari belakang.

"Urusan motor udah selesai. Tapi gimana sama urusan perut? Kalian mau makan dulu atau gimana?" Juanda kembali bersuara.

"Kita antar Kak Angkasa aja dulu. Baru pulang pulang dari sana cari makan."

Juanda menatap Rindu penuh harap. "Cuma berdua?"

Senyum semringah yang sempat luntur dua jam yang lalu kembali terbit di wajah Juanda ketika melihat Rindu mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. Baiklah, Juanda tahu Angkasa sedang patah hati. Namun, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya ini. Akhirnya, dia punya waktu untuk berduaan dengan Rindu.

Kemudian, ketiganya pun berjalan beriringan menuju area parkir. Juanda merangkul bahu Angkasa, memastikan lelaki itu tidak ambruk atau salah langkah. Lelaki itu juga menurut-menurut saja saat Juanda mendorongnya masuk ke jok tengah dan pasrah saat dipasangkan sabuk pengaman. Pokoknya, Angkasa sudah seperti orang linglung. Jiwanya lenyap entah ke mana semenjak menonton kemesraan Bella dan Nial secara langsung.

"You deserve better than this."

Perkataan Rindu berhasil membuat Angkasa menoleh, menarik pandangannya dari jendela. "Am I?"

"Yes, you are," sahut Rindu dengan cepat. Tidak sedikit pun dia menoleh ke belakang, memperhatikan punggungnya yang tegap bersandar pada kursi. "Gak seharusnya perasaan tulus lo disia-siakan kayak gini. Apa pun alasannya, gak seharusnya Kak Bella khianati lo kayak gini. Apalagi sampai bohong kalau cowok itu sepupunya, berarti dia emang gak ada niat untuk berhenti."

"Tapi bisa aja cowok itu ngasih sesuatu yang gak bisa gue kasih."

"Gak ada orang yang sempurna di dunia ini. Dan mencintai seseorang berarti menerima kurang dan lebihnya orang itu. Bahkan seandainya Lo melakukan kesalahan yang berulang, harusnya kalian diskusi buat cari jalan keluarnya. Bukan malah lari ke orang lain."

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang