Rindu baru selesai mandi pagi itu. Ia berniat untuk pergi dari rumah, sekadar mencari angin. Langkahnya menuju meja rias terhenti ketika melihat mamanya yang sudah duduk di ujung ranjang. Rindu hanya menatap beliau sekilas, lalu menyibukkan diri untuk bersiap-siap.
"Kamu marah sama mama?" tanya Bu Adelia, memecah keheningan di antara mereka.
Tidak ada sahutan. Sejak semalam, Rindu memutuskan untuk angkat suara jika diperlukan saja. Ia tidak mau membuang-buang energi akan sesuatu yang tidak perlu. Lebih baik tenaganya dikumpulkan untuk melakukan perlawanan di waktu yang tepat, di momen ketika kemenangan adalah hal yang bisa ia dapatkan.
Bu Adelia mengembuskan napas panjang. Beliau berpindah ke sisi ranjang yang lain, supaya bisa lebih dekat dengan Rindu. "Maafin mama, Sayang. Bukannya mama gak mau bantu kamu, tapi papa emang gak bisa dibantah. Kamu tahu sendiri, kan, gimana karakter papa?"
Membisu, masih itu yang Rindu lakukan. Dia belum menemukan celah kalimat yang perlu dijawab.
"Untuk saat ini, kamu turuti aja permintaan papa. Coba aja dulu tunangan sama Jairo. Mama perhatikan, sepertinya dia juga tertarik sama kamu," ucap Bu Adelia lagi. "Dan sebaiknya kamu putus sama Angkasa. Dia gak akan bisa bikin kamu bahagia dengan keadaan keluarga yang berantakan begitu. Bisa aja kebiasaan ayahnya yang selingkuh itu turun ke-"
Brak!
Perkataan Bu Adelia harus terhenti ketika Rindu menggebrak meja riasnya tanpa ampun. Ia menatap sang mama dengan tajam dari cermin. Lalu, berbalik dengan sekali entakan.
"Jangan bicara sembarangan tentang Kak Jayen. Mama gak tahu apa-apa tentang dia," tekan Rindu dengan rahang yang mengetat keras.
"Mama gak bermaksud menjelekkan Angkasa, Sayang. Mama cuma mau kamu bahagia."
"Yakin Mama mau aku bahagia?"
"Yakin, lah. Kan, kamu anak mama."
Rindu berdecih. Ia kembali menghadap cermin karena tidak sanggup melihat ekspresi polos mamanya. "Kalau beneran begitu, seharusnya Mama bantu aku untuk lepas dari kemauan egois papa. Seharusnya Mama bisa menyuarakan kemauan aku di depan Jairo dan keluarganya semalam. Kalaupun tidak bisa melawan secara terang-terangan, seenggaknya Mama coba bicara pelan-pelan sama papa, minta papa untuk lebih memikirkan perasaan aku!"
Kali ini, Bu Adelia yang terdiam. Beliau menunduk, merasa tidak berhak protes sekalipun Rindu baru saja membentaknya.
"Apa aku pernah menentang perintah papa selama ini, Ma? Semua keinginan papa selalu aku turuti. Semuanya!" lanjut Rindu lagi. "Tapi, apa perlu papa mengatur sampai ke urusan hati, urusan pendamping hidup? Bahkan, alasannya pun bukan demi kebahagiaan aku, melainkan demi kelangsungan bisnis. Aku kayak gak dianggap anak di keluarga ini!"
Rindu pun melepaskan handuk yang membungkus rambut pendeknya. Ia langsung menyambar ponsel dan dompet di atas nakas. Sebelum meninggalkan kamar, ia kembali menambahkan ucapannya.
"Udah cukup aku ngertiin karakter papa. Untuk kali ini, aku akan memperjuangkan kemauan aku. Pokoknya, pilihan aku tetap Kak Jayen," tegas Rindu. "Gak apa-apa kalau Mama gak mau bantu. Dari dulu juga Mama cuma jadi penonton setiap kali hal semacam ini terjadi."
Tanpa banyak bicara lagi, Rindu pun beranjak dari sana. Dia tidak menghiraukan sang mama yang duduk termenung.
Bukannya Rindu ingin bersikap kurang ajar, tetapi kesabarannya langsung habis begitu nama Angkasa diseret dalam perkataan mamanya. Ditambah lagi, selama ini, sang mama tidak pernah membantu Rindu untuk keluar dari jeratan otoriter papanya. Hanya Teguh yang berusaha membujuk, membantu adik tersayangnya mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomanceMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...